Buntut Perang Ukraina-Rusia, dari Merosotnya Nilai Rubel hingga Anjloknya Saham Rusia

Buntut Perang Ukraina-Rusia, dari Merosotnya Nilai Rubel hingga Anjloknya Saham Rusia

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Illustrasi oleh:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Sejak Senin (28/2/22), mata uang Rusia, Rubel, terpantau merosot drastis. Rubel berakhir pada 106,01 per dolar di Moskow dan penutupan Rabu (2/3/2022) di 106,02 setelah mencapai rekor terendah intraday  di 118,35, mencatat penurunan lebih dari 10% di hari tersebut. Penurunan ini menjadi akibat dari perang yang terjadi antara Rusia-Ukraina, dimana negara-negara di dunia memberlakukan sanksi ekonomi kepada Rusia. Deretan sanksi berupa pemblokiran bank-bank besar Rusia dari sistem pembayaran internasional atau Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT)––sistem yang memigrasi milyaran dollar dari ribuan bank dan institusi finansial lain di seluruh dunia––datang dari negara-negara besar dan adidaya, seperti Amerika Serikat dan Eropa. Imbas dari adanya pemblokiran ini mendorong investor lama Rusia untuk mencari suaka investasi baru ke zona yang lebih aman, yaitu yen dan dollar AS.

Selain kejatuhan Rubel, saham-saham di bank-bank besar Rusia juga mengalami kemerosotan sebagai imbas dari sanksi yang dilayangkan negara-negara barat. Harga saham Sberbank-–bank pemberi pinjaman terbesar Rusia––anjlok sebanyak 95% di London Stock Exchange pada perdagangan di hari Rabu (2/3/22) hingga diperdagangkan pada $0.01. Kejatuhan ini menandakan titik terendah harga saham Sberbank yang berujung pada penarikan diri dari pasar Eropa. Juru bicara dari Sberbank menyatakan bahwa pihaknya, khususnya anak perusahaannya di Eropa, telah mengalami arus kas keluar yang abnormal setelah dilangsungkannya invasi Rusia ke Ukraina. Selain Sberbank, saham-saham utama Rusia, termasuk Novatek, Lukoil, dan Rosneft juga mengalami penurunan yang serupa. Untuk menstabilkan pasar keuangan, Bank Sentral Rusia melakukan intervensi pada pasar valuta asing dan juga mengekspansi daftar Lombard. Selain saham-saham Rusia, kemerosotan serupa juga dialami oleh saham-saham global hingga ke Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dimana IHSG mencatat kejatuhan ke zona merah dengan pelemahan sebanyak hampir 2% pada Kamis (24/2/22). Bursa saham AS juga loyo, dengan kemerosotan dialami oleh Dow Jones Indus AVG, S&P 500 Index hingga ke Nasdaq Composite.

Devaluasi tajam yang dialami oleh Rubel berpotensi untuk menimbulkan inflasi dan akan berdampak buruk bagi penduduk Rusia yang berkemungkinan untuk tercekik oleh harga-harga barang yang melambung tinggi. Harga produk-produk rumahan yang banyak didapat dari impor akan meroket dan biaya untuk melakukan perjalanan luar negeri akan bertambah mahal. Selain inflasi, pasar saham dapat terancam tutup. Keterpurukan ekonomi ini juga dapat mempengaruhi operasi militer Rusia, dengan kemungkinan tingginya tekanan terhadap kelancaran operasi tersebut. Gejolak ekonomi internal Rusia diperkirakan akan bertambah parah dalam beberapa waktu kedepan karena pukulan kemerosotan nilai Rubel dan anjloknya harga saham memaksa kegiatan penawaran berhenti sebagai akibat dari rendahnya permintaan.