Eksistensi RCEP bagi Perwujudan Kepentingan ASEAN

Eksistensi RCEP bagi Perwujudan Kepentingan ASEAN

Penulis :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Maria Angela Koes Sarwendah

Kepala Divisi Diseminasi, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) merupakan perjanjian perdagangan yang melibatkan semua negara anggota ASEAN dengan Tiongkok, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Korea Selatan. Perjanjian perdagangan ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi alur perdagangan internasional dan perkembangan ekonomi bagi negara yang menandatanganinya. RCEP mulai digagas oleh ASEAN pada tahun 2011, dirundingkan sejak 2012 hingga disepakati pada 2020. Dalam proses negosiasi yang terjadi, India akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari RCEP. Berlaku efektif tahun 2022, RCEP menjadi kerja sama regional perdagangan bebas terbesar di dunia yang mencakup lebih dari 30% dari GDP dunia dengan nominal US$ 26,2 miliar dan 1/3 penduduk dunia. Tulisan ini akan membahas peran serta kepentingan ASEAN dalam negosiasi RCEP.    

Sebelum ditandatanganinya RCEP, ASEAN sebetulnya telah melakukan perjanjian perdagangan secara terpisah dengan setiap negara yang juga tergabung dalam RCEP. Dikenal dengan istilah ASEAN+1 FTAs (Free Trade Agreements), ASEAN melakukan kerja sama dengan Australia dan Selandia Baru di bawah kerangka AANZFTA (2010), dengan Tiongkok di bawah ACFTA (2015), dengan Korea Selatan di bawah AKFTA (2007), serta dengan Jepang di bawah AJCEP (2008). Tidak hanya melalui organisasi ASEAN, negara-negara anggota ASEAN juga memiliki perjanjian perdagangan bilateral dengan negara yang tergabung ke dalam RCEP seperti IA-CEPA antara Indonesia dengan Australia yang juga disepakati pada 2020. ASEAN pun memiliki perjanjian perdagangan antar sesama anggota seperti AFTA (ASEAN Free Trade Area). 

Tambahan perjanjian perdagangan RCEP dikhawatirkan akan menimbulkan apa yang disebut sebagai efek mangkuk spageti (spaghetti bowl effect), dimana eksistensi perjanjian perdagangan yang semakin banyak akan kontraproduktif terhadap tujuan peningkatan perdagangan regional karena isinya saling tumpang-tindih dan tidak sinkron. Namun, RCEP justru berpotensi menjadi katalis efisiensi perdagangan ASEAN dengan para mitranya dan jalan keluar dari spaghetti bowl effect. RCEP tidak akan menjadi hambatan terhadap kelancaran perdagangan internasional ASEAN, melainkan akan mempermudah perdagangan ASEAN dengan para mitranya karena menyatukan perjanjian perdagangan dengan mitra lainnya yang telah ada ke dalam suatu perjanjian kerja sama baru. 

ASEAN memiliki peran sangat besar dalam menyukseskan RCEP sebagai penggagas sekaligus pemimpin perundingan dengan membawa konsep sentralitas ASEAN (ASEAN Centrality). Sentralitas ASEAN merupakan prinsip yang diusung ASEAN dalam mengajak mitra kerja samanya, seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, untuk mengikuti mekanisme yang berlaku di kawasan ASEAN. Kepemimpinan ASEAN dalam proses perundingan RCEP tidak semata-mata karena ASEAN memiliki perhatian tinggi terhadap regionalisme di kawasan Asia-Pasifik. ASEAN bergerak berdasarkan kepentingan terhadap peningkatan perekonomian dan perdagangan karena melihat pelaksanaan perjanjian perdagangan bilateral dengan mitra ASEAN selama ini belum terlalu signifikan pengaruhnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kepentingan utama ASEAN adalah mempermudah perdagangan antara ASEAN dengan mitra dagangnya. Aspek sentralitas ASEAN, yang diusung dalam setiap perundingan RCEP, menjadi sinyal dari keinginan ASEAN untuk menempatkan dirinya sebagai pemimpin dan fasilitator RCEP demi mewujudkan kepentingannya.

Namun, manifestasi sentralitas ASEAN dalam RCEP tidak berhenti pada pemosisian ASEAN sebagai pemimpin perundingan atas dasar pemenuhan tanggung jawab memajukan perdagangan semata. Sentralitas ASEAN perlu juga dipandang dari terbukanya peluang ASEAN untuk mendorong terbentuknya substansi perjanjian yang menguntungkan posisi ASEAN di dalamnya. Menurut Mueller, ASEAN sedang dalam bahaya karena perjanjian perdagangan ini beranggotakan negara-negara ekonomi kuat dunia yang hanya akan memanfaatkan ASEAN sebagai tujuan pasar. Benar bahwa RCEP tidak berpusat terhadap keuntungan ASEAN semata, namun sentralitas ASEAN akan memperkuat jaminan RCEP untuk tetap mengakomodasi kepentingan-kepentingan ASEAN. Hal ini salah satunya terlihat dari tercapainya RoO (Rules of Origin) atau ketentuan asal barang sebagai bagian dari kepentingan ASEAN.

Sama seperti perjanjian perdagangan lainnya, RCEP dirumuskan untuk mengurangi tarif dan hambatan perdagangan demi meningkatkan volume dan keuntungan perdagangan internasional. Bagi ASEAN, RCEP juga berpengaruh dalam meningkatkan integrasi dari perjanjian-perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Pada saat yang bersamaan, RCEP mengeliminasi hambatan perdagangan yang berkaitan dengan tarif sekaligus hambatan non-tarif. Salah satunya adalah perjanjian mengenai RoO (Rules of Origin) di Bab 3 RCEP yang mengatur mengenai identitas barang dan komoditas yang diperdagangkan. RoO memberikan identifikasi negara asal barang untuk menunjukkan dari mana suatu komoditas berasal. Akan tetapi, RoO bisa saja menjadi salah satu hambatan perdagangan ketika peraturan yang dibuat sangat mengikat dan detail. Oleh karenanya, negosiasi mengenai RoO dalam RCEP merupakan salah satu aspek negosiasi yang paling rumit karena setiap negara dapat tergabung ke dalam satu hingga tiga perjanjian perdagangan dengan berbagai pihak. Hal ini menjadi sangat kompleks karena RCEP harus mempertemukan kepentingan-kepentingan negara yang terlibat karena tidak ada satu pihak pun yang menginginkan RoO membahayakan perdagangan mereka di masa depan.

RoO memberikan acuan standar bagi suatu produk yang akan dipasarkan ke negara lain dengan memfasilitasi kesatuan informasi berdasarkan standar dan kriteria yang disepakati dalam suatu perjanjian perdagangan. RoO dalam FTA dikategorikan sebagai sesuatu yang istimewa karena membantu negara asal barang untuk mendapatkan perlakukan spesial (preferential and special treatment) di pasar negara yang menyepakati suatu perjanjian perdagangan internasional yang sama. Hal ini sangat menguntungkan bagi setiap negara yang tergabung dalam RCEP karena RoO rawan menambah cukup banyak biaya perdagangan, mulai dari 1,4% hingga 5,9%. Pengaturan RCEP mengenai RoO diperkirakan akan mengurangi biaya ekspor dan mempercepat perdagangan antar negara dalam kerangka RCEP  sebesar US$ 90 miliar per tahun. Hal ini tentunya menguntungkan ASEAN dari sisi peningkatan volume perdagangan dan simplifikasi kerja sama internasional. Harmonisasi RoO antara ASEAN dengan sesama anggota RCEP sebagai mitra dagang yang sebelumnya memiliki peraturan berbeda-beda menjadikan perdagangan semakin efisien dan terhindar dari spaghetti bowl effect

ASEAN sebagai pemimpin dalam proses perundingan RCEP dianggap berhasil karena dapat membawa banyak negara menyetujui perjanjian yang prosesnya tidak sederhana. Dalam waktu yang bersamaan, ASEAN juga dapat mengimplementasikan nilai sentralitas ASEAN untuk menjamin terakomodasinya kepentingan ASEAN. Selain menghilangkan hambatan perdagangan seperti dengan penyepakatan RoO, RCEP menjadi kerangka perjanjian yang memudahkan ASEAN dalam meningkatkan efisiensi perdagangan dengan mitranya. Banyaknya perjanjian ASEAN dengan mitra lainnya mendorong ASEAN untuk mempersatukan mitra-mitra dagangnya ke dalam suatu perjanjian kerja sama perdagangan dengan pedoman yang sama. Faktor-faktor demikianlah yang menjadikan RCEP dapat memberikan jalan bagi tercapainya lebih banyak lagi kepentingan ASEAN alih-alih menghalangi langkah ASEAN.