Sepak Terjang Petambak Garam di Tengah Derasnya Keran Impor

Sepak Terjang Petambak Garam di Tengah Derasnya Keran Impor

Penulis:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Maria Angela Koes Sarwendah

Kepala Divisi Diseminasi, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Muna Rihadatul Aisi

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Sebagai negara maritim, Indonesia punya laut yang sangat luas, lo! Diketahui sekitar 71% atau setara dengan 95.181 kilometer wilayah Indonesia merupakan laut yang terbentang dari barat hingga timur Indonesia. Lautan yang demikian luas memiliki potensi besar untuk menghasilkan garam, tapi nyatanya pertanian garam Indonesia belum mampu memenuhi konsumsi garam dalam negeri. Indonesia secara terus-menerus melakukan impor demi memenuhi permintaan garam di tengah keterpurukan industri garam dalam negeri. Kira-kira mengapa, ya, hal ini bisa terjadi? Mari kita cari tahu tantangan pertanian garam di Indonesia serta sepak terjang pengembangan salah satu Kelompok Usaha Garam Rakyat (KUGAR) di Yogyakarta dalam mengatasi kendala tersebut.

Tantangan Pertanian Garam di Indonesia

Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik, total garam yang diproduksi Indonesia pada tahun 2021 hanya mencapai 1,5 juta ton di saat permintaan garam mencapai 3,1 juta ton. Ada banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan jumlah hasil produksi dengan permintaan garam, salah satunya cuaca yang sering berubah-ubah. Satu-satunya periode yang dapat dimaksimalkan untuk produksi garam adalah musim kemarau. Sayangnya, cuaca Indonesia dalam beberapa waktu terakhir tidak menentu karena fenomena La Nina membuat curah hujan tetap tinggi saat musim kemarau. Cuaca yang tidak menentu inilah yang menghambat proses produksi garam, apalagi produksi masih dilakukan secara tradisional. 

Tidak hanya permasalahan cuaca, ternyata kualitas garam juga menyebabkan belum terpenuhinya kebutuhan garam Indonesia. Mayoritas petambak garam lokal belum dapat menghasilkan garam sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI), di mana kadar NaCl garam konsumsi beryodium perlu mencapai 94,7% dan garam industri aneka pangan minimal 97%. Komisi Codex Alimentarius, selaku badan penanggung jawab standar pangan global bentukan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) serta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menetapkan kadar NaCl dalam garam untuk konsumsi langsung maupun pembuatan makanan tidak boleh kurang dari 97%. Usut punya usut, garam konsumsi produksi petambak Indonesia kaya akan mineral lain yang justru menjadi zat pengotor dan harus dihilangkan agar garam bersifat murni. Maka dari itu, garam berkualitas tinggi perlu didorong melalui pelatihan dan pemberdayaan kelompok petambak garam serta inovasi teknologi pengolahan garam. 

Ada beberapa hambatan dalam rantai pasok garam yang ikut menyebabkan garam Indonesia langka, seperti harga yang tidak kompetitif dan stok yang terbatas. Hal ini dikarenakan produksi garam hanya berjalan efektif dalam masa yang cukup singkat, yaitu tiga bulan. Hasil panen garam biasanya langsung dijual saat panen raya tanpa cadangan stok. Di saat yang sama, pemerintah tetap mengimpor garam sehingga garam melimpah di pasaran. Banyak beredarnya garam lokal saat panen menjadikan harganya murah, tapi kurang diminati karena masyarakat terlanjur familiar dengan garam impor yang ada setiap saat. 

Tapi jangan khawatir, Indonesia masih punya peluang untuk memajukan industri garam lewat diversifikasi produk. Setiap kali panen, petambak garam perlu menyortir garam layak konsumsi dan tidak layak konsumsi. Tapi garam yang tidak memenuhi standar konsumsi bukan berarti tidak berguna, lo. Jepang, contohnya, banyak mengimpor garam dengan kandungan mineral lain tinggi untuk keperluan tradisi. Maka dari itu, kajian dan pendampingan pengembangan produk turunan garam non-konsumsi harus didorong supaya petambak dan industri garam lokal tetap sejahtera. 

Menilik Produksi Garam di Gunungkidul

Belum lama ini, Pantai Siung dan Pantai Sepanjang di Kabupaten Gunungkidul (DIY) mulai aktif menghasilkan garam. Kedua pantai ini berada di garis pantai selatan Jawa yang terkenal akan kejernihan air dan gulungan ombaknya yang besar. KUGAR Tirta Bahari adalah kelompok petambak yang mengelola produksi garam tersebut. 

Garam Gunungkidul memiliki keunggulan yang tidak dimiliki daerah lain, di antaranya berwarna putih bersih dengan kristal garam yang berkilau karena berasal dari samudra yang jernih. Selain itu, garam Gunungkidul juga diproduksi secara organik dari alam yang jauh dari pencemaran dan diproses tanpa zat aditif. Menariknya lagi, garam yang diproduksi oleh KUGAR Tirta Bahari menggunakan sistem tunnel. Dengan sistem tunnel, petambak hanya perlu menambahkan wadah penampungan pada lahan dan membuat penutup yang dirangkai seperti terowongan (tunnel) menggunakan plastik khusus. Sistem ini membuat produksi garam dapat berlangsung sepanjang tahun meski musim hujan, berhubung cahaya dan hawa panas yang membantu proses kristalisasi bisa terus masuk dan terperangkap dalam ruang yang ditutupi plastik. Di Pantai Sepanjang, para petambak garam lokal sudah diberikan pelatihan dan pengembangan sistem tunnel sejak tahun 2017 untuk mengatasi fenomena kemarau basah 2016. Lain halnya di Pantai Siung, pengalihan tujuan pemberdayaan tunnel dari edukasi wisata menjadi produksi garam baru dimulai tahun 2020 untuk menghadapi tantangan ekonomi pandemi COVID-19. Seluruh garam yang dihasilkan melalui sistem ini dapat dimanfaatkan menjadi berbagai produk, di antaranya garam industri, garam kecantikan, garam kasar (krosok), dan bittern atau limbah cair garam yang menyimpan banyak manfaat.

Sebagai kelompok usaha yang masih terbilang muda, KUGAR Tirta Bahari masih berjuang menghadapi beberapa tantangan. Berdiri tahun 2013, KUGAR Tirta Bahari masih beroperasi secara tradisional dan belum punya cukup pengurus untuk mempertahankan keberlanjutannya. Rata-rata petambak garam KUGAR bekerja sesuai dengan kesanggupannya masing-masing dan tidak jarang memiliki profesi lain. Ketika musim liburan tiba, banyak petambak garam yang beralih profesi di sekitar pantai sehingga cukup menyulitkan pengelolaan dan produksi garam. Banyak warga usia muda juga lebih memilih untuk merantau karena belum stabilnya aktivitas dan pemasukan bertambak.

Tidak hanya itu, garam yang dihasilkan masih sulit menembus pasar nasional. Sejauh ini produk garam KUGAR masih dijual di sekitar Pantai Sepanjang dan Pantai Siung dengan menyasar wisatawan. Sementara itu, garam tidak dapat dijual kepada industri karena belum bisa memenuhi permintaan pasar. Akibatnya, Gunungkidul masih tertinggal dari Purworejo ataupun Kebumen yang garamnya sudah lebih dahulu berkembang. 

Ketua KUGAR Tirta Bahari, Bapak Wahyono, terus berupaya mengembangkan sistem produksi garam di Pantai Sepanjang, di antaranya dengan berkunjung dan belajar kepada petambak garam di Purworejo dan Kebumen. Saat ini, KUGAR Tirta Bahari mendapatkan pendampingan dari Tim Gugus Tugas Kemandirian Garam Nasional Universitas Gadjah Mada dalam mendorong produksi dan diversifikasi produk garam. Pendampingan yang didapatkan meliputi riset uji kandungan garam, pendorongan produksi, serta pemasaran produk garam dan turunannya. Upaya tersebut ditujukan supaya garam lokal dapat memenuhi kebutuhan garam nasional dan mensejahterakan petambak garam lokal.

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*