Arsip:

Berita In

Dorong Ekonomi Sirkular, PSPD Lembagakan Konsorsium Ekonomi Sirkular Indonesia

Dorong Ekonomi Sirkular, PSPD Lembagakan Konsorsium Ekonomi Sirkular Indonesia

Penulis:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM menyelenggarakan pertemuan dengan anggota Konsorsium Ekonomi Sirkular Indonesia (KESI) pada Jumat, 3 Juni 2022. Kegiatan ini dimulai pada pukul 13.30 WIB dan dihadiri 5 (lima) komunitas yang bergerak di bidang ekonomi sirkular, yakni Rumah Inspirasi Jogja, Pusat Inovasi Agroteknologi UGM, Jaringan Masyarakat Budaya Nusantara, Forum Upcycle Indonesia, dan Gion Handicraft. KESI dibentuk untuk mendorong praktik ekonomi sirkular di Indonesia, salah satunya dengan membangun ekosistem bisnis berbasis ekonomi sirkular bagi para pelaku bisnis lokal yang mencakup pula UMKM. Setelah sempat tertunda karena pandemi, pertemuan kali ini digelar untuk menyepakati blueprint gambaran umum dan pelembagaan konsorsium yang meliputi penyusunan kepengurusan, mekanisme pendanaan, dan desain konsorsium.

Kegiatan ini diawali dengan sambutan dari Direktur PSPD UGM, Dr. Riza Noer Arfani. Dalam sambutannya, Dr. Riza menyampaikan harapannya untuk menjadikan Yogyakarta sebagai hub (pusat) ekonomi sirkular melalui konsorsium yang dibentuk. Selanjutnya, Iwan Wijono selaku ketua dari Forum Upcycle Indonesia turut memberikan kata sambutan pada pertemuan ini. Beliau menekankan mengenai pentingnya kesadaran atas hubungan manusia dengan alam di era pembangunan saat ini sehingga pembangunan dapat dilaksanakan dengan berkelanjutan.

Agenda penting dalam pertemuan kali ini adalah pembahasan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta disepakatinya berbagai hal mengenai kepengurusan konsorsium. Berdasarkan musyawarah anggota konsorsium, Josh Handani dari Rumah Inspirasi Jogja terpilih menjadi ketua KESI. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan struktur kelembagaan serta pendanaan konsorsium. 

Seluruh agenda dalam pertemuan ini berjalan dengan lancar dan mendapat sambutan baik dari seluruh anggota konsorsium. Dengan dukungan yang solid, KESI diharapkan dapat menjadi tonggak perkembangan ekonomi sirkular di Indonesia.

Tertunda 5 Tahun, Indonesia dan Peru Kembali Negosiasi Perjanjian Dagang

Tertunda 5 Tahun, Indonesia dan Peru Kembali Negosiasi Perjanjian Dagang

Penulis:

Raevita Andriessa

SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Setelah tertunda sejak tahun 2017, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag) secara resmi kembali melanjutkan negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) antara Indonesia-Peru. Dilansir dari IDN Financials, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Wakil Menteri Perdagangan Luar Negeri Peru Ana Cecilia Gervasi Díaz melangsungkan pertemuan secara khusus untuk segera memulai komunikasi dan bekerja sama agar negosiasi perdagangan Indonesia dan Peru dapat segera dilaksanakan. Pertemuan tersebut dilaksanakan di sela rangkaian pertemuan APEC 28th Minister Responsible For Trade (MRT) yang digelar pada 21 hingga 22 Mei 2022 di Bangkok, Thailand.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengungkapkan bahwa Perundingan Indonesia-Peru CEPA telah tertunda selama 5 tahun akibat pendekatan yang digunakan untuk negosiasi pada tahun 2017 lalu, dimana Menteri Perdagangan Luar Negeri dan Pariwisata Peru mengajak Indonesia untuk mulai menjalin kerja sama tersebut di akhir tahun 2017 setelah Amerika Serikat mundur dari Trans-Pacific Partnership (TPP). Langkah yang diambil pemerintah Peru tersebut dinilai cukup agresif dalam rangka pembangunan rencana kerja sama perdagangan bebas dengan Indonesia. 

Mundurnya Amerika Serikat dari TPP pada Senin (23/1/2017) kemudian merenggangkan hubungan mereka dengan negara-negara sekutu mereka di Asia yang memiliki koneksi erat dengan Tiongkok. Pada saat itu, Peru telah menjalin hubungan kerja sama perdagangan bebas dengan 15 negara dengan Tiongkok sebagai salah satu negara yang mulai terjalin hubungan diplomatiknya. Negosiasi kerja sama perdagangan antara Indonesia dan Peru memang sempat tertunda setelah peristiwa tersebut, tetapi kemudian berhasil berjalan kembali lima tahun kemudian di pertengahan tahun 2022 ini.

Kedua pemimpin negara melihat potensi yang dapat memberi manfaat positif dalam sektor perdagangan kedua belah pihak dengan komoditas unggulan yang dimiliki masing-masing negara. Komoditas utama yang ditawarkan Indonesia ke Peru misalnya seperti kendaraan bermotor, biodiesel, prangko tak terpakai, alas kaki, dan serat benang. Sementara itu, Peru aktif mengekspor biji kakao, pupuk, anggur, batu bara, dan seng mentah ke Indonesia. Untuk mempercepat tercapainya persetujuan kerja sama yang menguntungkan kedua belah pihak tersebut, mereka mempercepat langkah mereka untuk menyelesaikan kerangka kerja perjanjian mereka.

Pada kuartal pertama tahun 2022, total keuntungan yang diperoleh Indonesia dan Peru dalam sektor perdagangan bilateral adalah sebesar US$ 99 juta atau meningkat 18,84% dibandingkan kuartal pertama tahun lalu yang masih berkisar di angka US$ 83,30 juta. Sementara itu, di keseluruhan tahun 2021, total profit sektor Indonesia-Peru tercatat sebesar US$ 402,70 juta atau meningkat 61,8% dibandingkan 2020 yang tercatat sebesar US$ 248,82 juta. Aktivitas perdagangan internasional dengan Peru berhasil menghasilkan surplus sebesar US$ 234,21 juta bagi Indonesia pada tahun 2021, meningkat 142% dibandingkan tahun 2020.

Nilai Dolar Meningkat Tajam, Emas Mengalami Pemerosotan Harga

Nilai Dolar Meningkat Tajam, Emas Mengalami Pemerosotan Harga

Penulis:

Raevita Andriessa

SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pada hari Jumat pekan lalu, (13/5) pukul 06:36, harga emas dunia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pemerosotan ini terjadi setelah harga emas sempat mencapai puncaknya pada hari Selasa (8/3) dengan harga US$ 2052,4 per troy ons. Saat ini harga emas terpatok berada pada harga US$ 1.818,93 per troy ons, menurun sebanyak 0,15% dari harga sehari sebelumnya, yakni US$ 1.850,6 per troy ons. 

Harga tersebut merupakan hasil dari koreksi harga sebesar 3,4% yang terjadi sepekan sebelumnya pada Jumat (6/5), di mana harga emas masih berada di angka US$ 1882,9. Terlebih lagi, pelemahan harga emas akan semakin terlihat jelas bila membandingkan harga Jumat (13/5) dengan harga sebulan sebelumnya pada Selasa (12/4), yakni sebesar US$ 1966,5. Pada hari Rabu (13/4), harga emas masih berkisar di angka US$ 1977,7, 7,8% lebih tinggi dibandingkan harga pada Jumat (13/5). Hingga saat ini, harga emas bulan Mei masih stagnan di kisaran angka yang sama dan belum menunjukkan tanda-tanda akan mengalami pemulihan.

Good Returns menilai alasan utama di balik penurunan konstan harga emas berkaitan dengan penguatan Dolar Amerika Serikat. Hal ini disebabkan oleh kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve yang semakin menguat. Faktor utama dibalik menguatnya nilai Dolar Amerika Serikat adalah ekspektasi pasar akan kenaikan suku bunga sebesar 50 basis points pada Juni mendatang. Ekspektasi pasar yang tinggi akan kenaikan suku bunga disebabkan oleh angka inflasi yang masih tinggi pada April 2022 yang mencapai angka 8,3%, di mana angka tersebut jauh dari angka normalnya sebesar 2%. 

Dikutip dari Reuters, Bart Melek menyatakan bahwa The Federal Reserve dikhawatirkan akan terus menaikan suku bunga Dolar Amerika Serikat secara agresif yang dapat terus menurunkan harga emas. Problematika yang sama juga diutarakan oleh Edward Moya dari Oanda, di mana beliau secara eksplisit menyatakan bahwa penguatan Dolar Amerika Serikat membuat emas ada dalam zona bahaya. Dikhawatirkan harga emas akan dapat terus menurun hingga mencapai kisaran US$ 1.750 apabila harganya tidak dapat menembus angka US$ 1.800 di masa depan.

Terlepas harga emas yang belum kunjung menunjukkan perkembangan, harga emas masih berpotensi naik jika kondisi perekonomian global melemah. Dilansir dari CNBC, Ravindra Rao dari Kotak Securities menyatakan bahwa emas akan tetap menjadi aset pilihan masyarakat yang paling aman saat keadaan ekonomi memburuk. Beliau juga menyatakan bahwa harga emas kemungkinan tidak akan melonjak tajam kecuali Dolar Amerika Serikat melemah drastis, seperti apa yang terjadi pada Januari 2022 lalu.

Dilansir dari Kompas.com, pada akhir Januari 2022 harga emas sempat mengalami peningkatan akibat kondisi geopolitik yakni konflik antara Rusia dan Ukraina yang baru saja dimulai. Pada saat itu, kondisi geopolitik tersebut menyebabkan The Federal Reserve tidak menaikkan suku bunga acuan yang menyebabkan nilai Dolar Amerika Serikat menurun. Hal ini dapat meningkatkan minat masyarakat untuk berinvestasi pada emas dan mengangkat sentimen positif terhadap logam mulia, terutama emas.

Pererat Tali Silaturahmi, PSPD UGM Gelar Buka Bersama

Pererat Tali Silaturahmi, PSPD UGM Gelar Buka Bersama

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Momen Ramadhan tahun ini dimanfaatkan oleh Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM untuk mempererat silaturahmi dengan menggelar acara buka bersama. Berlokasi di kantor PSPD UGM, acara yang diselenggarakan pada Sabtu (23/4/22) dihadiri oleh para pengelola dan pemagang PSPD UGM yang berjumlah 30 orang. Acara dimulai pada pukul 17.00 WIB dan dibuka dengan sambutan Dr. Riza Noer Arfani selaku Direktur Utama PSPD UGM. 

Acara buka bersama dilanjutkan dengan perkenalan dewan direksi dan masing-masing anggota divisi. Dewan direksi PSPD UGM yang turut hadir dalam kesempatan tersebut yakni, Rizky Alif Alvian, MIR. selaku Koordinator Divisi Jurnal dan Publikasi PSPD UGM, Raras Cahyafitri M.Sc. selaku Koordinator Divisi Riset PSPD UGM, Agustinus Moruk Taek, MA. selaku Koordinator Divisi Kemitraan Kebijakan PSPD UGM, Dr. Siti Arifah Purnamasari M.Si. selaku Koordinator Divisi Pelatihan PSPD UGM, serta Maria Angela Koas Sarwendah S.IP. selaku Koordinator Divisi Diseminasi PSPD UGM. Pada akhir sesi perkenalan, Bapak Riza memberikan ulasan singkat terkait sejarah pendirian PSPD UGM. 

Acara buka bersama berlangsung khidmat dan hangat ditemani dengan berbagai sajian nikmat. Dalam acara tersebut, PSPD UGM konsisten untuk menginternalisasikan fokus-fokus kajiannya, salah satunya yakni menerapkan prinsip ekonomi sirkular dengan tidak menggunakan tempat makan yang terbuat dari plastik. Harapannya aksi ini turut berkontribusi untuk mengurangi limbah kemasan plastik di lingkungan sekitar. 

Acara dilanjutkan dengan kegiatan yang merekatkan keakraban para pengelola dan pemagang PSPD UGM. Sempat lama tidak bertatap muka karena pandemi Covid-19, para pengelola dan anggota magang saling berkenalan dan bertukar cerita. Dalam kegiatan ini, setiap anggota PSPD UGM berbaur dan saling mengenal. Acara buka bersama internal PSPD UGM diakhiri pada pukul 20.00 WIB. Harapannya kegiatan ini dapat meningkatkan kekeluargaan antar para pengelola dan pemagang PSPD UGM serta menginisiasi dilaksanakannya kegiatan lain yang dapat memperkuat kebersamaan internal PSPD UGM.

Krisis Ekonomi Sri Lanka: Penyebab hingga Upaya Pengendalian

Krisis Ekonomi Sri Lanka: Penyebab hingga Upaya Pengendalian

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Saat ini, Sri Lanka sedang dihadapkan oleh demonstrasi massa sebagai bentuk protes terhadap krisis ekonomi. Selama beberapa bulan terakhir, sejak akhir tahun 2021, Sri Lanka sudah bergelut dengan krisis ekonomi terburuk sejak masa kemerdekaannya di 1948. Krisis ini menyebabkan harga bahan-bahan kebutuhan dasar meningkat tajam dan stok bahan dasar makanan, bahan bakar, dan obat-obatan menipis. Ketidakmampuan jajaran pemerintahan dibawah pimpinan Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, untuk membayar impor dan pengiriman bahan bakar yang disebabkan oleh kekurangan valuta asing berujung pada pemadaman listrik di sebagian wilayah Sri Lanka yang berlangsung selama 13 jam pada Rabu (30/3/22). Pemadaman listrik ini terjadi pada puncak gelombang protes massa yang ditandai dengan pemblokiran jalan-jalan utama di berbagai kota dan seruan penuntutan pemecatan Gubernur Ajith Cabraal di luar Bank Sentral Sri Lanka. Puncak krisis dan demonstrasi tersebut menyebabkan jajaran kabinet pemerintahan kali ini mengundurkan diri secara massal pada rentang waktu Selasa (4/4/22) hingga Rabu (5/4/22) kemarin. 

Para kritikus mengatakan bahwa akar dari krisis Sri Lanka terletak pada salah urus ekonomi secara berturut-turut oleh pemerintah yang menciptakan dan mempertahankan defisit kembar––keadaan ketika pengeluaran negara lebih besar dibandingkan pemasukan dan ketika produksi barang dagang dan jasa tidak mencukupi. Namun, krisis ekonomi kali ini dipercepat oleh penetapan kebijakan pemotongan pajak untuk menstimulasi ekonomi oleh Rajapaksa pada masa-masa pemilihan umum 2019, sesaat sebelum penyebaran virus COVID-19 yang turut memperparah ekonomi Sri Lanka. Menurut Murtaza Jafferjee, kepala think-tank Advocata Institute, kebijakan tersebut merupakan kesalahan diagnosis terhadap permasalahan ekonomi yang dihadapi Sri Lanka pada waktu itu. 

Krisis ekonomi Sri Lanka juga diperparah oleh kegagalan program manajemen utang Sri Lanka yang statusnya bergantung pada aspek industri pariwisata dan pembayaran uang dari pekerja asing yang dilemahkan pandemi. Dengan gagalnya program manajemen utang ini, cadangan devisa anjlok hampir 70 (tujuh puluh) persen dalam jangka waktu dua tahun. Selain itu, keputusan pemerintahan Rajapaksa untuk melarang semua produk pupuk kimia pada tahun 2021 tercatat memukul sektor pertanian negara dan memicu penurunan panen padi yang akhirnya mengacaukan produksi pertanian Sri Lanka.  

Untuk menangani krisis tersebut, pemerintahan Rajapaksa telah merencanakan dan menjalankan serangkaian program. Pada April ini, Sri Lanka merencanakan untuk membicarakan program pinjaman dengan IMF (International Monetary Fund). Sebelum melakukan langkah tersebut, di beberapa bulan terakhir, Sri Lanka secara bertahap mendevaluasi mata uangnya––yang ternyata berimbas buruk bagi masyarakat. Selain bantuan dari IMF, pemerintahan Rajapaksa juga mencari bantuan dari China dan India, terlebih untuk bantuan bahan bakar dari India. Pengiriman diesel di bawah batas kredit $500 juta yang ditandatangani dengan India pada bulan Februari diperkirakan akan tiba pada hari Sabtu (9/4/22). Selain itu, Sri Lanka dan India telah menandatangani batas kredit $1 miliar untuk impor kebutuhan pokok, termasuk makanan dan obat-obatan. Pemerintah Rajapaksa juga telah meminta setidaknya $ 1 miliar lagi dari New Delhi. Sementara itu, saat ini China sedang mempertimbangkan untuk menawarkan fasilitas kredit $1,5 miliar dan pinjaman terpisah hingga $1 miliar setelah memberikan CBSL swap $1,5 miliar dan pinjaman sindikasi $1,3 miliar untuk mengatasi krisis yang menghantam negara kepulauan tersebut. Sebelum program bantuan ini, pemerintah Sri Lanka telah memiliki total utang luar negeri sekitar $4 miliar pada tahun 2022, termasuk obligasi negara internasional (ISB) senilai $1 miliar yang jatuh tempo pada bulan Juli. ISB merupakan bagian terbesar dari utang luar negeri Sri Lanka sebesar $12,55 miliar, dengan Bank Pembangunan Asia, Jepang, dan China di antara pemberi pinjaman utama lainnya.

Imbas Serangan Terhadap Ukraina, Ratusan Perusahaan Hengkang dari Rusia

Imbas Serangan Terhadap Ukraina, Ratusan Perusahaan Hengkang dari Rusia

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Illustrasi oleh:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Konflik yang terjadi di antara Rusia-Ukraina tidak hanya berimbas terhadap aspek politik tetapi juga aspek ekonomi di Rusia. Sejak serangan pertama yang diluncurkan terhadap Ukraina, negara ini harus menghadapi penarikan perusahaan-perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan asing dari berbagai sektor––mulai dari keuangan, makanan, media, teknologi, hingga energi––menangguhkan dan/atau mengurangi operasi perusahaan di Moskow. Langkah simbolik dilakukan oleh 4 (empat) ikon brand Amerika Serikat, yaitu PepsiCo, Coca-Cola, McDonalds, dan Starbucks pada Selasa (8/3/22). Selain perusahaan-perusahaan tersebut, terdapat ratusan perusahaan lain yang bergerak di bidang terspesialisasi masing-masing yang turut menarik dan menangguhkan operasinya di Moskow. 

Dalam aksinya, tidak semua perusahaan memberhentikan operasi bisnis yang mereka lakukan secara total. Beberapa hanya menangguhkan, beberapa lainnya menghentikan operasinya di bidang tertentu dan tetap menjual komoditas lainnya. Salah satu perguruan tinggi di Amerika Serikat, Universitas Yale, berhasil mengkompilasi aksi kurang lebih 500 (lima ratus) perusahaan yang mengundurkan diri dari pasar Rusia dalam 5 (lima) kategori pengurangan operasi––withdrawal, suspension, scaling back, buying time, dan digging in. Withdrawal adalah pemberhentian operasi perusahaan secara total. Suspension adalah pembukaan opsi untuk keterlibatan kembali sembari membatasi operasi. Scaling back adalah pengurangan aktivitas di sektor bisnis tertentu sambil melanjutkan bisnis yang lain. Buying time adalah penundaan investasi sembari melanjutkan bisnis substantif. Digging in adalah penolakan untuk mengurangi aktivitas.  

McDonald's mengumumkan pada Selasa (8/3/22) bahwa 850 (delapan ratus lima puluh) outlet-nya di Rusia akan ditutup sementara yang berimbas pada munculnya jaringan gerai restoran lokal tiruan McDonalds di Rusia bernama Uncle Vanya. Starbucks melangkah lebih jauh dari McDonald's dengan menangguhkan semua aktivitas bisnis di Rusia, termasuk pengiriman produknya. Sementara itu, PepsiCo akan mengurangi penjualan produk minuman tetapi tetap menjual produk-produk pentingnya yang lain, seperti susu formula, susu, dan makanan bayi. Tentunya seluruh tindakan tersebut tidak dilakukan tanpa alasan. Menurut CEO PepsiCo, Ramon Laguarta, sebagai perusahaan food and beverages, aspek kemanusiaan harus diaplikasikan pada bisnis yang mereka jalankan. CEO McDonalds, Chris Kempczinski, menambahkan bahwa konflik di Ukraina dan krisis kemanusiaan di Eropa telah menyebabkan penderitaan hebat pada warga tidak bersalah yang oleh karenanya, perusahaannya akan bergabung untuk mengutuk agresi dan kekerasan serta berdoa untuk perdamaian. 

Di samping itu, beberapa perusahaan yang ragu untuk menangguhkan aktivitasnya harus berhadapan dengan dorongan dan desakan dari publik. Nestle yang berbasis di Swiss awalnya menolak untuk menghentikan aktivitas bisnisnya di Rusia, tetapi ketika muncul kampanye kesadaran publik yang diluncurkan secara daring dengan menampilkan cokelat batangan Nestle yang berlumuran darah, perusahaan tersebut kemudian mengumumkan bahwa mereka akan menangguhkan pekerjaannya di Rusia. Meski demikian, terdapat pula beberapa perusahaan lain yang bersikukuh untuk melanjutkan operasinya di Rusia, misalnya perusahaan ritel Prancis, Auchan, yang menentang opini publik dan menyatakan dengan tegas untuk tetap berada di Rusia serta beberapa bank dengan eksposur besar di Rusia yang juga mengabaikan eksodus ini.

Perkembangan Terbaru Suplai Minyak Goreng Indonesia, Perubahan Kebijakan Dalam Pengendalian Persediaan

Perkembangan Terbaru Suplai Minyak Goreng Indonesia, Perubahan Kebijakan Dalam Pengendalian Persediaan

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Illustrasi oleh:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Berdasarkan catatan Kompas.com, sejak akhir tahun 2021, persediaan minyak goreng di Indonesia sempat mengalami penurunan drastis dan harga yang melambung tinggi. Menghadapi fenomena tersebut, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI) menetapkan serangkaian kebijakan dari mulai penentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) hingga Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) mulai 27 Januari 2022. DMO merupakan kebijakan yang mewajibkan seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor untuk mengalokasikan 30% dari volume produksinya untuk kebutuhan dalam negeri, sementara DPO diberlakukan untuk mengatur harga minyak sawit mentah (CPO) di Tanah Air. Dengan berlakunya kebijakan HET sebesar Rp 14.000/liter dengan selisih harga pada beberapa variasi kemasan, persediaan minyak goreng kian mengalami kelangkaan seiring turunnya harga minyak goreng di pasaran.

Perkembangan terbaru dari upaya pemerintah untuk memastikan ketersediaan minyak goreng kini berujung pada pencabutan HET untuk minyak goreng kemasan dan curah serta pencabutan kebijakan DMO dan DPO. Pencabutan kebijakan HET minyak goreng oleh Pemerintah bertujuan untuk mendapat keseimbangan yang baru melalui mekanisme pasar. Pemerintah juga melaporkan bahwa dengan adanya kebijakan DMO yang diterapkan beberapa waktu lalu, para produsen kesulitan untuk memastikan persediaan minyak goreng karena harga CPO yang lebih tinggi daripada HET hingga beberapa pabrik pengelola minyak tutup karena tak bisa lagi menjalankan pabriknya. Konsekuensi dari dicabutnya kebijakan tersebut adalah dikembalikannya harga minyak goreng kemasan domestik ke harga CPO dunia pada angka Rp24.000/liter. Seiring dengan pencabutan HET, saat ini persediaan minyak goreng sudah mulai normal dan mendekati melimpah. Berdasarkan informasi dari beberapa penjual (18/3/22), banyaknya permintaan toko terhadap kebutuhan minyak goreng sudah dapat dipenuhi hingga 100%.

Sejalan dengan pencabutan kebijakan HET, DPO, dan DMO, Pemerintah menetapkan kebijakan penaikan tarif ekspor CPO yang bertujuan untuk memastikan bahan baku minyak goreng tetap tersedia di dalam negeri. Menurut Menteri Perdagangan RI, saat harga CPO berada di atas level US$1.000 per ton, akan ada tarif flat sebesar US$175 dan untuk setiap kenaikan harga CPO sebesar US$50 per ton, akan ada kenaikan tarif sebesar US$20 per ton untuk CPO. Oleh karena itu, tarif pungutan ekspor ditambah bea keluar dari yang semula US$375 per ton akan berubah menjadi US$675 per ton sehingga hal tersebut akan membuat eksportir memilih menjual CPO di dalam negeri daripada di luar negeri karena penjualan akan lebih menguntungkan. Mekanisme ini dinilai dapat menjaga kestabilan pasokan dalam negeri.

Ancaman Cuaca Ekstrem, Sektor Perdagangan Komoditas Pangan Indonesia Waspada Gagal Panen dan Lonjakan Harga

Ancaman Cuaca Ekstrem, Sektor Perdagangan Komoditas Pangan Indonesia Waspada Gagal Panen dan Lonjakan Harga

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Illustrasi oleh:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Cuaca yang tidak menentu berimbas buruk bagi dinamika pertanian di Indonesia. Sejumlah petani konvensional––yang mengandalkan input bahan kimia terutama pestisida dan pupuk kimia––di beberapa wilayah Indonesia, salah satunya di Provinsi Gorontalo, harus meratapi nasib kerugian gagal panen karena tidak bisa menentukan serta memprediksi kapan waktu kemarau dan waktu hujan (2/2/22). Selain petani di Provinsi Gorontalo, beberapa petani di Kabupaten Pangandaran juga mengeluhkan hasil panen yang kurang baik. Salah seorang petani asal Cileuncang, Suryaman (45), mengeluhkan kualitas panen padi  dengan bulir padi yang sangat kecil dan tidak normal sebagai akibat dari sawah miliknya yang sering terendam banjir (6/2/22). Hujan yang ekstrim juga dikeluhkan oleh petani asal Cijulang, Wawan Kurniawan (38), yang mendapatkan hasil panen kurang bagus (6/2/22).

Dengan keadaan tidak menentu, petani-petani tersebut harus menunda waktu penanaman serta mengalami gagal panen. Saat ini, para petani konvensional dihadapkan pada keadaan minimnya informasi prakiraan cuaca dan gagap teknologi yang kemudian berkontribusi pada kerugian yang mereka alami. Petani konvensional terbiasa mengandalkan ilmu perbintangan untuk menentukan aktivitas bercocok tanamnya, namun dengan adanya perubahan iklim, sulit bagi mereka untuk dapat memprediksi cuaca. Ketidakmampuan untuk menentukan cuaca tersebut lantas berakibat pada kematian tanaman jenis holtikultura dan jagung serta kemungkinan serangan hama. Selain hortikultura dan jagung, sektor pangan utama seperti beras juga terimbas negatif.

Cuaca ekstrem dan kegagalan panen yang dialami para petani tersebut berdampak buruk bagi harga pangan yang kian melambung tinggi. Menurut Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, perubahan iklim dapat mengganggu ketersediaan pangan dan mengancam ketahanan pangan. Berkurangnya tingkat produksi dapat menyebabkan kenaikan harga pangan yang mana berimbas pada akses, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan. Salah satu kenaikan komoditas pangan ditemukan di Makassar khususnya untuk komoditas cabai rawit dan bawang merah. Pada komoditas cabai rawit, harga jual komoditas tersebut mencapai Rp70.000,00 per kilogram, dengan kenaikan sebanyak Rp20.000,00 sejak pekan sebelumnya (9/2/22). Adapun komoditas bawang merah dijual pada harga Rp40.000,00 per kilogram, dengan kenaikan sebanyak Rp5.000,00 per kilogram pada pekan sebelumnya (9/2/22). Selain itu, pada Januari 2022 lalu, harga beras pada skala nasional mengalami kenaikan. Rata-rata harga beras kualitas premium di penggilingan mencapai Rp9.824,00 per kg, dengan kenaikan sebesar 1,57 persen dibandingkan bulan sebelumnya, sedangkan beras kualitas medium di penggilingan mencapai Rp9.381,00 per kg dengan kenaikan sebesar 2,77 persen. Rendahnya panen di bulan November sampai Desember tahun 2021 serta fenomena hidrometeorologi di awal 2022 menjadi penyebab kenaikan harga beras tersebut.

Melihat lonjakan tersebut, Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polri memperkirakan bahwa harga sembako––termasuk cabai rawit merah dan bawang merah––akan mengalami kenaikan menjelang bulan Ramadhan hingga perayaan Idul Fitri. Selain disebabkan oleh lonjakan permintaan pada komoditas impor, faktor cuaca buruk juga berkontribusi terhadap penurunan penawaran. Untuk menangani hal ini, dikutip dari Ketua Asosiasi Champion Cabai Indonesia Tunov Mondro, pemerintah harus melakukan langkah konkret dan intervensi untuk dapat mengatasi kenaikan harga komoditas pangan yang sedang meroket.

Buntut Perang Ukraina-Rusia, dari Merosotnya Nilai Rubel hingga Anjloknya Saham Rusia

Buntut Perang Ukraina-Rusia, dari Merosotnya Nilai Rubel hingga Anjloknya Saham Rusia

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Illustrasi oleh:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Sejak Senin (28/2/22), mata uang Rusia, Rubel, terpantau merosot drastis. Rubel berakhir pada 106,01 per dolar di Moskow dan penutupan Rabu (2/3/2022) di 106,02 setelah mencapai rekor terendah intraday  di 118,35, mencatat penurunan lebih dari 10% di hari tersebut. Penurunan ini menjadi akibat dari perang yang terjadi antara Rusia-Ukraina, dimana negara-negara di dunia memberlakukan sanksi ekonomi kepada Rusia. Deretan sanksi berupa pemblokiran bank-bank besar Rusia dari sistem pembayaran internasional atau Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT)––sistem yang memigrasi milyaran dollar dari ribuan bank dan institusi finansial lain di seluruh dunia––datang dari negara-negara besar dan adidaya, seperti Amerika Serikat dan Eropa. Imbas dari adanya pemblokiran ini mendorong investor lama Rusia untuk mencari suaka investasi baru ke zona yang lebih aman, yaitu yen dan dollar AS.

Selain kejatuhan Rubel, saham-saham di bank-bank besar Rusia juga mengalami kemerosotan sebagai imbas dari sanksi yang dilayangkan negara-negara barat. Harga saham Sberbank-–bank pemberi pinjaman terbesar Rusia––anjlok sebanyak 95% di London Stock Exchange pada perdagangan di hari Rabu (2/3/22) hingga diperdagangkan pada $0.01. Kejatuhan ini menandakan titik terendah harga saham Sberbank yang berujung pada penarikan diri dari pasar Eropa. Juru bicara dari Sberbank menyatakan bahwa pihaknya, khususnya anak perusahaannya di Eropa, telah mengalami arus kas keluar yang abnormal setelah dilangsungkannya invasi Rusia ke Ukraina. Selain Sberbank, saham-saham utama Rusia, termasuk Novatek, Lukoil, dan Rosneft juga mengalami penurunan yang serupa. Untuk menstabilkan pasar keuangan, Bank Sentral Rusia melakukan intervensi pada pasar valuta asing dan juga mengekspansi daftar Lombard. Selain saham-saham Rusia, kemerosotan serupa juga dialami oleh saham-saham global hingga ke Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dimana IHSG mencatat kejatuhan ke zona merah dengan pelemahan sebanyak hampir 2% pada Kamis (24/2/22). Bursa saham AS juga loyo, dengan kemerosotan dialami oleh Dow Jones Indus AVG, S&P 500 Index hingga ke Nasdaq Composite.

Devaluasi tajam yang dialami oleh Rubel berpotensi untuk menimbulkan inflasi dan akan berdampak buruk bagi penduduk Rusia yang berkemungkinan untuk tercekik oleh harga-harga barang yang melambung tinggi. Harga produk-produk rumahan yang banyak didapat dari impor akan meroket dan biaya untuk melakukan perjalanan luar negeri akan bertambah mahal. Selain inflasi, pasar saham dapat terancam tutup. Keterpurukan ekonomi ini juga dapat mempengaruhi operasi militer Rusia, dengan kemungkinan tingginya tekanan terhadap kelancaran operasi tersebut. Gejolak ekonomi internal Rusia diperkirakan akan bertambah parah dalam beberapa waktu kedepan karena pukulan kemerosotan nilai Rubel dan anjloknya harga saham memaksa kegiatan penawaran berhenti sebagai akibat dari rendahnya permintaan.