Menuju Circular Fashion: Perlunya Regulasi dan Penguatan Kerjasama

Menuju Circular Fashion: Perlunya Regulasi dan Penguatan Kerjasama

Penulis:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Derasnya pengaruh globalisasi mendorong terciptanya tren fesyen yang sangat cepat berubah. Untuk dapat bertahan, berbagai perusahaan fesyen tidak hanya bersaing dengan kompetitor yang menawarkan harga yang murah, tetapi juga berlomba untuk dapat memenuhi permintaan konsumen yang sesuai dengan tren terkini atau disebut dengan fast fashion (Barnes & Lea-Greenwood, 2010). Fenomena fast fashion terus berkembang dengan dua karakteristik utama, yakni memangkas jeda proses produksi dan meningkatkan pilihan konsumen dengan memastikan stok barang selalu tersedia dengan konstan (Hines, 2004). Oleh karenanya, berbagai perusahaan fesyen melakukan produksi massal 52 “micro-seasons” setiap tahunnya atau sama dengan satu koleksi baru setiap minggunya dan diperkirakan pada 2050 produksi tersebut dapat mencapai 160 juta ton.

Angka produksi fesyen yang sangat tinggi bukan berarti tanpa konsekuensi. UNEP mencatat bahwa industri fesyen telah menyumbang 8-10 % emisi karbon secara global – melebihi jumlah emisi karbon yang dihasilkan penerbangan internasional dan pengangkutan laut. Dalam proses produksinya, industri ini juga membutuhkan sumber daya air dalam jumlah melimpah dan berkontribusi terhadap 20% air limbah global secara keseluruhan. Untuk memproduksi tekstil sintetik, industri ini membutuhkan 42.534 kilo ton plastik setiap tahunnya yang kemudian berakhir menjadi limbah di laut. Permasalahan lingkungan dalam industri ini juga timbul di fase pasca konsumsi dengan menggunungnya limbah fesyen akhir masa pakai. Berbagai data tersebut menunjukkan bahwa produksi massal pada industri ini berdampak signifikan pada lingkungan tanpa adanya upaya penanganan yang serius.

Demi mendukung keberlanjutan, industri fesyen yang selama ini dijalankan dengan pendekatan linear pada pada proses manufaktur, distribusi, dan konsumsinya haruslah beralih dan diganti dengan pendekatan ekonomi sirkular melalui 3 konsep utama yakni reduce, reuse, dan recycle atau disebut dengan circular fashion. Untuk mengimplementasikan circular fashion, diperlukan dukungan dan komitmen yang kuat dari berbagai pihak salah satunya pemerintah sebagai regulator. Hal ini dikarenakan konsep ini diimplementasikan secara kompleks pada setiap fase yang berkesinambungan dimulai dari tahap awal siklus hidup produk fesyen yakni pada tahap desain hingga ketika penggunaannya selesai dengan memastikan produk tersebut tidak akan berakhir mencemari lingkungan (Brismar, 2017).

Meski demikian, implementasi circular fashion masih menemui tantangan hingga saat ini (Kirchherr, 2018). Sebagai contoh, perusahaan cenderung membeli bahan tekstil sintetik baru karena harganya yang lebih murah dibanding melakukan proses daur ulang akibat dari diberlakukannya kebijakan subsidi bahan bakar fosil oleh pemerintah yang digunakan untuk memproduksi material tersebut. Oleh karenanya, kesadaran masyarakat dan pelaku bisnis akan pentingnya circular fashion perlu disertai dan didukung dengan kesiapan regulasi sebagai faktor pendukung utama yang memiliki kekuatan daya paksa yang mengikat. Persoalan lingkungan di era pembangunan berkelanjutan tersebut perlu diselesaikan melalui peran hukum sebagai alat rekayasa sosial. Dalam hal ini, hukum digunakan sebagai formulasi ilmiah, pendekatan logis,  dan keterampilan inventif untuk mengatur, mengelola, dan menggerakkan masyarakat menuju berbagai pembaharuan (Pound, 1965)

Peneliti berpendapat bahwa fenomena fast fashion perlu ditangani dengan solusi regulasi yang cerdas atau smart regulation (Preston, 2017). Melalui pendekatan ini, selagi sebagian besar investasi, inovasi, dan implementasi circular fashion dilakukan oleh sektor swasta, pemerintah berperan penting untuk mengesahkan kebijakan yang mendukung inovasi, investasi, dan aktivitas bisnis berkelanjutan. Kebijakan untuk menangani fast fashion didesain secara menyeluruh melalui serangkaian kebijakan yang mendukung penggunaan bahan ramah lingkungan dan inovasi lainnya, kebijakan fiskal dengan mendisinsentif kegiatan yang berlawanan dengan usaha proteksi sumber daya, hingga kebijakan yang mengatur mengenai akhir masa pakai. 

Konsep smart regulation bukan lagi sebatas gagasan pembaharuan seiring dengan penerbitan European Union Strategy for Sustainable and Circular Textiles oleh Uni Eropa pada Maret lalu. Pada tahun 2030 mendatang, Uni Eropa memiliki visi untuk memastikan seluruh produk tekstil yang ada di pasarnya merupakan produk yang berumur panjang, berbahan serat daur ulang, bebas bahan berbahaya, serta diproduksi dengan proses yang menghormati hak-hak sosial dan lingkungan. Dalam strategi tersebut, Uni Eropa berhasil untuk membuat desain kebijakan yang komprehensif dan memperlihatkan dukungan penuh terhadap pelaksanaan circular fashion. 

Uni Eropa meregulasi awal siklus hidup tekstil dengan menerapkan aturan desain produk yang lebih ketat untuk menekan limbah mikroplastik dari bahan sintetik. Guna menjawab tantangan budaya berupa kesadaran masyarakat, Digital Product Paspor (DPP) juga menjadi kebijakan baru dalam strategi ini yang bertujuan untuk mengumpulkan data tentang produk dan rantai pasokannya dan membagikannya ke seluruh rantai bisnis sehingga semua pelaku bisnis termasuk konsumen memiliki pemahaman yang baik mengenai produk serta dampak lingkungan yang ditimbulkan. Adapun untuk menangani limbah akhir masa pakai, Uni Eropa menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR) yang mengharuskan produsen bertanggung jawab mengelola produk akhir masa pakai yang dipasarkan di negara tersebut dengan konsep reuse dan recycle. Kebijakan dari hulu ke hilir tersebut membawa implikasi pada 16 tindakan legislasi yang diantaranya meliputi pembuatan regulasi baru seperti Eco Design for Sustainable Product Regulation, serta revisi dan harmonisasi pada regulasi yang berkaitan, diantaranya Textile Labelling Regulation, Waste Framework Directive, Best Available Techniques Reference Documents, dan Taxonomy Regulation

Di sisi lain, terhadap kebijakan Uni Eropa, Kerry Bannigan, Executive Director Fashion Impact Fund -- sebuah organisasi yang mendukung peran perempuan dalam industri fesyen, memberikan catatannya bahwa fesyen merupakan persoalan global yang memerlukan komitmen dari negara lain untuk melaksanakan kerjasama dalam membangun infrastruktur ekonomi sirkular. Dalam perkembangannya, 15 negara maju dan berkembang bersama dengan berbagai negara anggota Uni Eropa yang tergabung dalam Global Alliance on Circular Economy and Resource Efficiency (GACERE) telah berkomitmen untuk menjalankan dan mengadvokasikan circular fashion pada 2020. Selain itu, negara-negara G20 juga melakukan workshop circular fashion yang membahas mengenai peran negara untuk berkontribusi melalui kebijakan yang mendukung di tahun 2021. Namun demikian, hingga saat ini, selain Uni Eropa, hanya Amerika Serikat yang telah meregulasi circular fashion melalui New York Fashion Sustainability and Social Accountability Act yang sedang berada dalam proses legislasi. Oleh karena itu, meskipun berbagai negara saat ini telah berkomitmen pada circular fashion melalui kerjasama internasional, masih banyak negara maju maupun berkembang yang belum mengimplementasikan konsep tersebut pada tataran pembentukan maupun harmonisasi peraturan. 

Sebagai refleksi, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang telah menaruh perhatiannya untuk menyelesaikan persoalan limbah tekstil secara berkelanjutan dalam program industri hijau tepatnya melalui Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2019. Secara lebih luas, pertanggungjawaban industri tekstil kaitannya dengan baku mutu air limbah diatur melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019. Meski demikian, berbagai regulasi tersebut belum memuat terobosan baru kaitannya dengan upaya berkelanjutan untuk menangani fenomena fast fashion yang terjadi saat ini. Di sisi lain, perkembangan hukum lingkungan di Indonesia juga dilakukan secara parsial terbukti subsidi bahan bakar fosil yang masih dilaksanakan oleh pemerintah mencapai USD 8,6 Miliar di tahun 2019 dan di awal pandemi negara G20 mengalokasikan USD 318,84 Miliar untuk menyokong energi fosil. Hal tersebut mengindikasikan kebijakan yang ada belum disusun secara sistematis dan terpadu untuk menjawab permasalahan lingkungan. Padahal di satu sisi, fenomena ini terus mengkhawatirkan didukung dengan fakta bahwa Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil per tahun 2021. Sejatinya, upaya pemerintah Indonesia untuk memberikan himbauan mengenai ekonomi sirkular pada masyarakat di Indonesia telah dilaksanakan melalui kerja sama dengan pemerintah Denmark. Meski demikian, kerjasama yang dijalin belum mampu mendorong Indonesia untuk menerapkan kebijakan riil dan melakukan harmonisasi peraturan sehingga kerjasama tersebut masih perlu diperkuat. 

Sebagai penutup, sebuah adagium hukum berbunyi “het recht hink achter de feiten aan”, menggambarkan kondisi hukum yang selalu tertatih-tatih mengikuti kenyataan. Namun demikian, sejatinya pendekatan hukum sebagai rekayasa sosial telah mampu menjawab problematika modern yang terjadi saat ini. Berdasarkan uraian diatas, regulasi dan kerjasama internasional memainkan peran yang sentral dalam mengimplementasikan circular fashion. Tingginya urgensi untuk mengatasi permasalahan fast fashion yang berdampak besar pada lingkungan perlu didukung komitmen kuat pemerintah untuk berada di pihak pro-lingkungan dan mentranslasikannya dalam tataran regulasi yang holistik. Selanjutnya, circular fashion merupakan upaya yang harus didorong kerjasama antar negara baik negara maju maupun berkembang. Dengan demikian, harapannya negara-negara di seluruh dunia berada dalam satu visi dan misi yang sama untuk menciptakan atmosfer yang mendukung implementasi circular fashion secara global. 

Referensi: 

“A New Textiles Economy: Redesigning Fashion’s Future,” 2017. https://ellenmacarthurfoundation.org/a-new-textiles-economy

Barnes, L., and G. Lea‐Greenwood. “Fast Fashion in the Retail Store Environment.” International Journal of Retail & Distribution Management 38, no. 10 (2010): 760–72. https://doi.org/https://doi.org/10.1108/09590551011076533

Boucher, Julien, and Damien Friot. “Primary Microplastics in the Oceans: A Global Evaluation of Sources,” 2017. https://portals.iucn.org/library/sites/library/files/documents/2017-002-En.pdf

Brismar, Anna. “What Is Circular Fashion?,” 2017. https://greenstrategy.se/circular-fashion-definition/

Directorate-General for Environment. EU Strategy for Sustainable and Circular Textiles (2022). https://ec.europa.eu/environment/publications/textiles-strategy_en 

Institute for Essential Service Reform. “Subsidi Energi Fosil Menghambat Transisi Energi,” 2021. https://iesr.or.id/subsidi-energi-fosil-menghambat-transisi-energi 

Kirchherr, Julian, Laura Piscicelli, Ruben Bour, Erica Kostense-Smit, Jennifer Muller, Anne Huibrechtse-Truijens, and Marko Hekkert. “Barriers to the Circular Economy: Evidence From the European Union (EU).” Ecological Economics 150 (2018): 264–72. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2018.04.028

Kompas. “Kurangi Limbah Tekstil, Bappenas Ajak Industri Terapkan Konsep Fashion Sirkular,” 2022. https://money.kompas.com/read/2022/02/24/083300926/kurangi-limbah-tekstil-bappenas-ajak-industri-terapkan-konsep-fashion-sirkular?page=all 

“New York Fashion Sustainability Act: Now In Committee,” 2022. https://www.natlawreview.com/article/new-york-fashion-sustainability-act-now-committee

Preston, Felix. “A Global Redesign? Shaping the Circular Economy.” Chatham House Briefing, 2012. https://www.chathamhouse.org/sites/default/files/public/Research/Energy, Environment and Development/bp0312_preston.pdf 

Pound, Roscoe (1965) "Contemporary juristic theory," dalam Dennis LLOYD (ed.) Introduction to Jurisprudence. London: Stevens and Sons. Second edition, pp. 247-252.

Smitts, Helene. “Fashion Industry, We Must Prepare for New Regulations,” 2022. https://sourcingjournal.com/topics/sustainability/recover-texiles-recycling-fashion-industry-regulations-waste-337870/

Stanton, Audrey. “What Is Fast Fashion, Anyway?,” n.d. https://www.thegoodtrade.com/features/what-is-fast-fashion.

United Nations Environment Programme. “Financing Circularity: Demystifying Finance Fort The Circular Economy” 2020. https://www.unepfi.org/publications/general-publications/financing-circularity/

———. “UN Alliance For Sustainable Fashion Addresses Damage of ‘Fast Fashion,’” 2022. https://www.unep.org/news-and-stories/press-release/un-alliance-sustainable-fashion-addresses-damage-fast-fashion

Webb, Ella. “EU Moves to Legislate Sustainable Fashion. Will It Work?,” 2022. https://www.voguebusiness.com/sustainability/eu-moves-to-legislate-sustainable-fashion-will-it-work

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*