Arsip:

Op-Ed In

Mendorong Ekowisata Berkelanjutan di Yogyakarta Melalui Exploring by Cycling (ELING)

Mendorong Ekowisata Berkelanjutan di Yogyakarta Melalui Exploring by Cycling (ELING)

Penulis:

Fahed Syauqi, S.IP

Research Fellow, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Lukas Andri Surya Singarimbun

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Octaviani Widya Pradipta

Staff Graphic Designer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Berdasarkan penelitian dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI diketahui bahwa sektor pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saat ini memiliki tiga masalah utama, yakni kurangnya keterlibatan masyarakat lokal, hanya berfokus pada pendapatan wilayah tanpa memikirkan segi keberlanjutan lingkungan, dan kurangnya inovasi terkait konsep wisata berkelanjutan. Untuk menjawab persoalan tersebut, ekowisata, sebuah konsep wisata yang menekankan pada nilai keberlanjutan lingkungan dalam memajukan sektor pariwisata, dapat menjadi solusi. 

Data dari Organisasi Pariwisata Dunia atau World Tourism Organization (UNWTO) mengungkapkan bahwa sektor pariwisata mengalami peningkatan turis dari 25 juta turis internasional pada tahun 1950 menjadi 1,442 miliar di tahun 2018. Mobilisasi turis secara masif akan menjadi tantangan terkait penerapan ekowisata yang berkelanjutan. Konsep wisata secara konvensional memiliki masalah yang begitu pelik, dimana kedatangan wisatawan membawa sejumlah masalah seperti penumpukan limbah dan polusi udara yang membahayakan keanekaragaman hayati. Dalam konteks Yogyakarta, ekowisata belum dapat diimplementasikan dengan maksimal. Wilayah Yogyakarta seringkali mengalami peningkatan pencemaran udara saat musim libur tiba karena meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang datang ke Yogyakarta. Hal ini tercermin dari meningkatnya karbon monoksida (CO) mencapai 27.000 mikrogram pada 31 Desember 2019.

Sumberharjo, sebuah desa di kecamatan Prambanan, Yogyakarta memiliki panorama alam sangat potensial. Lebih jauh, Sumberharjo juga telah memiliki destinasi wisata berkelanjutan yang strategis, seperti Omah Magot Jogja, Sawah Organik Gamparan, Sumber Budaya, Pusat Pengolahan Sampah (Puspa), Kerajinan Kulit Kenandy dan Bukit Teletubies. Dalam perkembangannya, Sumberharjo mulai dikenal oleh masyarakat luas sebagai desa wisata yang mempesona. Namun, menurut Andy Purnawan, Koordinator dan Konsultan Pengembangan Bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UKM) Kapanewon Prambanan ketika dihubungi, hal tersebut menimbulkan masalah baru terkait pengelolaan transportasi wisatawan yang tidak stabil sehingga aksesnya pun terhambat. Oleh karenanya, Desa Sumberharjo berinisiatif untuk menghadirkan sebuah konsep ekowisata berkelanjutan yang disebut Exploring by Cycling atau ELING sehingga diharapkan pemberdayaan dapat berjalan berkelindan dengan konservasi lingkungan. 

Dalam usaha memperluas konsep ekowisata ini, Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Sumber Sumilir sebagai mitra dalam menginisiasi ekowisata berkelanjutan melalui konsep ELING untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Inisiasi ini sejalan dengan argumentasi yang dikemukakan oleh Urry dan Larsen dalam buku “Ecotourism Transitioning to the 22nd Centurybahwa nilai komunitas dan kesadaran lingkungan memiliki unsur yang lebih bernilai dibandingkan konsumerisme dan mobilitas wisatawan yang tidak dibatasi.  

ELING merupakan sebuah inovasi konsep ekowisata berkelanjutan yang dapat memberikan pemahaman secara komprehensif terkait filosofi kehidupan manusia terhadap pemberdayaan dan konservasi lingkungan. ELING berpotensi menjadi daya tarik bagi para wisatawan karena memungkinkan mengenal setiap potensi di wilayah Yogyakarta dengan lebih baik. Salah satu kebijakan yang sedang dikembangkan untuk mendukung inovasi ini adalah pembuatan rute-rute bersepeda yang dirancang untuk mengenalkan berbagai lokasi pariwisata di Yogyakarta. ELING, dalam praktiknya, tidak hanya berusaha mereduksi polusi namun juga memperkenalkan potensi ekowisata dengan kegiatan bersepeda di Yogyakarta yang menawarkan berbagai potensi wisata baik pesona alam maupun kebudayaan.

Kepala Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta mengungkapkan bahwa kunjungan wisata di Kota Yogyakarta berangsur pulih pasca pandemi, termasuk pada saat low-season. Oleh karena itu, Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta menginisiasi untuk meningkatkan kembali wisata bersepeda untuk menekan laju perubahan iklim. Namun, minat wisata bersepeda masih berjalan secara parsial. Oleh karenanya, setiap pihak harus dapat memiliki peran dalam pengembangan ELING agar terciptanya ekowisata yang berkelanjutan. Penyusunan pemetaan dan proyeksi pengembangan destinasi wisata berkelanjutan secara komprehensif melalui kerja sama yang melibatkan pihak pemerintah, universitas, dan sektor industri menjadi sangat dibutuhkan. Peningkatan kolaborasi akan mempercepat desa sebagai destinasi utama pariwisata berkelanjutan di masa depan. 

 

Percepatan Ekonomi Hijau dalam Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023

Percepatan Ekonomi Hijau dalam Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023

Penulis:

Lukas Andri Surya Singarimbun

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Maria Angela Koes Sarwendah

Kepala Divisi Diseminasi, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Albert Nathaniel

Staff Graphic Designer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Sebagai Ketua ASEAN pada tahun 2023, Indonesia mengusung tema “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth” yang selaras dengan tema presidensi Indonesia di G20 tahun lalu mengenai percepatan pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Tema ini menegaskan visi dan peran kepemimpinan Indonesia bersama negara-negara anggota ASEAN lainnya dalam percepatan pemulihan dan pertumbuhan ekonomi, inklusivitas finansial, dan pembangunan berkelanjutan di kawasan.

Indonesia memprioritaskan tiga isu penting dalam konteks ekonomi kawasan, yakni pemulihan dan pembangunan kembali ekonomi kawasan, percepatan ekonomi digital, dan ekonomi keberlanjutan. Alih-alih hanya berfokus pada pembangunan ekonomi kawasan saja, Indonesia harus mengimplementasikan peran kepemimpinannya dalam mengorganisir kerja sama percepatan pembangunan berkelanjutan ASEAN. Tulisan ini akan membahas pentingnya percepatan ekonomi berkelanjutan di kawasan ASEAN dan apa saja yang bisa dilakukan Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada 2023. 

Urgensi Percepatan Ekonomi Hijau di ASEAN

Saat ini, kerja sama ASEAN sangat dibutuhkan untuk menghadapi dampak negatif perubahan iklim dalam berbagai sektor utama masyarakat ASEAN. Sebagai contoh, ASEAN berpotensi kehilangan setidaknya 35% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) kawasan pada tahun 2050 akibat perubahan iklim. Lebih lanjut, laporan the COP26 Universities Network and the British High Commission to Singapore berjudul Adaptation and Resilience in ASEAN: Managing Disaster Risks from Natural Hazards menunjukkan bahwa peningkatan curah hujan akibat perubahan iklim akan berdampak signifikan terhadap produktivitas sektor pertanian negara-negara di kawasan ASEAN. Produksi pertanian, terlebih produksi beras, diperkirakan berkurang sebanyak 50% karena banjir, kekeringan yang berkepanjangan, dan perubahan cuaca yang signifikan. Dampak dari perubahan iklim juga akan berpengaruh pada pendapatan ekonomi yang diperoleh sektor perikanan. 

Tantangan perubahan iklim demikian pun dikhawatirkan semakin menyulitkan masyarakat ASEAN dalam memperoleh makanan yang bernutrisi. Pada tahun 2020 saja, 46% dari masyarakat ASEAN tidak mendapatkan akses terhadap makanan yang sehat dan bergizi. Selain itu, permasalahan seperti gelombang migrasi yang masif karena kurangnya bahan makanan, isu kelaparan, kemiskinan, hingga keamanan juga akan mempersulit integrasi dan percepatan pertumbuhan ekonomi kawasan. 

Ekonomi hijau adalah sistem ekonomi yang tidak hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi semata, tapi juga memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan dan inklusivitas pembangunan. Dalam praktiknya, sistem ekonomi ini dapat diimplementasikan dengan melakukan efisiensi penggunaan sumber daya, pengurangan emisi karbon, dan mengurangi polutan serta limbah yang dapat merusak lingkungan. Melihat kondisi ASEAN saat ini, strategi ekonomi hijau perlu dilaksanakan pemerintah dan masyarakat negara-negara ASEAN.

Dalam perkembangannya, ASEAN telah membuat kerangka kerja sama dalam pengembangan ekonomi hijau di kawasan, salah satunya melalui adopsi Framework for Circular Economy for the ASEAN Economic Community (AEC) pada AEC Council Meeting ke-20. Kerangka kerja ini berperan sebagai pedoman jangka panjang ASEAN dalam meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan melalui praktik ekonomi sirkular. ASEAN pun telah mengeluarkan berbagai laporan kerja sama untuk melihat dan mengukur potensi dampak perubahan iklim di kawasan. 

Melalui implementasi praktik ekonomi hijau di kawasan, negara-negara di ASEAN dapat membuka banyak lapangan kerja baru hingga mencapai 30 juta lapangan kerja yang berhubungan dengan pengembangan usaha dan bisnis ekonomi hijau pada tahun 2030. Berdasarkan laporan Bain and Company, ASEAN juga akan mendapatkan keuntungan hingga $1 miliar melalui implementasi ekonomi hijau. Selain keuntungan ekonomi, sistem ekonomi hijau akan mengurangi emisi karbon hingga 80% melalui pengurangan penggunaan bahan bakar fosil untuk kendaraan motor yang mendominasi kendaraan di berbagai kota utama negara-negara ASEAN. Selain itu, implementasi ekonomi hijau pada sektor industri ASEAN juga dapat meningkatkan efisiensi dan tingkat kompetisi dari perusahaan-perusahaan di ASEAN untuk bersaing dengan perusahaan dari kawasan lainnya. 

Keketuaan Indonesia dan Ekonomi Hijau ASEAN 2023

Setidaknya ada tiga hal yang Indonesia perlu lakukan sebagai Ketua ASEAN 2023 dalam mempercepat akselerasi pembangunan berbasis ekonomi hijau di ASEAN. 

Pertama, Indonesia perlu mendorong kerja sama dan pertukaran ide serta praktik ekonomi hijau dengan berbagai negara di ASEAN. Sebagai contoh, Vietnam telah mengembangkan landasan hukum khusus untuk penerapan ekonomi sirkular melalui Peraturan Perlindungan Lingkungan pada tahun 2020. Peraturan ini dapat menjadi pembelajaran bagi anggota ASEAN lainnya untuk mengembangkan kebijakan percepatan pembangunan ekonomi hijau. 

Kedua, Indonesia perlu mendorong keterlibatan UKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) melalui mekanisme kerja sama ASEAN untuk mempercepat penerapan ekonomi berkelanjutan. Hal ini menjadi krusial mengingat 90% dari bisnis yang ada di kawasan ASEAN merupakan bisnis UKM. Dukungan negara-negara ASEAN terhadap UKM diperlukan karena sering terkendalanya UKM oleh keterbatasan sumber daya, utamanya modal untuk mengubah model bisnis konvensional menjadi bisnis yang berbasis pada keberlanjutan lingkungan. Di samping itu, pemerintah negara-negara ASEAN perlu mengembangkan berbagai kebijakan untuk menstimulasi peralihan UKM menuju sistem bisnis yang berkelanjutan.

Ketiga, Indonesia perlu mendorong akselerasi kerja sama ASEAN dengan mitra ASEAN seperti negara-negara Uni Eropa yang telah lebih dahulu mengembangkan sistem ekonomi hijau. Mendorong adanya investasi dan kerja sama, baik dalam bidang kebijakan dan teknologi, akan mendorong percepatan pengembangan ekonomi hijau di ASEAN. Indonesia dapat memainkan peranan penting dalam meletakkan fondasi untuk pengembangan ekonomi berkelanjutan di kawasan ASEAN untuk mengatasi keterbatasan kapasitas investasi dan sumber daya, belum terbukanya pasar yang luas untuk pemasaran produk-produk berbasis lingkungan, dan kebijakan negara-negara yang masih belum dalam tingkat yang sama.

Sebagai Ketua ASEAN 2023, Indonesia harus dapat menjembatani kepentingan pembangunan ekonomi dengan pembangunan berkelanjutan melalui pengembangan ekonomi hijau di kawasan. Berbagai inisiasi kegiatan yang dilakukan pada kepemimpinan ASEAN 2023 menjadi krusial karena tidak hanya akan membawa ekonomi ASEAN maju, tapi juga memastikan perekonomian ASEAN terhindar dari dampak negatif lingkungan dan perubahan iklim di masa mendatang. 

Industri Nikel Indonesia Pasca Sengketa Perdagangan dengan Uni Eropa

Industri Nikel Indonesia Pasca Sengketa Perdagangan dengan Uni Eropa

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Maria Angela Koes Sarwendah

Kepala Divisi Diseminasi, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Sengketa larangan ekspor nikel di WTO (World Trade Organization) antara Indonesia dengan Uni Eropa tinggal menunggu keputusan. Pada 22 November 2019, Uni Eropa mengajukan gugatan kepada WTO terkait larangan ekspor bijih nikel Indonesia yang dianggap merugikan industri nikel negara-negara Uni Eropa. Gugatan Uni Eropa mencakup lima bahasan pokok, yakni: (a) pembatasan ekspor nikel, termasuk larangan ekspor yang sebenarnya; (b) kebutuhan pengolahan dalam negeri untuk nikel, bijih besi, kromium, dan batubara; (c) kewajiban pemasaran dalam negeri untuk produk nikel dan batubara; (d) persyaratan perizinan ekspor nikel, dan; (e) skema subsidi yang dilarang. 

Dalam perkembangan terbaru, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan Indonesia berpeluang kalah dalam sengketa perdagangan dengan Uni Eropa di WTO. Terlepas dari keputusan WTO, Indonesia tetap bersikeras melarang ekspor nikel dan menerapkan aturan serupa pada komoditas mentah lainnya seperti batubara, bauksit, tembaga,  dan emas. "Sepertinya kita akan kalah di WTO, tapi tidak apa-apa, industrinya sudah dibangun," kata Jokowi. 

Tulisan ini akan mengulas mengenai potensi industri nikel di Indonesia, alasan di balik dikeluarkannya kebijakan pelarangan ekspor nikel, dan isu-isu lain terkait industri nikel di Indonesia. Secara singkat, kebijakan pelarangan ekspor nikel mengindikasikan proteksionisme terhadap industri nikel dalam negeri. Pemerintah Indonesia perlu memperhatikan beberapa risiko yang eksis jika kebijakan hendak terus dipertahankan. Artikel ini akan membahas poin-poin tersebut secara mendalam. 

Potensi Industri Nikel Indonesia

Indonesia merupakan negara pengekspor nikel yang menguasai total 20% ekspor nikel dunia sebelum larangan ekspor bijih nikel diberlakukan dua tahun lalu. Indonesia memproduksi 1 juta metrik ton per tahun dan menyumbang 37% dari total produksi nikel dunia pada tahun 2021, yakni sekitar 2,7 juta metrik ton. Namun, terlepas dari adanya larangan ekspor, Indonesia tetap mampu meraup keuntungan dari ekspor produk berbasis nikel sebesar $20,9 miliar pada tahun 2021. Nilai ini meningkat drastis, mengingat pendapatan ekspor produk berbasis nikel Indonesia 7 tahun lalu hanya berada di angka $1 miliar. Jokowi berpendapat bahwa konsistensi Indonesia pada kebijakan ini akan mengantarkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai $3 triliun pada tahun 2030.

Alasan Larangan Ekspor Indonesia

Setidaknya ada dua alasan utama yang menjadi landasan pemerintah Indonesia dalam mengambil kebijakan pelarangan ekspor nikel: 

  1. Perkembangan teknologi smelter di Indonesia berpeluang memicu naiknya kebutuhan nikel domestik. Indonesia kini memiliki 21 smelter yang direncanakan bertambah hingga 53 smelter pada tahun 2024. Kebutuhan nikel domestik sebagai bahan baku pengolahan smelter diprediksi mencapai 100 juta ton pada tahun 2022 dan akan terus meningkat. Nikel hasil olahan smelter memiliki kualitas lebih tinggi dan harga jual yang tidak rendah sehingga keuntungan ekspornya lebih besar daripada bijih nikel semata. Alih-alih dijual ke luar negeri, pemerintah bertujuan mengamankan stok bijih nikel domestik untuk kebutuhan smelter. 
  2. Kebijakan larangan ekspor nikel dipandang mampu mengembangkan industri hilir dalam negeri yang berkaitan dengan komoditas nikel. Pemerintah Indonesia menargetkan lebih banyak investasi di industri hilir nikel, utamanya pengembangan industri baterai listrik. Saat ini, Indonesia hanya bisa memproduksi produk turunan nikel kelas 2 yang dibutuhkan untuk memproduksi baja nirkarat. Sementara itu, produk turunan nikel kelas 1 dibutuhkan dalam pembuatan baterai listrik. Dalam pernyataannya, Presiden Jokowi ingin nikel Indonesia diolah menjadi produk nikel tingkat 1 dan bahan baku baterai litium untuk memproduksi kendaraan listrik. Industri pengolahan nikel tingkat 1 dinilai menjanjikan bagi Indonesia di masa depan. 

Dari alasan-alasan tersebut, kebijakan larangan ekspor nikel yang diimplementasikan pemerintah Indonesia nampak berorientasi pada pengembangan industri domestik. Industri pengolahan nikel yang masih belum siap bersaing dengan industri besar lain membutuhkan bantuan investasi dan proteksi dari pemerintah. Kebijakan proteksionisme, layaknya larangan ekspor, dilakukan suatu negara agar industri pemula memiliki skala ekonomi dan kapasitas yang cukup kuat untuk bersaing di kancah internasional.

Dalam konteks yang lebih luas, tidak berubahnya sikap Indonesia didasarkan pada keinginan Indonesia untuk beralih peran dari eksportir bahan mentah menjadi produsen olahan nikel bernilai ekonomi tinggi. Sikap demikian dipertegas dengan pernyataan Jokowi, di mana “Indonesia selalu mengekspor bahan mentah, sementara lebih baik mengolah dan mengkonsumsinya melalui industri hilir atau di dalam negeri”. Nilai ekspor bijih nikel saat ini berkisar pada angka $30 per ton, sedangkan nilai tersebut akan meningkat menjadi $100 per ton apabila dikonversikan menjadi feronikel – logam paduan antara besi dan nikel yang digunakan sebagai bahan pemadu dalam pembuatan baja. Dengan mengandalkan pengembangan industri hilir nikel, Indonesia mengekspektasikan keuntungan bagi sektor ini melalui penambahan nilai produk olahan nikel, penciptaan lapangan kerja, serta pengurangan mengurangi emisi karbon.

Isu-isu terkait Industri Nikel

Di samping melihat potensi yang dapat dikapitalisasi Indonesia, pemerintah perlu memperhatikan sejumlah isu penting yang menyertai kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel. Isu yang dimaksud meliputi: (a) kerugian pendapatan negara; (b) transfer nilai tambah, dan; (c) ketenagakerjaan.

Pertama, Indonesia perlu mempertimbangkan potensi kerugian dalam pendapatan negara. Pelarangan ekspor nikel berisiko menurunkan penerimaan pajak negara dari perusahaan dan bea keluar sehingga hilirisasi industri nikel harus dapat menutup kerugian tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah menciptakan insentif untuk menarik investor. Insentif dapat berupa tax holiday atau cuti pajak bagi investor, yakni pengurangan hingga pembebasan pajak penghasilan (PPh) badan dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, dukungan pemerintah dalam bentuk kemudahan perizinan untuk mempersingkat pengurusan izin investasi juga dapat meminimalisasi kerugian dari berkurangnya pendapatan ekspor. 

Adapun beberapa investor asing telah menunjukkan minatnya untuk berinvestasi dalam pemurnian dan pemrosesan nikel di Indonesia. Perusahaan asal Tiongkok, GEM Co, memiliki komitmen investasi $30 miliar dan bersedia terlibat dalam kemitraan proyek pengembangan industri nikel Indonesia. Pada pertengahan April 2022, raksasa baterai China CATL juga mulai menjajaki investasi di Indonesia untuk penambangan nikel dan produksi baterai kendaraan listrik.

Isu kedua adalah transfer nilai tambah dari perusahaan tambang ke smelter. Sektor pertambangan lokal perlu berhadapan dengan permasalahan harga jual nikel dalam negeri dan sistem penilaian kadar uji logam. Larangan ekspor memaksa perusahaan tambang menjual bijih nikelnya ke perusahaan peleburan dalam negeri dengan harga yang lebih rendah di tengah tingginya harga nikel dunia saat ini. Selain itu, terdapat pula ketidakadilan dalam sistem penilaian kadar uji logam nikel yang dirasakan pengusaha nasional. Ketidakadilan tersebut terlihat ketika para pengusaha yang memiliki izin usaha pertambangan nikel diwajibkan menggunakan surveyor yang ditunjuk pemerintah, sementara investor smelter asing boleh menunjuk surveyor sendiri. Hal ini berdampak pada perbedaan hasil analisis kandungan nikel, di mana hasil analisis surveyor pembeli seringkali jauh di bawah hasil analisis surveyor penambang. Walau pemerintah perlu memberi kemudahan bagi investor asing, pemerintah tetap harus memastikan kebijakannya tidak merugikan pengusaha dalam negeri.

Isu ketiga berkaitan dengan ketenagakerjaan. Meskipun larangan ekspor bijih nikel diklaim berpeluang meningkatkan penyerapan tenaga kerja, terutama di sektor peleburan, pemerintah juga perlu memikirkan dampak perampingan sektor pertambangan. Terlepas dari belum adanya data yang cukup kredibel menggambarkan penyerapan tenaga kerja Indonesia di sektor pertambangan nikel, data BPS menyebutkan proporsi angkatan kerja industri manufaktur Indonesia tahun 2018-2020 belum meningkat signifikan. Dampaknya, pelarangan ekspor belum dapat dipastikan akan menguntungkan masyarakat dalam aspek ini. 

Langkah Indonesia untuk melakukan pelarangan ekspor bijih nikel bukanlah langkah yang bebas dari risiko. Kegigihan Indonesia hanya akan membawa keuntungan apabila diimbangi dengan pemberian perhatian khusus dan penanggulangan risiko dari pemerintah Indonesia terhadap isu-isu pajak, kemudahan berinvestasi, transfer nilai tambah dari perusahaan tambang ke smelter, dan peningkatan tenaga kerja secara nyata. Dibutuhkan sinergi dalam kerjasama untuk menanggulangi risiko dan memanfaatkan potensi terkait kebijakan larangan ekspor nikel Indonesia. 

Eksistensi RCEP bagi Perwujudan Kepentingan ASEAN

Eksistensi RCEP bagi Perwujudan Kepentingan ASEAN

Penulis :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Maria Angela Koes Sarwendah

Kepala Divisi Diseminasi, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) merupakan perjanjian perdagangan yang melibatkan semua negara anggota ASEAN dengan Tiongkok, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Korea Selatan. Perjanjian perdagangan ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi alur perdagangan internasional dan perkembangan ekonomi bagi negara yang menandatanganinya. RCEP mulai digagas oleh ASEAN pada tahun 2011, dirundingkan sejak 2012 hingga disepakati pada 2020. Dalam proses negosiasi yang terjadi, India akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari RCEP. Berlaku efektif tahun 2022, RCEP menjadi kerja sama regional perdagangan bebas terbesar di dunia yang mencakup lebih dari 30% dari GDP dunia dengan nominal US$ 26,2 miliar dan 1/3 penduduk dunia. Tulisan ini akan membahas peran serta kepentingan ASEAN dalam negosiasi RCEP.    

Sebelum ditandatanganinya RCEP, ASEAN sebetulnya telah melakukan perjanjian perdagangan secara terpisah dengan setiap negara yang juga tergabung dalam RCEP. Dikenal dengan istilah ASEAN+1 FTAs (Free Trade Agreements), ASEAN melakukan kerja sama dengan Australia dan Selandia Baru di bawah kerangka AANZFTA (2010), dengan Tiongkok di bawah ACFTA (2015), dengan Korea Selatan di bawah AKFTA (2007), serta dengan Jepang di bawah AJCEP (2008). Tidak hanya melalui organisasi ASEAN, negara-negara anggota ASEAN juga memiliki perjanjian perdagangan bilateral dengan negara yang tergabung ke dalam RCEP seperti IA-CEPA antara Indonesia dengan Australia yang juga disepakati pada 2020. ASEAN pun memiliki perjanjian perdagangan antar sesama anggota seperti AFTA (ASEAN Free Trade Area). 

Tambahan perjanjian perdagangan RCEP dikhawatirkan akan menimbulkan apa yang disebut sebagai efek mangkuk spageti (spaghetti bowl effect), dimana eksistensi perjanjian perdagangan yang semakin banyak akan kontraproduktif terhadap tujuan peningkatan perdagangan regional karena isinya saling tumpang-tindih dan tidak sinkron. Namun, RCEP justru berpotensi menjadi katalis efisiensi perdagangan ASEAN dengan para mitranya dan jalan keluar dari spaghetti bowl effect. RCEP tidak akan menjadi hambatan terhadap kelancaran perdagangan internasional ASEAN, melainkan akan mempermudah perdagangan ASEAN dengan para mitranya karena menyatukan perjanjian perdagangan dengan mitra lainnya yang telah ada ke dalam suatu perjanjian kerja sama baru. 

ASEAN memiliki peran sangat besar dalam menyukseskan RCEP sebagai penggagas sekaligus pemimpin perundingan dengan membawa konsep sentralitas ASEAN (ASEAN Centrality). Sentralitas ASEAN merupakan prinsip yang diusung ASEAN dalam mengajak mitra kerja samanya, seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, untuk mengikuti mekanisme yang berlaku di kawasan ASEAN. Kepemimpinan ASEAN dalam proses perundingan RCEP tidak semata-mata karena ASEAN memiliki perhatian tinggi terhadap regionalisme di kawasan Asia-Pasifik. ASEAN bergerak berdasarkan kepentingan terhadap peningkatan perekonomian dan perdagangan karena melihat pelaksanaan perjanjian perdagangan bilateral dengan mitra ASEAN selama ini belum terlalu signifikan pengaruhnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kepentingan utama ASEAN adalah mempermudah perdagangan antara ASEAN dengan mitra dagangnya. Aspek sentralitas ASEAN, yang diusung dalam setiap perundingan RCEP, menjadi sinyal dari keinginan ASEAN untuk menempatkan dirinya sebagai pemimpin dan fasilitator RCEP demi mewujudkan kepentingannya.

Namun, manifestasi sentralitas ASEAN dalam RCEP tidak berhenti pada pemosisian ASEAN sebagai pemimpin perundingan atas dasar pemenuhan tanggung jawab memajukan perdagangan semata. Sentralitas ASEAN perlu juga dipandang dari terbukanya peluang ASEAN untuk mendorong terbentuknya substansi perjanjian yang menguntungkan posisi ASEAN di dalamnya. Menurut Mueller, ASEAN sedang dalam bahaya karena perjanjian perdagangan ini beranggotakan negara-negara ekonomi kuat dunia yang hanya akan memanfaatkan ASEAN sebagai tujuan pasar. Benar bahwa RCEP tidak berpusat terhadap keuntungan ASEAN semata, namun sentralitas ASEAN akan memperkuat jaminan RCEP untuk tetap mengakomodasi kepentingan-kepentingan ASEAN. Hal ini salah satunya terlihat dari tercapainya RoO (Rules of Origin) atau ketentuan asal barang sebagai bagian dari kepentingan ASEAN.

Sama seperti perjanjian perdagangan lainnya, RCEP dirumuskan untuk mengurangi tarif dan hambatan perdagangan demi meningkatkan volume dan keuntungan perdagangan internasional. Bagi ASEAN, RCEP juga berpengaruh dalam meningkatkan integrasi dari perjanjian-perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Pada saat yang bersamaan, RCEP mengeliminasi hambatan perdagangan yang berkaitan dengan tarif sekaligus hambatan non-tarif. Salah satunya adalah perjanjian mengenai RoO (Rules of Origin) di Bab 3 RCEP yang mengatur mengenai identitas barang dan komoditas yang diperdagangkan. RoO memberikan identifikasi negara asal barang untuk menunjukkan dari mana suatu komoditas berasal. Akan tetapi, RoO bisa saja menjadi salah satu hambatan perdagangan ketika peraturan yang dibuat sangat mengikat dan detail. Oleh karenanya, negosiasi mengenai RoO dalam RCEP merupakan salah satu aspek negosiasi yang paling rumit karena setiap negara dapat tergabung ke dalam satu hingga tiga perjanjian perdagangan dengan berbagai pihak. Hal ini menjadi sangat kompleks karena RCEP harus mempertemukan kepentingan-kepentingan negara yang terlibat karena tidak ada satu pihak pun yang menginginkan RoO membahayakan perdagangan mereka di masa depan.

RoO memberikan acuan standar bagi suatu produk yang akan dipasarkan ke negara lain dengan memfasilitasi kesatuan informasi berdasarkan standar dan kriteria yang disepakati dalam suatu perjanjian perdagangan. RoO dalam FTA dikategorikan sebagai sesuatu yang istimewa karena membantu negara asal barang untuk mendapatkan perlakukan spesial (preferential and special treatment) di pasar negara yang menyepakati suatu perjanjian perdagangan internasional yang sama. Hal ini sangat menguntungkan bagi setiap negara yang tergabung dalam RCEP karena RoO rawan menambah cukup banyak biaya perdagangan, mulai dari 1,4% hingga 5,9%. Pengaturan RCEP mengenai RoO diperkirakan akan mengurangi biaya ekspor dan mempercepat perdagangan antar negara dalam kerangka RCEP  sebesar US$ 90 miliar per tahun. Hal ini tentunya menguntungkan ASEAN dari sisi peningkatan volume perdagangan dan simplifikasi kerja sama internasional. Harmonisasi RoO antara ASEAN dengan sesama anggota RCEP sebagai mitra dagang yang sebelumnya memiliki peraturan berbeda-beda menjadikan perdagangan semakin efisien dan terhindar dari spaghetti bowl effect

ASEAN sebagai pemimpin dalam proses perundingan RCEP dianggap berhasil karena dapat membawa banyak negara menyetujui perjanjian yang prosesnya tidak sederhana. Dalam waktu yang bersamaan, ASEAN juga dapat mengimplementasikan nilai sentralitas ASEAN untuk menjamin terakomodasinya kepentingan ASEAN. Selain menghilangkan hambatan perdagangan seperti dengan penyepakatan RoO, RCEP menjadi kerangka perjanjian yang memudahkan ASEAN dalam meningkatkan efisiensi perdagangan dengan mitranya. Banyaknya perjanjian ASEAN dengan mitra lainnya mendorong ASEAN untuk mempersatukan mitra-mitra dagangnya ke dalam suatu perjanjian kerja sama perdagangan dengan pedoman yang sama. Faktor-faktor demikianlah yang menjadikan RCEP dapat memberikan jalan bagi tercapainya lebih banyak lagi kepentingan ASEAN alih-alih menghalangi langkah ASEAN.

Sepak Terjang Petambak Garam di Tengah Derasnya Keran Impor

Sepak Terjang Petambak Garam di Tengah Derasnya Keran Impor

Penulis:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Maria Angela Koes Sarwendah

Kepala Divisi Diseminasi, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Muna Rihadatul Aisi

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Sebagai negara maritim, Indonesia punya laut yang sangat luas, lo! Diketahui sekitar 71% atau setara dengan 95.181 kilometer wilayah Indonesia merupakan laut yang terbentang dari barat hingga timur Indonesia. Lautan yang demikian luas memiliki potensi besar untuk menghasilkan garam, tapi nyatanya pertanian garam Indonesia belum mampu memenuhi konsumsi garam dalam negeri. Indonesia secara terus-menerus melakukan impor demi memenuhi permintaan garam di tengah keterpurukan industri garam dalam negeri. Kira-kira mengapa, ya, hal ini bisa terjadi? Mari kita cari tahu tantangan pertanian garam di Indonesia serta sepak terjang pengembangan salah satu Kelompok Usaha Garam Rakyat (KUGAR) di Yogyakarta dalam mengatasi kendala tersebut.

Tantangan Pertanian Garam di Indonesia

Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik, total garam yang diproduksi Indonesia pada tahun 2021 hanya mencapai 1,5 juta ton di saat permintaan garam mencapai 3,1 juta ton. Ada banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan jumlah hasil produksi dengan permintaan garam, salah satunya cuaca yang sering berubah-ubah. Satu-satunya periode yang dapat dimaksimalkan untuk produksi garam adalah musim kemarau. Sayangnya, cuaca Indonesia dalam beberapa waktu terakhir tidak menentu karena fenomena La Nina membuat curah hujan tetap tinggi saat musim kemarau. Cuaca yang tidak menentu inilah yang menghambat proses produksi garam, apalagi produksi masih dilakukan secara tradisional. 

Tidak hanya permasalahan cuaca, ternyata kualitas garam juga menyebabkan belum terpenuhinya kebutuhan garam Indonesia. Mayoritas petambak garam lokal belum dapat menghasilkan garam sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI), di mana kadar NaCl garam konsumsi beryodium perlu mencapai 94,7% dan garam industri aneka pangan minimal 97%. Komisi Codex Alimentarius, selaku badan penanggung jawab standar pangan global bentukan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) serta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menetapkan kadar NaCl dalam garam untuk konsumsi langsung maupun pembuatan makanan tidak boleh kurang dari 97%. Usut punya usut, garam konsumsi produksi petambak Indonesia kaya akan mineral lain yang justru menjadi zat pengotor dan harus dihilangkan agar garam bersifat murni. Maka dari itu, garam berkualitas tinggi perlu didorong melalui pelatihan dan pemberdayaan kelompok petambak garam serta inovasi teknologi pengolahan garam. 

Ada beberapa hambatan dalam rantai pasok garam yang ikut menyebabkan garam Indonesia langka, seperti harga yang tidak kompetitif dan stok yang terbatas. Hal ini dikarenakan produksi garam hanya berjalan efektif dalam masa yang cukup singkat, yaitu tiga bulan. Hasil panen garam biasanya langsung dijual saat panen raya tanpa cadangan stok. Di saat yang sama, pemerintah tetap mengimpor garam sehingga garam melimpah di pasaran. Banyak beredarnya garam lokal saat panen menjadikan harganya murah, tapi kurang diminati karena masyarakat terlanjur familiar dengan garam impor yang ada setiap saat. 

Tapi jangan khawatir, Indonesia masih punya peluang untuk memajukan industri garam lewat diversifikasi produk. Setiap kali panen, petambak garam perlu menyortir garam layak konsumsi dan tidak layak konsumsi. Tapi garam yang tidak memenuhi standar konsumsi bukan berarti tidak berguna, lo. Jepang, contohnya, banyak mengimpor garam dengan kandungan mineral lain tinggi untuk keperluan tradisi. Maka dari itu, kajian dan pendampingan pengembangan produk turunan garam non-konsumsi harus didorong supaya petambak dan industri garam lokal tetap sejahtera. 

Menilik Produksi Garam di Gunungkidul

Belum lama ini, Pantai Siung dan Pantai Sepanjang di Kabupaten Gunungkidul (DIY) mulai aktif menghasilkan garam. Kedua pantai ini berada di garis pantai selatan Jawa yang terkenal akan kejernihan air dan gulungan ombaknya yang besar. KUGAR Tirta Bahari adalah kelompok petambak yang mengelola produksi garam tersebut. 

Garam Gunungkidul memiliki keunggulan yang tidak dimiliki daerah lain, di antaranya berwarna putih bersih dengan kristal garam yang berkilau karena berasal dari samudra yang jernih. Selain itu, garam Gunungkidul juga diproduksi secara organik dari alam yang jauh dari pencemaran dan diproses tanpa zat aditif. Menariknya lagi, garam yang diproduksi oleh KUGAR Tirta Bahari menggunakan sistem tunnel. Dengan sistem tunnel, petambak hanya perlu menambahkan wadah penampungan pada lahan dan membuat penutup yang dirangkai seperti terowongan (tunnel) menggunakan plastik khusus. Sistem ini membuat produksi garam dapat berlangsung sepanjang tahun meski musim hujan, berhubung cahaya dan hawa panas yang membantu proses kristalisasi bisa terus masuk dan terperangkap dalam ruang yang ditutupi plastik. Di Pantai Sepanjang, para petambak garam lokal sudah diberikan pelatihan dan pengembangan sistem tunnel sejak tahun 2017 untuk mengatasi fenomena kemarau basah 2016. Lain halnya di Pantai Siung, pengalihan tujuan pemberdayaan tunnel dari edukasi wisata menjadi produksi garam baru dimulai tahun 2020 untuk menghadapi tantangan ekonomi pandemi COVID-19. Seluruh garam yang dihasilkan melalui sistem ini dapat dimanfaatkan menjadi berbagai produk, di antaranya garam industri, garam kecantikan, garam kasar (krosok), dan bittern atau limbah cair garam yang menyimpan banyak manfaat.

Sebagai kelompok usaha yang masih terbilang muda, KUGAR Tirta Bahari masih berjuang menghadapi beberapa tantangan. Berdiri tahun 2013, KUGAR Tirta Bahari masih beroperasi secara tradisional dan belum punya cukup pengurus untuk mempertahankan keberlanjutannya. Rata-rata petambak garam KUGAR bekerja sesuai dengan kesanggupannya masing-masing dan tidak jarang memiliki profesi lain. Ketika musim liburan tiba, banyak petambak garam yang beralih profesi di sekitar pantai sehingga cukup menyulitkan pengelolaan dan produksi garam. Banyak warga usia muda juga lebih memilih untuk merantau karena belum stabilnya aktivitas dan pemasukan bertambak.

Tidak hanya itu, garam yang dihasilkan masih sulit menembus pasar nasional. Sejauh ini produk garam KUGAR masih dijual di sekitar Pantai Sepanjang dan Pantai Siung dengan menyasar wisatawan. Sementara itu, garam tidak dapat dijual kepada industri karena belum bisa memenuhi permintaan pasar. Akibatnya, Gunungkidul masih tertinggal dari Purworejo ataupun Kebumen yang garamnya sudah lebih dahulu berkembang. 

Ketua KUGAR Tirta Bahari, Bapak Wahyono, terus berupaya mengembangkan sistem produksi garam di Pantai Sepanjang, di antaranya dengan berkunjung dan belajar kepada petambak garam di Purworejo dan Kebumen. Saat ini, KUGAR Tirta Bahari mendapatkan pendampingan dari Tim Gugus Tugas Kemandirian Garam Nasional Universitas Gadjah Mada dalam mendorong produksi dan diversifikasi produk garam. Pendampingan yang didapatkan meliputi riset uji kandungan garam, pendorongan produksi, serta pemasaran produk garam dan turunannya. Upaya tersebut ditujukan supaya garam lokal dapat memenuhi kebutuhan garam nasional dan mensejahterakan petambak garam lokal.

Sejuta Manfaat Garam Organik: Yuk, Cari Tahu!

Sejuta Manfaat Garam Organik: Yuk, Cari Tahu!

Penulis:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Setiap hari kita mengonsumsi garam sebagai penambah rasa dalam makanan. Garam meja yang pada umumnya kita konsumsi memiliki banyak manfaat bagi tubuh kita, di antaranya membantu menjaga keseimbangan elektrolit dalam tubuh dan fungsi organ. Tapi, tahukah kamu? Selain garam meja, ada juga garam organik yang juga memiliki banyak manfaat. Yuk, cari tahu lebih jauh dalam artikel ini!

Apa, sih, Garam Organik itu?

Kata “organik” pasti sudah tidak asing lagi di telinga kita. Istilah tersebut dapat mengacu pada setidaknya dua makna. Makna pertama ialah senyawa organik, yakni senyawa kimia dengan ikatan karbon dan hidrogen (hidrokarbon) yang memiliki peran vital dalam menghasilkan energi bagi manusia. Namun, istilah organik memiliki makna yang berbeda ketika digunakan untuk mendeskripsikan jenis garam.

Kata “organik” dalam garam organik mengacu pada bagaimana garam tersebut diproduksi. Garam baru bisa disebut organik apabila diproduksi secara manual dari alam tanpa risiko pencemaran air. Garam organik juga diproduksi tanpa melalui proses pemurnian garam, tanpa  zat aditif, serta harus memenuhi standar tinggi dalam analisis kimia. Beberapa contoh garam organik yang beredar di pasaran meliputi Garam Himalaya (Himalayan Salt), Garam Epsom (Epsom Salt), Garam Laut (Sea Salt), dan garam organik lainnya dengan berbagai merek berbeda. 

Sebaliknya, garam anorganik biasanya dipanen secara mekanis dari tanah atau bak beton dan disalurkan melalui pipa logam dengan proses buatan, ekstraksi mineral penting, serta penambahan zat anti gumpal, yodium anorganik, dan zat pemutih. Pada umumnya, garam meja yang kita konsumsi adalah garam anorganik.

Keunggulan Garam Organik

Seperti garam meja yang kita konsumsi, garam organik juga memiliki berbagai manfaat untuk tubuh kita. Garam organik memiliki kandungan elemen penting, yakni magnesium yang lebih tinggi dibandingkan garam meja. Magnesium merupakan elemen yang penting untuk menstimulasi aktivitas sel darah putih dan meningkatkan kerja vitamin. Selain itu, magnesium juga berperan dalam meningkatkan metabolisme glukosa dan phosphocalcium dalam tubuh kita.

Kandungan magnesium pada garam organik dapat pula membantu meredakan stres. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres mental dan fisik dapat ditangani dengan mengatur kadar magnesium dalam tubuh. Meski penelitian tersebut melihat pada konsumsi magnesium secara oral, garam organik yang dikonsumsi secara langsung maupun tidak langsung melalui terapi dapat memiliki dampak yang sama.

Berendam atau spa dengan garam organik dipercaya dapat menghilangkan rasa sakit dan mengurangi pembengkakan pada kondisi peradangan tertentu, seperti rematik, lupus, asam urat, dan radang sendi psoriasis. Magnesium dalam garam organik dapat membantu mengurangi rasa sakit pada penderita radang sendi dengan membuang racun yang memperburuk peradangan, mengurangi pembengkakan, dan meningkatkan fleksibilitas sendi. 

Selain itu, studi menunjukkan bahwa mandi dengan garam organik juga bermanfaat untuk merawat kecantikan kulit dan tubuh. Mandi dengan garam organik dapat meningkatkan kelembapan kulit, mengurangi kemerahan dan peradangan pada kulit, meningkatkan skin barrier, serta menghaluskan tekstur kulit yang kasar. Khasiat demikian menjadikan garam organik sering dimanfaatkan oleh penderita eksim maupun psoriasis. Perawatan atau terapi garam spa kini cukup populer dilakukan oleh kalangan wanita, baik di salon maupun sendiri di rumah. Meski begitu, manfaat garam spa tentu tidak terbatas bagi wanita.

Terapi Garam dengan Garam Spa

Berbekal sejuta manfaat, garam organik saat ini banyak diproduksi dan dipasarkan sebagai terapi kesehatan, lo! Oleh karena itu, tidak akan sulit untuk mendapatkan produk garam organik di berbagai gerai toko organik atau lokapasar (marketplace).

Terapi garam menggunakan garam spa menjadi salah satu opsi penggunaan garam organik. Garam spa pada umumnya digunakan saat mandi dengan cara berendam seluruh tubuh. Cukup siapkan bak rendam dengan air hangat, campurkan dua hingga tiga sendok makan garam spa ke dalam bak rendam, dan gunakan untuk berendam sekitar 15 - 20 menit sebelum membilas tubuh. Selain berendam seluruh tubuh, garam spa juga dapat digunakan untuk merendam kaki apabila hendak ditujukan untuk perawatan kaki saja. 

Di samping penggunaannya yang mudah, garam spa juga sangat diminati karena tersedia dalam beragam aroma untuk memaksimalkan relaksasi. Aroma dalam garam spa dapat menambah kesegaran pada tubuh, membantu mengatasi bau badan, dan mendukung sesi aromaterapi. Mandi dengan garam spa secara teratur tentunya akan memberikan segudang manfaat bagi kesehatan dan kecantikan. 

Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada (PSPD UGM) sebagai bagian dari Tim Gugus Tugas Kemandirian Garam Nasional Universitas Gadjah Mada tengah mendorong produksi garam organik dan garam spa berkualitas Indonesia melalui pemberdayaan produksi garam organik di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Kabupaten Gunungkidul dikenal sebagai daerah dengan garis pantai selatan yang terkenal akan keindahan serta air pantainya yang belum tercemar. Produksi garam organik di sepanjang garis pantai selatan telah menghasilkan jenis garam organik berkualitas dan putih berkilau. Pengembangan produksi garam Gunungkidul ditujukan untuk memenuhi kebutuhan garam nasional, mensejahterakan petambak lokal, serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan garam lokal yang tidak kalah berkualitas.

Keterbutuhan Energi di Tengah Perkembangan Mata Uang Kripto

Keterbutuhan Energi di Tengah Perkembangan Mata Uang Kripto

Penulis :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Perkembangan adopsi masyarakat terhadap mata uang kripto semakin masif dalam beberapa tahun terakhir. Dengan berbagai aspek positif dari mata uang kripto seperti adanya transparansi, kecepatan transaksi, dan juga keamanan, beberapa negara seperti misalnya El Salvador sudah mulai mengadopsi mata uang kripto sebagai alat pembayaran domestik. Sejak munculnya Bitcoin pada 2008, berbagai mata uang kripto bermunculan dan memiliki berbagai kegunaan dan keunggulan. Hal yang cukup menjadi perhatian dari adanya proliferasi penggunaan mata uang kripto dan perluasan adopsi di dalam ekonomi masyarakat dunia adalah energi listrik yang digunakan untuk tetap menjamin sistem blockchain, yang menjadi dasar dari mata uang kripto tetap berjalan. Berdasarkan informasi dari Columbia Climate School, energi yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem Bitcoin saja melebihi konsumsi energi Argentina per tahun. Konsumsi energi listrik yang demikian masifnya menghasilkan 65 megaton karbondioksida setiap tahun dimana total ini setara dengan jumlah emisi yang dihasilkan oleh negara Yunani setiap tahunnya. Bahkan energi yang digunakan dalam proses penambangan Bitcoin per menitnya cukup untuk memenuhi kebutuhan energi rata-rata rumah tangga Amerika Serikat selama 17 tahun. Lebih lanjut, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cambridge University, penambangan Bitcoin menggunakan listrik lebih dari konsumsi listrik gabungan dari Ukraina dan Norwegia per tahun.

Di samping penggunaan mata uang kripto dengan berbagai keunggulan dan kemudahannya ternyata membawa serta isu yang lebih fundamental dalam beberapa tahun terakhir yakni penggunaan energi yang semakin besar. Di samping itu isu dari mana energi tersebut juga semakin penting karena mayoritas sumber energi di dunia masih berasal dari barang tambang ekstraktif seperti misalnya batu bara. Dilansir dari Coinbase, penggunaan energi dalam sistem kripto dikarenakan sistem mayoritas masih berorientasi pada sistem Proof of Work dari pada Proof of Stake

Jelas masifnya penggunaan energi untuk mempertahankan sistem mata uang kripto yang berjalan mengharuskan adanya pertambahan jumlah energi yang dihasilkan. Hal ini ternyata telah memicu peningkatan produksi energi listrik seperti misalnya dari batu bara. Kebangkitan oerusahaan tambang batu bara misalnya terjadi di Amerika Serikat dimana salah satu pembangkit yang hampir bangkrut sejak ditutup, Hardin yang mengalami kerugian dari tahun 2018 kembali mendapatkan keuntungan dalam bisnisnya karena peningkatan kebutuhan energi bagi para penambang kripto. Bahkan tahun 2020, energi yang dihasilkan dari pembangkit listrik batu bara ini hanya ditujukan untuk para penambang kripto. Dilansir dari The Guardian, Hardin merupakan bagian kecil dari hidupnya kembali pembangkit listrik tenaga batu bara karena adanya peningkatan penggunaan kripto dalam beberapa tahun terakhir.

Efisiensi Sistem Kripto 

Mata uang kripto masih baru saja berkembang dalam 10 tahun terakhir secara masif. Adopsi yang semakin luas dari masyarakat menunjukkan adanya potensi terhadap sistem finansial yang sebenarnya dimulai karena adanya krisis finansial pada tahun 2008 dengan munculnya Bitcoin yang diduga dikembangkan oleh Satoshi Nakamoto (bisa jadi nama kelompok/orang). Dengan sistem yang masih dapat berkembang seperti misalnya dari Proof of Work menjadi Proof of Stake pada sistem blockchain dapat memperkecil konsumsi dan energi yang dibutuhkan oleh sistem uang kripto untuk menjaga sistemnya tetap berjalan. Hal ini misalnya disampaikan dalam kampanyeChange the Code not the Climate” yang dikoordinasikan oleh Greenpeace Amerika Serikat dan Environmental Working Group bahwa Bitcoin dan mata uang kripto perlu meningkatkan sistem dalam mata uang kripto untuk melakukan efisiensi sistem yang kemudian mengurangi konsumsi energi dalam berjalannya sistem.

Dilansir dari NBC News, peneliti dari Ethereum Foundation menyampaikan bahwa dengan menggunakan sistem proof of stake, energi yang digunakan dapat dikurangi hingga lebih rendah 99.99% dari menggunakan sistem proof of work. Hal ini tentunya memberikan optimisme sendiri bagi yang mendukung kripto dan juga memberikan perhatian bagi lingkungan. Beberapa sistem mata uang kripto akan dan telah menggunakan sistem proof of stake semisal Ethereum dan juga Cardano. Dilansir dari Forbes, Proof of Stake menghilangkan sistem elemen kompetisi komputasi dan menjadikan satu mesin hanya bekerja untuk menyelesaikan satu permasalahan koding dalam satu waktu. Hal ini berbeda dengan Proof of Work dimana banyak mesin komputer berusaha untuk menyelesaikan banyak transaksi dalam satu waktu yang tentunya membutuhkan banyak energi.  

Menggunakan Energi Terbarukan

Dengan masifnya energi yang digunakan dalam sistem kripto, penggunaan energi yang ramah lingkungan dan terbarukan menjadi penting dan krusial terutama untuk mendukung sistem transaksi dalam mata uang kripto yang semakin masif diadopsi oleh masyarakat. Hal ini misalnya sudah dilakukan di Kosta Rika yang memiliki surplus energi terbarukan. Dilansir dari DW News, energi yang dibutuhkan untuk melakukan penambangan kripto diperoleh dari energi yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga air. Meskipun demikian, Jose Daniel Lara, peneliti dari UC Berkeley menyampaikan bahwa Kosta Rika merupakan negara yang special karena telah mengalami surplus terhadap energi terbarukan dan logika terhadap penambangan kripto dengan energi terbarukan menjadi memungkinkan.

Oleh karena itu, penting bagi negara-negara yang ingin mengadopsi penggunaan mata uang kripto untuk bukan hanya memperhatikan kemudahan dan keuntungan dari penggunaan mata uang kripto dan teknologi blockchain, namun juga harus memperhatikan sumber energi untuk mempertahankan sistem teknologi kripto tetap berjalan dengan baik.

Menuju Circular Fashion: Perlunya Regulasi dan Penguatan Kerjasama

Menuju Circular Fashion: Perlunya Regulasi dan Penguatan Kerjasama

Penulis:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Derasnya pengaruh globalisasi mendorong terciptanya tren fesyen yang sangat cepat berubah. Untuk dapat bertahan, berbagai perusahaan fesyen tidak hanya bersaing dengan kompetitor yang menawarkan harga yang murah, tetapi juga berlomba untuk dapat memenuhi permintaan konsumen yang sesuai dengan tren terkini atau disebut dengan fast fashion (Barnes & Lea-Greenwood, 2010). Fenomena fast fashion terus berkembang dengan dua karakteristik utama, yakni memangkas jeda proses produksi dan meningkatkan pilihan konsumen dengan memastikan stok barang selalu tersedia dengan konstan (Hines, 2004). Oleh karenanya, berbagai perusahaan fesyen melakukan produksi massal 52 “micro-seasons” setiap tahunnya atau sama dengan satu koleksi baru setiap minggunya dan diperkirakan pada 2050 produksi tersebut dapat mencapai 160 juta ton.

Angka produksi fesyen yang sangat tinggi bukan berarti tanpa konsekuensi. UNEP mencatat bahwa industri fesyen telah menyumbang 8-10 % emisi karbon secara global – melebihi jumlah emisi karbon yang dihasilkan penerbangan internasional dan pengangkutan laut. Dalam proses produksinya, industri ini juga membutuhkan sumber daya air dalam jumlah melimpah dan berkontribusi terhadap 20% air limbah global secara keseluruhan. Untuk memproduksi tekstil sintetik, industri ini membutuhkan 42.534 kilo ton plastik setiap tahunnya yang kemudian berakhir menjadi limbah di laut. Permasalahan lingkungan dalam industri ini juga timbul di fase pasca konsumsi dengan menggunungnya limbah fesyen akhir masa pakai. Berbagai data tersebut menunjukkan bahwa produksi massal pada industri ini berdampak signifikan pada lingkungan tanpa adanya upaya penanganan yang serius.

Demi mendukung keberlanjutan, industri fesyen yang selama ini dijalankan dengan pendekatan linear pada pada proses manufaktur, distribusi, dan konsumsinya haruslah beralih dan diganti dengan pendekatan ekonomi sirkular melalui 3 konsep utama yakni reduce, reuse, dan recycle atau disebut dengan circular fashion. Untuk mengimplementasikan circular fashion, diperlukan dukungan dan komitmen yang kuat dari berbagai pihak salah satunya pemerintah sebagai regulator. Hal ini dikarenakan konsep ini diimplementasikan secara kompleks pada setiap fase yang berkesinambungan dimulai dari tahap awal siklus hidup produk fesyen yakni pada tahap desain hingga ketika penggunaannya selesai dengan memastikan produk tersebut tidak akan berakhir mencemari lingkungan (Brismar, 2017).

Meski demikian, implementasi circular fashion masih menemui tantangan hingga saat ini (Kirchherr, 2018). Sebagai contoh, perusahaan cenderung membeli bahan tekstil sintetik baru karena harganya yang lebih murah dibanding melakukan proses daur ulang akibat dari diberlakukannya kebijakan subsidi bahan bakar fosil oleh pemerintah yang digunakan untuk memproduksi material tersebut. Oleh karenanya, kesadaran masyarakat dan pelaku bisnis akan pentingnya circular fashion perlu disertai dan didukung dengan kesiapan regulasi sebagai faktor pendukung utama yang memiliki kekuatan daya paksa yang mengikat. Persoalan lingkungan di era pembangunan berkelanjutan tersebut perlu diselesaikan melalui peran hukum sebagai alat rekayasa sosial. Dalam hal ini, hukum digunakan sebagai formulasi ilmiah, pendekatan logis,  dan keterampilan inventif untuk mengatur, mengelola, dan menggerakkan masyarakat menuju berbagai pembaharuan (Pound, 1965)

Peneliti berpendapat bahwa fenomena fast fashion perlu ditangani dengan solusi regulasi yang cerdas atau smart regulation (Preston, 2017). Melalui pendekatan ini, selagi sebagian besar investasi, inovasi, dan implementasi circular fashion dilakukan oleh sektor swasta, pemerintah berperan penting untuk mengesahkan kebijakan yang mendukung inovasi, investasi, dan aktivitas bisnis berkelanjutan. Kebijakan untuk menangani fast fashion didesain secara menyeluruh melalui serangkaian kebijakan yang mendukung penggunaan bahan ramah lingkungan dan inovasi lainnya, kebijakan fiskal dengan mendisinsentif kegiatan yang berlawanan dengan usaha proteksi sumber daya, hingga kebijakan yang mengatur mengenai akhir masa pakai. 

Konsep smart regulation bukan lagi sebatas gagasan pembaharuan seiring dengan penerbitan European Union Strategy for Sustainable and Circular Textiles oleh Uni Eropa pada Maret lalu. Pada tahun 2030 mendatang, Uni Eropa memiliki visi untuk memastikan seluruh produk tekstil yang ada di pasarnya merupakan produk yang berumur panjang, berbahan serat daur ulang, bebas bahan berbahaya, serta diproduksi dengan proses yang menghormati hak-hak sosial dan lingkungan. Dalam strategi tersebut, Uni Eropa berhasil untuk membuat desain kebijakan yang komprehensif dan memperlihatkan dukungan penuh terhadap pelaksanaan circular fashion. 

Uni Eropa meregulasi awal siklus hidup tekstil dengan menerapkan aturan desain produk yang lebih ketat untuk menekan limbah mikroplastik dari bahan sintetik. Guna menjawab tantangan budaya berupa kesadaran masyarakat, Digital Product Paspor (DPP) juga menjadi kebijakan baru dalam strategi ini yang bertujuan untuk mengumpulkan data tentang produk dan rantai pasokannya dan membagikannya ke seluruh rantai bisnis sehingga semua pelaku bisnis termasuk konsumen memiliki pemahaman yang baik mengenai produk serta dampak lingkungan yang ditimbulkan. Adapun untuk menangani limbah akhir masa pakai, Uni Eropa menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR) yang mengharuskan produsen bertanggung jawab mengelola produk akhir masa pakai yang dipasarkan di negara tersebut dengan konsep reuse dan recycle. Kebijakan dari hulu ke hilir tersebut membawa implikasi pada 16 tindakan legislasi yang diantaranya meliputi pembuatan regulasi baru seperti Eco Design for Sustainable Product Regulation, serta revisi dan harmonisasi pada regulasi yang berkaitan, diantaranya Textile Labelling Regulation, Waste Framework Directive, Best Available Techniques Reference Documents, dan Taxonomy Regulation

Di sisi lain, terhadap kebijakan Uni Eropa, Kerry Bannigan, Executive Director Fashion Impact Fund -- sebuah organisasi yang mendukung peran perempuan dalam industri fesyen, memberikan catatannya bahwa fesyen merupakan persoalan global yang memerlukan komitmen dari negara lain untuk melaksanakan kerjasama dalam membangun infrastruktur ekonomi sirkular. Dalam perkembangannya, 15 negara maju dan berkembang bersama dengan berbagai negara anggota Uni Eropa yang tergabung dalam Global Alliance on Circular Economy and Resource Efficiency (GACERE) telah berkomitmen untuk menjalankan dan mengadvokasikan circular fashion pada 2020. Selain itu, negara-negara G20 juga melakukan workshop circular fashion yang membahas mengenai peran negara untuk berkontribusi melalui kebijakan yang mendukung di tahun 2021. Namun demikian, hingga saat ini, selain Uni Eropa, hanya Amerika Serikat yang telah meregulasi circular fashion melalui New York Fashion Sustainability and Social Accountability Act yang sedang berada dalam proses legislasi. Oleh karena itu, meskipun berbagai negara saat ini telah berkomitmen pada circular fashion melalui kerjasama internasional, masih banyak negara maju maupun berkembang yang belum mengimplementasikan konsep tersebut pada tataran pembentukan maupun harmonisasi peraturan. 

Sebagai refleksi, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang telah menaruh perhatiannya untuk menyelesaikan persoalan limbah tekstil secara berkelanjutan dalam program industri hijau tepatnya melalui Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2019. Secara lebih luas, pertanggungjawaban industri tekstil kaitannya dengan baku mutu air limbah diatur melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019. Meski demikian, berbagai regulasi tersebut belum memuat terobosan baru kaitannya dengan upaya berkelanjutan untuk menangani fenomena fast fashion yang terjadi saat ini. Di sisi lain, perkembangan hukum lingkungan di Indonesia juga dilakukan secara parsial terbukti subsidi bahan bakar fosil yang masih dilaksanakan oleh pemerintah mencapai USD 8,6 Miliar di tahun 2019 dan di awal pandemi negara G20 mengalokasikan USD 318,84 Miliar untuk menyokong energi fosil. Hal tersebut mengindikasikan kebijakan yang ada belum disusun secara sistematis dan terpadu untuk menjawab permasalahan lingkungan. Padahal di satu sisi, fenomena ini terus mengkhawatirkan didukung dengan fakta bahwa Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil per tahun 2021. Sejatinya, upaya pemerintah Indonesia untuk memberikan himbauan mengenai ekonomi sirkular pada masyarakat di Indonesia telah dilaksanakan melalui kerja sama dengan pemerintah Denmark. Meski demikian, kerjasama yang dijalin belum mampu mendorong Indonesia untuk menerapkan kebijakan riil dan melakukan harmonisasi peraturan sehingga kerjasama tersebut masih perlu diperkuat. 

Sebagai penutup, sebuah adagium hukum berbunyi “het recht hink achter de feiten aan”, menggambarkan kondisi hukum yang selalu tertatih-tatih mengikuti kenyataan. Namun demikian, sejatinya pendekatan hukum sebagai rekayasa sosial telah mampu menjawab problematika modern yang terjadi saat ini. Berdasarkan uraian diatas, regulasi dan kerjasama internasional memainkan peran yang sentral dalam mengimplementasikan circular fashion. Tingginya urgensi untuk mengatasi permasalahan fast fashion yang berdampak besar pada lingkungan perlu didukung komitmen kuat pemerintah untuk berada di pihak pro-lingkungan dan mentranslasikannya dalam tataran regulasi yang holistik. Selanjutnya, circular fashion merupakan upaya yang harus didorong kerjasama antar negara baik negara maju maupun berkembang. Dengan demikian, harapannya negara-negara di seluruh dunia berada dalam satu visi dan misi yang sama untuk menciptakan atmosfer yang mendukung implementasi circular fashion secara global. 

Referensi: 

“A New Textiles Economy: Redesigning Fashion’s Future,” 2017. https://ellenmacarthurfoundation.org/a-new-textiles-economy

Barnes, L., and G. Lea‐Greenwood. “Fast Fashion in the Retail Store Environment.” International Journal of Retail & Distribution Management 38, no. 10 (2010): 760–72. https://doi.org/https://doi.org/10.1108/09590551011076533

Boucher, Julien, and Damien Friot. “Primary Microplastics in the Oceans: A Global Evaluation of Sources,” 2017. https://portals.iucn.org/library/sites/library/files/documents/2017-002-En.pdf

Brismar, Anna. “What Is Circular Fashion?,” 2017. https://greenstrategy.se/circular-fashion-definition/

Directorate-General for Environment. EU Strategy for Sustainable and Circular Textiles (2022). https://ec.europa.eu/environment/publications/textiles-strategy_en 

Institute for Essential Service Reform. “Subsidi Energi Fosil Menghambat Transisi Energi,” 2021. https://iesr.or.id/subsidi-energi-fosil-menghambat-transisi-energi 

Kirchherr, Julian, Laura Piscicelli, Ruben Bour, Erica Kostense-Smit, Jennifer Muller, Anne Huibrechtse-Truijens, and Marko Hekkert. “Barriers to the Circular Economy: Evidence From the European Union (EU).” Ecological Economics 150 (2018): 264–72. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2018.04.028

Kompas. “Kurangi Limbah Tekstil, Bappenas Ajak Industri Terapkan Konsep Fashion Sirkular,” 2022. https://money.kompas.com/read/2022/02/24/083300926/kurangi-limbah-tekstil-bappenas-ajak-industri-terapkan-konsep-fashion-sirkular?page=all 

“New York Fashion Sustainability Act: Now In Committee,” 2022. https://www.natlawreview.com/article/new-york-fashion-sustainability-act-now-committee

Preston, Felix. “A Global Redesign? Shaping the Circular Economy.” Chatham House Briefing, 2012. https://www.chathamhouse.org/sites/default/files/public/Research/Energy, Environment and Development/bp0312_preston.pdf 

Pound, Roscoe (1965) "Contemporary juristic theory," dalam Dennis LLOYD (ed.) Introduction to Jurisprudence. London: Stevens and Sons. Second edition, pp. 247-252.

Smitts, Helene. “Fashion Industry, We Must Prepare for New Regulations,” 2022. https://sourcingjournal.com/topics/sustainability/recover-texiles-recycling-fashion-industry-regulations-waste-337870/

Stanton, Audrey. “What Is Fast Fashion, Anyway?,” n.d. https://www.thegoodtrade.com/features/what-is-fast-fashion.

United Nations Environment Programme. “Financing Circularity: Demystifying Finance Fort The Circular Economy” 2020. https://www.unepfi.org/publications/general-publications/financing-circularity/

———. “UN Alliance For Sustainable Fashion Addresses Damage of ‘Fast Fashion,’” 2022. https://www.unep.org/news-and-stories/press-release/un-alliance-sustainable-fashion-addresses-damage-fast-fashion

Webb, Ella. “EU Moves to Legislate Sustainable Fashion. Will It Work?,” 2022. https://www.voguebusiness.com/sustainability/eu-moves-to-legislate-sustainable-fashion-will-it-work

Serba-Serbi Nikel Indonesia: Dari Kerjasama dengan Tesla hingga Status Produsen Tertinggi Dunia

Serba-Serbi Nikel Indonesia: Dari Kerjasama dengan Tesla hingga Status Produsen Tertinggi Dunia

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Akhir Mei lalu, Tesla dilaporkan telah menyetujui pembangunan pabrik baterai dan kendaraan listrik di Indonesia. Persetujuan ini terjadi setelah CEO Tesla, Elon Musk, bertemu dengan Presiden Joko Widodo di situs peluncuran SpaceX, Texas, Amerika Serikat pada pertengahan Mei 2022. Menteri Investasi Indonesia, Bahlil Lahadalia, pada 19 Mei 2022 mengatakan bahwa kesepakatan itu dilakukan tanpa memberikan terlalu banyak rincian. Beliau juga mengisyaratkan bahwa proyek itu kemungkinan akan dimulai pada tahun ini. Dalam kesepakatan tersebut, disebutkan bahwa Tesla setuju untuk membangun pabrik baterai dan kendaraan listrik di sebuah komplek industri di provinsi Jawa Tengah, tepatnya di Batang. 

Dinamika Kesepakatan Indonesia dengan Tesla 

Usulan terkait kesepakatan dalam pembangunan pabrik baterai litium antara Tesla dengan Pemerintah Indonesia mengalami tarik ulur selama kurang lebih dua tahun. Pada tahun 2020, Tesla tercatat berupaya untuk membujuk Pemerintah Indonesia. Namun, pada tahun tersebut, bujukan tersebut tidak menuai perkembangan. Alih-alih mendirikan pabrik di Indonesia, Tesla membanting setir dan memilih India untuk membangun pabrik otomotif berbasis listrik. Baru, pada Kamis (24/3/2022), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan, menyatakan bahwa pihak Tesla menghubunginya kembali untuk membangun pabrik baterai litium di Indonesia. 

Perjalanan panjang ini diwarnai oleh pasang surut. Pada 11 Desember 2020, CEO Tesla, Elon Musk, menanggapi undangan Presiden Joko Widodo untuk bertukar pandangan mengenai industri mobil listrik dan komponen utama baterai listrik melalui saluran virtual. Dalam perbincangan tersebut, Presiden Joko Widodo juga mengajak Tesla untuk melihat Indonesia sebagai lokasi launching pad SpaceX. Selain perbincangan tersebut, rupanya Pemerintah Indonesia dan tim Tesla telah menandatangani kesepakatan Non-Disclosure Agreement (NDA) yang dilakukan melalui saluran virtual pada Februari 2021. Namun, hasil dari perbincangan tersebut tidak diungkap ke publik dengan alasan kerahasiaan. Perbincangan dan kesepakatan tersebut pada akhirnya tidak mendapatkan hasil realisasi nyata. Untuk itu, kembalinya Tesla dengan tawaran kerjasama di Mei 2022 ini, Menko Luhut memperingatkan pihak Tesla untuk tidak mendikte Pemerintah Indonesia. 

Masifnya Produksi Nikel Indonesia 

Saat ini, Indonesia telah memiliki dua perusahaan produsen baterai kendaraan listrik yang bersedia memproduksi baterai litium di Indonesia. Kedua produsen tersebut ialah Contemporary Amperex Technology Co. ltd. (CATL) dan LG Chem. Keduanya diklaim sudah meng-cover lebih dari 50 (lima puluh) persen baterai litium dunia. Hal ini terjadi karena Indonesia diketahui menduduki posisi teratas sebagai produsen nikel terbesar di dunia, terutama pada tahun 2021. Dikutip dari Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, Indonesia memiliki 25 (dua puluh lima) persen cadangan nikel dunia. Bijih-bijih nikel tersebut ditambang di beberapa wilayah dengan 5 (lima) urutan teratasnya adalah Kabupaten Kolaka di Sulawesi Tenggara, Kabupaten Luwu Timur di Sulawesi Selatan, Kabupaten Morowali di Sulawesi Tengah, Kabupaten Halmahera Timur di Maluku Utara, dan Pulau Gag di Papua Barat. 

Kementerian ESDM mencatat produksi olahan nikel Indonesia mencapai 2,47 juta ton pada 2021. Angka ini naik 2,17 persen dibanding 2020 yang sebesar 2,41 juta ton. Tren produksi olahan nikel di Indonesia mengalami pertumbuhan setiap tahunnya dengan awal produksi olahan nikel hanya sebesar 927.900 ton pada 2018. Di sisi lain, kinerja ekspor dan impor di Maret 2022 berhasil menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah. Meningkatnya performa surplus Indonesia pada Maret 2022 didukung oleh kinerja ekspor yang terus menguat di tengah peningkatan harga berbagai komoditas andalan yang cukup signifikan.

Biden and Dominasi Ekonomi China di Indo-Pasifik

Biden and Dominasi Ekonomi China di Indo-Pasifik

Penulis :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pada Mei 2022 saat kunjungan kerja ke Jepang, Presiden Biden diperkirakan akan mengumumkan sebuah kerangka mekanisme kerja sama dengan negara-negara di wilayah Indo-Pasifik, Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Presiden Biden sebelumnya telah mengusulkan IPEF pada East Asia Summit pada tahun 2017 sebagai salah satu bentuk strategi untuk semakin meningkatkan kerja sama ekonomi dan perdagangan internasional dengan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik. Meski belum diumumkan secara rinci dan formal, dikutip dari pernyataan pemerintah Amerika Serikat, setidaknya terdapat empat pilar utama yang menjadi perhatian dalam kerangka kerja sama perdagangan IPEF yakni, perdagangan yang berkeadilan dan berkelanjutan, resiliensi rantai pasokan, infrastruktur, dekarbonisasi dan energi terbarukan, dan pajak dan anti-korupsi. Kebijakan ini menjadi penanda adanya pergeseran orientasi kebijakan terhadap negara-negara di wilayah di Indo-Pasifik yang sebelumnya banyak dilakukan dalam mekanisme kerja sama pertahanan dan keamanan.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), inklusivitas dari kerja sama ini penting bagi negara-negara terutama karena melibatkan berbagai negara termasuk yang sudah maju dan sedang berkembang untuk memberikan kesetaraan kesempatan perekonomian dan perdagangan terhadap semua negara yang ada di kawasan Indo-Pasifik yang juga berpotensi untuk mendukung kerja sama di regional yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, kerja sama ini tentunya akan juga didorong untuk melibatkan negara-negara seperti Australia, Jepang, Korea Selatan dan tentunya 10 negara anggota ASEAN untuk bergabung ke dalam kerja sama IPEF. Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga menyampaikan bahwa kerja sama IPEF ini juga bahkan diharapkan akan dapat mendukung mekanisme kerja sama sebelumnya yakni ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP).

Di samping meningkatkan kerja sama perdagangan dan ekonomi dalam bidang konvensional, kerja sama dalam mekanisme IPEF juga akan memberikan perhatian pada aspek kerja sama pengembangan ekonomi digital di kawasan. Hal ini tentunya memberikan kesempatan untuk memajukan perekonomian digital di kawasan yang memiliki potensi yang cukup besar. Kerja sama pengembangan ekonomi digital dengan negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Vietnam, Malaysia, Singapura dan Thailand dengan perkembangan ekonomi digital yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir dan potensi yang cukup besar untuk kedepannya dapat menjadi pintu masuk bagi Amerika Serikat dalam memperdalam kerja sama dengan negara-negara di kawasan.

Tandingan terhadap China di Indo-Pasifik

Setiap kebijakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir tampaknya tidak dapat dilepaskan dari kaitannya dengan perimbangan kekuatan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik, termasuk usulan kerangka kerja sama IPEF. Indo-Pasifik dalam beberapa tahun terakhir memang memiliki kecenderungan aspek perekonomian yang didominasi peran dari Tiongkok yang mulai sangat aktif dalam membuat perjanjian kerja sama seperti misalnya perjanjian kerja sama RCEP. Hal ini tentunya memberikan kekhawatiran tersendiri bagi Amerika Serikat terutama dalam konteks untuk mempertahankan pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik. Lebih lanjut, integrasi dan ketergantungan dari beberapa negara di kawasan Indo-Pasifik seperti negara-negara di ASEAN juga memberikan kekhawatiran tersendiri bagi Amerika Serikat terhadap aspek geoekonomi dan strategi di kawasan Indo-Pasifik.

Beberapa negara lain seperti Korea Selatan, Jepang dan Australia bukan hanya memiliki ketergantungan yang semakin meningkat dengan Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir tetapi juga telah bergabung ke dalam mekanisme kerja sama RCEP yang bagi beberapa pengamat dan analis politik luar negeri dianggap sebagai usaha perluasan pengaruh Tiongkok di kawasan melalui aspek ekonomi dan perdagangan internasional. Oleh karena itu, Amerika Serikat ingin membawa masuk Jepang, Korea Selatan dan Australia ke dalam mekanisme kerja sama IPEF untuk memberikan perimbangan pengaruh terutama dalam konteks kerja sama perdagangan dan ekonomi yang berasal dari Tiongkok. Dilansir dari South China Morning Post IPEF setidaknya dapat digunakan sebagai alternatif untuk menggantikan ketidakhadiran dalam regional Indo-Pasifik setelah Amerika Serikat meninggalkan TPP pada masa pemerintahan Donald Trump.

Pemerintah Tiongkok beranggapan, inisiasi kerjasama IPEF merupakan usaha untuk “memisahkan” Tiongkok dari mitra ekonomi di Indo-Pasifik. Menteri Luar Negeri Tiongkok menyampaikan bahwa IPEF merupakan bentuk dari “Mental Perang Dingin” yang masih ada sampai sekarang dalam pemikiran strategis kebijakan luar negeri Amerika Serikat terutama dalam melihat kerja sama regional.  

Lebih dari sekadar jargon

Dilansir dari South China Morning Post, bagi pemerintah di negara-negara kawasan Indo-Pasifik, kerja sama dalam mekanisme IPEF setidaknya harus memberikan insentif ekonomi yang lebih besar dari pada sekadar dukungan pengembangan ekonomi dan perdagangan dalam lingkup domestik saja. Alih-alih sebagai “jargon” yang menandakan bahwa Amerika Serikat hadir dalam konstelasi ekonomi di kawasan Indo-Pasifik, Amerika Serikat melalui mekanisme kerja sama ini dapat memberikan akses pasar yang lebih luas kepada negara-negara di Indo-Pasifik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh CSIS bahwa negara-negara di Indo-Pasifik memang memberikan kesan ketertarikan terhadap proposal yang diajukan Amerika Serikat dalam mekanisme kerja sama IPEF namun lebih daripada itu harapan terhadap akses pasar Amerika Serikat yang lebih luas akan memberikan kepercayaan dan insentif terhadap Amerika Serikat dalam kebijakannya melalui IPEF. Hal ini misalnya disampaikan oleh Perdana Menteri Vietnam, Pham Minh Chinh mengatakan pemerintah Vietnam bersedia mendukung implementasi kerja sama dari IPEF namun membutuhkan waktu untuk melakukan studi mendalam mengenai potensi dari kerja sama tersebut.

Kejelasan mengenai mekanisme kerja sama IPEF yang menjadi pembeda dengan mekanisme kerja sama lain juga akan memberikan kesan positif terhadap Amerika Serikat di kawasan Indo-Pasifik. Kejelasan terhadap keuntungan dan insentif yang akan didapatkan oleh negara-negara di Indo-Pasifik seperti akses pasar dan kemudahan perdagangan kemudian akan memberikan kesan bahwa strategi IPEF tidak hanya semata-mata digunakan sebagai mekanisme perimbangan kekuatan ekonomi dan pengaruh di kawasan Indo-Pasifik namun juga memberikan kesan komitmen Amerika Serikat dalam mendukung perkembangan perekonomian terutama di negara-negara berkembang.