Arsip:

Berita In

Trend thrifting buruk bagi keberlanjutan lingkungan

Penulis :

Annisa Aqila Azza

Pemagang

Editor :

Lukas Andri, S.I.P

Manajer Luaran Riset

Tren belanja barang bekas (thrifting) di bidang pakaian, semakin meningkat akhir-akhir ini dikalangan muda mudi. Thrifting merupakan salah satu cara untuk mengurangi dampak buruk industri fashion terhadap lingkungan. Dengan memperpanjang umur pakai pakaian, kita dapat mengurangi produksi limbah tekstil yang semakin menggunung. Namun, kita perlu memastikan bahwa praktik thrifting tidak memicu peningkatan konsumsi yang justru menghasilkan sampah baru yang akan berdampak sama seperti industri fast fashion. Industri fashion telah lama dikenal sebagai salah satu penyumbang polusi terbesar di dunia. Sekitar 10% emisi karbon dioksida global tahunan dihasilkan dari proses produksi, distribusi, dan pembuangan pakaian. Industri Fast fashion, dengan model bisnisnya yang mengutamakan produksi massal dengan harga murah, menjadi kontributor utama dalam permasalahan ini. Produksi massal pakaian baru membutuhkan sumber daya alam yang besar sehingga menghasilkan limbah tekstil yang lebih besar pula.

Thrifting telah menjadi tren yang populer di kalangan generasi muda. Menjelajahi tumpukan pakaian bekas bagaikan berburu harta karun, di mana kita bisa menemukan potongan-potongan unik yang tidak akan ditemukan di toko biasa. Selain itu, thrifting juga memacu kreativitas dalam memadukan dan menata pakaian, sehingga gaya berpakaian menjadi lebih unik. Thrifting hadir sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan. Fashion berkelanjutan (sustainable fashion) merupakan upaya untuk menciptakan industri mode yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga ramah lingkungan. Ini berarti mencari cara untuk meminimalkan dampak negatif dari produksi dan konsumsi pakaian terhadap lingkungan dan masyarakat. Dengan membeli pakaian bekas, kita mengurangi permintaan terhadap produksi pakaian baru, sehingga secara tidak langsung mengurangi emisi karbon dan limbah tekstil. Selain itu, thrifting juga memperpanjang siklus hidup pakaian. Setiap pakaian yang kita selamatkan dari tempat pembuangan sampah berarti mengurangi satu item yang harus diproduksi ulang. Hal ini sejalan dengan prinsip sustainable fashion yang bertujuan untuk meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan. Thrifting merupakan langkah sederhana dari gerakan sustainable fashion yang memberikan banyak manfaat bagi lingkungan. Dengan kata lain gaya hidup ini sangat ramah lingkungan.

Dengan beragam keuntungan yang ditawarkan, thrifting menjadi semakin populer dan diminati oleh banyak orang. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan lonjakan signifikan impor pakaian bekas ke Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, dengan puncaknya pada tahun 2019 dengan angka 392 ton. Menurut temuan VOA News, pada tahun 2023 saja, pemerintah telah memusnahkan 1,3 juta pakaian bekas impor yang disita. Negara-negara seperti Jepang, Australia, dan beberapa negara Asia Tenggara menjadi sumber utama pasokan pakaian bekas ini. Peningkatan drastis ini mengindikasikan adanya jaringan bisnis ilegal yang memanfaatkan popularitas thrifting untuk meraup keuntungan yang tentunya merugikan negara. Padahal, impor pakaian bekas telah dilarang di Indonesia melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Maraknya impor pakaian bekas ilegal telah memperparah masalah limbah fashion. Banyak di antara pakaian-pakaian tersebut yang kondisinya sudah tidak layak pakai, sehingga hanya akan menambah tumpukan sampah tekstil. Data dari BBC menunjukkan bahwa 35% pakaian dalam setiap bal impor tidak layak pakai dan harus berakhir di tempat pembungan akhir sehingga menjadi sumber limbah fashion. Selain itu, harga yang murah justru mendorong konsumerisme yang berlebihan pada pembeli, di mana orang cenderung membeli pakaian secara impulsif tanpa mempertimbangkan kebutuhan. Akibatnya, banyak pakaian bekas yang tidak terpakai dan berakhir di tempat pembuangan sampah yang ironisnya menambah tumpukan limbah pakaian.

Tren thrifting yang semakin populer di kalangan generasi muda menawarkan alternatif yang lebih berkelanjutan dalam industri fashion. Dengan memperpanjang siklus hidup pakaian dan mengurangi produksi pakaian baru, thrifting berkontribusi pada pengurangan limbah tekstil dan emisi karbon. Namun, di balik popularitasnya, terdapat sisi gelap dari praktik thrifting yang perlu diperhatikan. Maraknya impor pakaian bekas ilegal telah merusak semangat awal dari thrifting yang berkelanjutan. Pakaian bekas impor yang masuk secara ilegal seringkali dalam kondisi tidak layak pakai, sehingga justru menambah beban limbah fashion. Selain itu, harga yang murah dari pakaian bekas impor mendorong konsumerisme yang berlebihan, di mana orang cenderung membeli pakaian secara impulsif tanpa mempertimbangkan kebutuhan. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar dari thrifting yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran bersama untuk menjalankan praktik thrifting secara bertanggung jawab. Konsumen perlu lebih selektif dalam memilih pakaian bekas dan menghindari perilaku konsumerisme. Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat pengawasan terhadap impor pakaian bekas ilegal dan memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku pelanggaran. Dengan demikian, thrifting dapat benar-benar menjadi solusi yang efektif dalam mengatasi masalah limbah fashion dan mewujudkan industri fashion yang lebih berkelanjutan.

Galon Sekali Pakai Le Minerale: Apakah Sejalan Dengan Prinsip Ekonomi Sirkular?

Penulis :

Mutiara Tria Kusuma Wardani

Pemagang

Editor :

Lukas Andri, S.I.P

Manajer Luaran Riset

Le Minerale berkolaborasi dengan sejumlah pihak yang berkepentingan melalui Program Gerakan Ekonomi Sirkular Nasional (GESN) untuk mengubah sampah plastik menjadi barang daur ulang yang bernilai tinggi.

Inovasi baru produk Le Mineral galon sekali pakai sekarang ini telah menarik perhatian masyarakat umum. Produk ini memiliki tiga keunggulan yang pertama teknologi galon selalu baru, tutup ulir kedap udara, serta hemat dan praktis. Hanya dengan harga Rp 19.000 sudah termasuk pembelian galon, rupanya produk tersebut bisa menjadi opsi yang bisa di pertimbangkan. Selain harganya yang tampaknya masuk akal, Le Minerale menawarkan kenyamanan, kesehatan, dan keamanan. Namun bagaimana dengan dampak jangka panjangnya? Apa yang akan terjadi pada galon bekas pakai? Apakah bisa didaur ulang dengan baik? Atau akankah hal tersebut akan menghasilkan lebih banyak sampah plastik? Apakah sejalan dengan program ekonomi sirkular yang sedang di gaungkan di Indonesia?

Banyak orang yang masih belum menyadari seberapa besar dampak konsumsi plastik terhadap lingkungan. Kecenderungan masyarakat untuk mengonsumsi barang-barang yang menggunakan plastik sekali pakai adalah penyebab utama polusi saat ini. OneGreenPlanet mengklaim bahwa penggunaan plastik sekali pakai dapat menyebabkan penumpukan yang signifikan di tempat pembuangan sampah. Selain itu, banyak plastik yang mengandung senyawa berbahaya yang dapat mencemari tanah.

Produksi galon sekali pakai yang kian hari kian meluas mengancam pertumbuhan jumlah sampah plastik dalam beberapa waktu terakhir. Dari sudut pandang kuantitatif, meningkatnya penggunaan galon semacam itu bertentangan dengan tujuan nasional Indonesia untuk mengurangi sampah sebesar 30 persen pada tahun 2025. Selain itu, tujuan negara untuk pelestarian lingkungan bertentangan dengan penggunaan galon sekali pakai. Hal ini tidak konsisten dengan konsep gaya hidup 3R (reduce, reuse, recycle) yang di promosikan oleh berbagai kelompok. Muharram Atha Rasyadi, seorang juru kampanye perkotaan untuk Greenpeace, mengatakan bahwa argumen yang mengatakan bahwa argumen yang mengatakan bahwa produk galon sekali pakai ramah lingkungan hanyalah omong kosong belaka. Ia mengklaim bahwa produsen tidak benar-benar mempertimbangkan apakah suatu produk dapat didaur ulang dengan benar atau malah justru sebaliknya, mereka hanya menggambarkan bahwa produk tersebut menguntungkan secara ekologis.

Dengan banyaknya berita yang beredar di media massa tersebut, menciptakan stigma bahwa memang produk Le Minerale yang merupakan galon sekali pakai malah menciptakan sampah plastik lebih banyak. Namun hal yang terjadi malah sebaliknya, hal itu dibuktikan dengan riset anyar rekomendasi dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yaitu Net Zero Waste Management Consortium yang dirilis pada 22 November 2023. Tim peneliti lapangan Net Zero tidak menemukan adanya sampah galon Le Minerale di TPA di enam kota besar yang ada di Indonesia pada tahun 2022, berdasarkan hasil pemeriksaan audit sampah secara serentak yang di mulai dari Jakarta, Surabaya, Meda, makassar, Samarinda, dan Bali. Menurut laporan hasil hasil studi “Potret Sampah 6 Kota”, kantong plastik, bungkus Indomie, dan gelas air mineral merupakan sampah plastik produk konsumen yang mendominasi dampak lingkungan dan memenuhi TPA dari ke enam kota tersebut. Hal tersebut juga di dukung lebih lanjut oleh studi tahun 2021 yang dilakukan di Jabodetabek oleh sustainable Waste Indonesia (SWI), yang menemukan bahwa sampah produk konsumen yang lebih besar seperti Galon Le Mineral lebih mudah ditangani daripada sampah wadag plastik kecil yang sebandin. Selain itu, sampah dari produk konsumen dengan kemasan yang lebih besar memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi jika dijual sebagai bahan baku plastik daur ulang.

Pihak Le Mineral sendiri memiliki beberapa program yang mencoba mengatasi masalah sampah plastik, salah satunya yakni “Plasticpay” yakni program tukar sampah plastik dengan saldo e-Wallet. Program tersebut mendorong setiap orang untuk memanfaatkan kembali sampah plastik yang dapat merusak lingkungan menjadi sesuatu yang bermanfaat dan bahkan menguntungkan. Hal itu dikarenakan sampah plastik yang terkumpul padaprogram Plasticpay akan di olah menjadi butiran, Recycled Polyester Staple Fiber (Re-PSF), dan juga benang serta kain. Bahan yang telah di daur ulang dapat menghasilkan eco-friendly fiber dan kain daur dan akan memenuhi semua standar dengan kualitas yang tinggi. Kain tersebut nantinya akan digunakan sebagai bahan untuk membuat bantal, boneka, tempat tidur, furniture, interior otomotif, dan produk non waven/waven. Masyarakat yang telah mengumpulkan sampah plastik dapat di menukar barang tersebut di Recycle point yang sudah di sediakan oleh Le Minerale, namun sayangnya Recycle Point tersebut belum terlalu merata di seluruh penjuru Indonesia, sehingga hal itu yang mungkin menyebabkan sampah galon sekali pakai seringkali masih mencemari lingkungan.

Janji Le Minerale untuk mendaur ulang sampah adalah hal yang serius. Inisiatif Gerakan Ekonomi Sirkular Nasional, yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat pengumpulan dan daur ulang, telah berlaku sejak 26 Juli 2022. Tujuan utama program ini adalah untuk meningkatkan pasokan industri daur ulang sekaligus meningkatkan kinerja mitra sebesar 20%. Gerakan Ekonomi Sirkular Nasional telah berhasil meningkatkan tingkat pengumpulan sampah sebesar 98% sejak di berlakukan tahun 2022. Dalam satu tahun, 6.300 ton sampah plastik berhasil dikumpulkan, yang setara dengan rata-rata 468.516 kg setiap bulannya. Jumlah tersebut mewakili 30% dari target 10 tahun Le Minerale.

Menengok Peluang Indonesia dalam Pelaksanaan High Level Forum on Multi-Stakeholders Partnership

Menengok Peluang Indonesia dalam Pelaksanaan High Level Forum on Multi-Stakeholders Partnership

Penulis :

Christina Vania Winona, S.I.P

Peneliti, Kepala Divisi Kesekretariatan, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Illustrasi :

Muna Rihadatul Aisi, S.Sos

Kepala Devisi Mediatek Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Senin (5/2), Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM menerima kunjungan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Bappenas RI). Kunjungan tersebut dilakukan dalam rangka pendalaman isu perdagangan dunia terkait persiapan pelaksanaan kegiatan High Level Forum on Multi Stakeholders Partnership Tahun 2024. Selain itu, kunjungan ini dilakukan untuk mendiskusikan terkait penajaman rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2025 - 2029 Bidang Politik Luar Negeri dan Kerjasama Pembangunan Internasional. Sekretaris Eksekutif PSPD UGM, Dr. Maharani Hapsari, bersama Siti Daulah Khoiriati, MA dan Taufik Adiyanto, S.H., LL.M., yang merupakan tim pakar PSPD UGM menyambut hangat perwakilan yang hadir.

Pada sesi diskusi, Dr. Maharani Hapsari menyampaikan bahwa keresahan negara berkembang adalah adanya simplifikasi tenaga kerja yang terjadi akibat fluktuasi setelah pandemi serta kebutuhan untuk perdagangan secara makro. Oleh karena itu, untuk membangun kebijakan diperlukan adanya peran aktif dari berbagai pihak. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah intervensi korporasi pada regulasi dan melihat bagaimana sebuah negara bisa mengambil pajak untuk redistribusi global sehingga dapat berdampak terhadap kesejahteraan tenaga kerja di level mikro.

Langkah yang dapat dilakukan untuk jangka pendek dalam pembuatan regulasi dan pemetaan data yakni diperlukan bingkai di level daerah untuk mengikutsertakan suara daerah dengan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah. Sedangkan untuk jangka panjang, dibutuhkan upskilling dan upgrading Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengatasi permasalahan daya saing buruh yang rendah. 

Siti Daulah Khoiriati, MA, menambahkan bahwa saat ini industri manufaktur ringan tidak lompat ke sektor yang bernilai tinggi, tetapi kembali menjadi eksportir komoditas mentah. Sedangkan, negara-negara tujuan ekspor menginginkan produk dengan nilai yang tinggi. Free trade yang sekarang terjadi dinilai tidak adil karena resiprositas, upah buruh tinggi yang dibarengi dengan produktivitas rendah, dan adanya ekspor buruh. Untuk itu, dibutuhkan perancangan komoditas unggulan yang didorong oleh pemerintah. Sedangkan kondisi Indonesia saat ini yaitu tidak memiliki fokus komoditas unggulan. Di sisi lain, hal tersebut juga perlu disesuaikan dengan banyaknya UMKM dengan berbagai sektor yang menjadi fokus mereka.

Pemaparan dilanjutkan oleh Taufik Adiyanto, S.H., LL.M., yang menyampaikan mengenai isu keamanan nasional yang masih menjadi pertimbangan dalam perdagangan dunia. Oleh sebab itu, diperlukan adanya promosi globalisasi yang inklusif dari World Trade Organization (WTO) agar kembali ke multilateralisme. Selain itu, terdapat beberapa permasalahan lain yang muncul diantaranya Indonesia yang perlu mengadakan inspeksi pra-pengiriman sehingga terdapat kenaikan biaya, isu Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan standardisasi, belum adanya kepastian hukum terkait trade and sustainability yang dibahas di G20, TRIPS Waiver yang tidak boleh kaku ke negara berkembang, dan perlunya subsidi perikanan.

Diskusi ditutup dengan tanggapan dari pihak Bappenas bahwa perlu mendongkrak kualitas pendidikan untuk mengatasi gap SDM yang terjadi karena belum adanya keselarasan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Misalnya, pemetaan sumber daya buruh yang menjadi kewenangan pemerintah daerah sedangkan pemerintah pusat memiliki data tersebut hanya dari kementerian. Oleh karena itu, perlu diadakan pemetaan resources center daerah dalam bidang apapun, yang tentunya perlu didukung melalui integrasi data dari berbagai kementerian yang ada di Indonesia.

Bridging the Divide: Key Agendas for Discussion at 13th WTO Ministerial Conference

Bridging the Divide: Key Agendas for Discussion at 13th WTO Ministerial Conference

Writer:

Theofillius Baratova A. K., S.Sos.

Head of Policy Partnership, Center for World Trade Studies Universitas Gadjah Mada.

Writer:

Lukas Andri Surya Singarimbun, S.I.P

Manager of Research Outputs, Center for World Trade Studies Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Maria Angela Koes Sarwendah, S.I.P.

Head of Research and Publication Division, Center for World Trade Studies Universitas Gadjah Mada.

The 13th World Trade Organization (WTO) Ministerial Conference (MC) will take place on 26th until 29th February 2024. Bringing several issues regarding the international trade regime, this edition of MC will discuss several pivotal issues, such as: 1) WTO Reform; 2) Agreement on Fisheries Subsidies, 3) Extension of E-commerce, 4) TRIPS Waiver, 5) Agriculture negotiations, and 6) Development related issues. This year’s conference will be held in Abu Dhabi, UAE, amidst the global uncertainty of international peace, fragmentation of the global economy, and deteriorating environmental sustainability. With the existence of these challenging issues, several argue that the conference will produce few progressive results and will likely fail to deliver much. 

Despite skeptical views by some, significant progress on important issues might still be produced from WTO MC13. For instance, the most pivotal issue of WTO reform regarding the dispute settlement mechanism. The US has blocked all new appointments to the Appellate Body as the terms of judges since 2017, whereas all seven seats of the body have been vacant since December 2020 and subsequently disabled the WTO enforcement. In consequence, the incapacitated Appellate Body leads to blockade by countries ruled against with filing an appeal known as “appealing into the void”. Failure to conclude progressive advancement regarding this issue will proliferate current practices of weaponization of trade by countries.

Another important issue is on the E-commerce topics. In Abu Dhabi, the WTO members will convene to address two pivotal issues: the continuation of discussions under the Work Programme on e-commerce and the fate of the Moratorium on Customs Duties on Electronic Transmissions, both initiated in 1998. While the Work Programme appears to proceed smoothly, the Moratorium on Customs Duties on Electronic Transmissions faces significant contention. The Moratorium, which has historically exempted digital products from tariffs, faces polarization. Some member states advocate for its permanence while others, notably developing countries such as India, South Africa, and Indonesia, argue that it deprives them of vital revenue, particularly as digitalization advances and new technologies emerge. Amidst these debates, the uncertain future of the Moratorium underscores the intricate dynamics of negotiations within the WTO and highlights the challenges of reconciling diverse perspectives on digital trade and revenue generation.

Supported by a considerable group of WTO members and business organizations, the Moratorium's extension faces uncertainty as wavering commitments, notably from the US, and concerns about the evolving digital trade landscape come into play. Despite the Moratorium's historical extension every two years by consensus, the prospect of its continuity appears increasingly vague, especially considering the complexities of revenue collection in the digital age and the rising importance of e-commerce in global trade. WTO MC13 should pave the way towards consensus between facilitating digital trade and addressing the developmental needs and revenue concerns of WTO member states to navigate the future of global trade effectively. 

For Indonesia, this MC is also important to address several issues that are closely related to national interest—one of them being the Agreement on Fisheries Subsidies. As a maritime country, Indonesia has an urgent interest in ensuring the economic activities in marine ecosystems are not hampering the sustainability of oceans. Failure to ensure the sustainability of marine resources will not only damage the environment, but also will negatively affect Indonesia’s coastal communities. There are around 120 million people or 50% of Indonesia's population who live in coastal areas, depending on the sea to make their ends meet. However, coastal communities in Indonesia face several challenges that impact their socio-economic development, environmental sustainability, and quality of life. These vulnerabilities are identified as poverty, education, environmental degradation, unsustainable development, and unconnected supply chains.

Regarding this issue, through the Circular Economy Forum 2023 (CEF 2023), Center for World Trade Studies Universitas Gadjah Mada (CWTS UGM) has explored problems that occur at the grassroots level regarding the paradox between Indonesia’s abundant coastal communities and the fact that many of the communities remain under-developed. Furthermore, several stakeholders exhibit an ambiguous understanding of the latent capabilities inherent in an archipelagic nation. Consequently, the current state of the Indonesian fisheries sector still cannot solve many societal uncertainties.

Given the urgency of this challenge, CWTS UGM collaborated with academics, local communities, and the business sector in formulating the “Podocarpus Initiative” in CEF 2023 as a recommendation for the Indonesian government to adopt WTO’s Agreement on Fisheries Subsidies. This initiative emphasizes the establishment of a multi-stakeholder policy forum aimed at promoting the blue economy in domestic policy formulation, with transparent and optimal law enforcement in marine resource extraction sectors to encourage sustainable trade, environmental conservation, business mentoring, and educational curriculum development. The Agreement on Fisheries Subsidies is deemed important due to its key provisions aimed at ensuring the sustainability of the ocean by curtailing harmful subsidies, which are in line with Sustainable Development Goals (SDG) 14. Moreover, the enactment of this agreement holds the opportunities to develop Indonesia's coastal community potential. Giving certainties to small-scale fishers, which become the most vulnerable ocean community in the barn of prosperity, should be navigated by implementing the Agreement and the Initiative. 

Another issue that is crucial to Indonesia is agriculture and Special & Differential Treatment (S&DT). Speaking at the Doha Trade Negotiations Committee (TNC), Indonesia’s Ambassador for WTO HE. Dandy Iswara reiterated the urgent need to ensure that the demands of developing countries can be met through fair S&DT, including S&DT on food security and rural development. In this regard, Indonesia emphasized that “resolving our homework on PSH (Public Stockholding) and SSM (Special Safeguard Mechanism), as well as achieving a balanced and fair outcome in domestic support and cotton (which is a pivotal commodity to Indonesia), should continue to remain high on our agenda.” 

In conclusion, the WTO MC13 outcome is vital to not only reform the WTO as an institution that ensures the effectiveness of international trade, but also to respond to climate change and agricultural issues. Despite skeptical views by some, WTO Deputy Director-General Angela Ellard mentioned that WTO’s current significant progress of informal technical negotiations among its state members are heading towards the goal agreed at MC12 and will be well-functioning in 2024. Every member of the WTO should work expeditiously to reform the WTO dispute mechanism and rebuild trust towards the institution.  Moreover, critical issues for Indonesia sh be properly addressed during the MC 13, especially regarding Agreement on Fisheries Subsidies and Special and Differential Treatment on Agriculture.

Mengambil Langkah Nyata, PSPD UGM Lakukan Bersih Pantai dan Konservasi Mangrove

Mengambil Langkah Nyata, PSPD UGM Lakukan Bersih Pantai dan Konservasi Mangrove

Penulis:

Anisa Febriyanti, S.Ikom

Intern Kesekretariatan, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Christina Vania Winona, S.I.P

Kepala Divisi Kesekretariatan, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Muna Rihadatul Aisi, S.Sos.

Kepala Divisi Diseminasi, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Sabtu (4/11), PSPD UGM bersama Suryakanta Institute dan Circular School Program Partnership (CSPP) menyelenggarakan kegiatan Rantai Komang Trip (Reresik Pantai & Konservasi Mangrove) dengan menggandeng komunitas lingkungan Yogyakarta, Garduaction (Garbage Care and Education). Dilaksanakan di pesisir Pantai Parangkusumo, Yogyakarta, kegiatan ini diikuti lebih dari 50 peserta yang berasal dari berbagai daerah.

Rantai Komang Trip dibuka dengan sambutan dari Bapak Hindratna selaku tuan rumah Garduaction. Dalam sambutannya, beliau mengucapkan terima kasih dan selamat datang kepada seluruh peserta Rantai Komang Trip. Bapak Hindratna kemudian menjelaskan mengenai perjalanan Garduaction dalam mengelola sampah di pesisir pantai Parangkusumo. Saat ini, Garduaction telah membuat banyak barang dari sampah mulai dari batako ringan, paving conblock, mainan anak-anak, pot bunga, hingga eco enzyme. Beliau juga menyatakan bahwa merasa bangga atas kunjungan peserta Rantai Komang Trip.

Selanjutnya, Mario Aden Bayu sebagai ketua pelaksana Circular Economy Forum (CEF) 2023 menjelaskan secara singkat tentang teknis acara Rantai Komang Trip termasuk luaran yang dihasilkan dari kegiatan ini. Nantinya, luaran dari kegiatan ini  akan menjadi salah satu pokok pembahasan yang akan disampaikan pada International Workshop yang merupakan rangkaian kegiatan CEF 2023 selanjutnya.

Dr. Riza N. Arfani, Kepala PSPD UGM melanjutkan sambutan dengan mengucapkan terima kasih kepada Garduaction karena telah menerima peserta Rantai Komang Trip dengan hangat. Dr. Riza menjelaskan bahwa dengan acara ini, peserta bisa belajar bersama mengenai pengolahan sampah di pesisir sekaligus melihat langsung produk-produk olahan sampah yang dapat disaksikan di sekitar Garduaction. Beliau mengharapkan antusiasme peserta mengikuti kegiatan ini terus berlanjut di rangkaian kegiatan CEF lain hingga Desember mendatang. 

Sambutan ditutup oleh pembina dari Suryakanta Institute sekaligus pegiat lingkungan hidup, Mayjen TNI (Purn.) IGK Manila atau kerap disapa Opa Manila. Beliau menyampaikan bahwa ekonomi sirkular dan ekonomi biru adalah salah satu cara untuk menjaga lingkungan yang keadaannya sudah memprihatinkan. Manusia menjadi pelaku utama dari kondisi ini dengan merusak lingkungan baik dari hutan, laut, sampai udara. Opa Manila berharap dengan adanya kegiatan ini, bisa mendorong masyarakat untuk ikut menyuarakan peduli lingkungan.

Kegiatan dilanjutkan dengan pembentukan beberapa kelompok yang saling bekerja sama untuk mengumpulkan sampah di sekitar pesisir Pantai Parangkusumo. Tidak hanya itu, di saat yang bersamaan peserta juga melakukan “nyangkruk” atau berdialog santai dengan warga setempat untuk mengetahui lebih dalam kehidupan warga pesisir. Usai selesai melakukan dua kegiatan tersebut, peserta kemudian memilah sampah berdasarkan kategori yang telah ditentukan. Sampah yang dipilah akan diolah oleh tim Garduaction menjadi barang yang memiliki nilai guna.

Kemudian, kegiatan dilanjutkan dengan penanaman mangrove pandan laut di area sekitar Garduaction. Setelah itu, kegiatan ditutup dengan api unggun sambil menikmati suasana pantai di malam hari. Di tengah-tengah kehangatan suasana tersebut, para peserta berdiskusi ringan untuk merefleksikan rangkaian kegiatan Rantai Komang Trip  yang telah dilakukan. 

Kolaborasi PSPD dan Fakultas Geografi UGM Gelar Forum Dialog Komunitas (FDK) Bertajuk Pembangunan Ekonomi Biru

Kolaborasi PSPD dan Fakultas Geografi UGM Gelar Forum Dialog Komunitas (FDK) Bertajuk Pembangunan Ekonomi Biru

Penulis:

Christina Vania Winona, S.I.P

Kepala Divisi Kesekretariatan, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM (PSPD UGM) bersama Fakultas Geografi UGM menyelenggarakan Forum Dialog Komunitas (FDK) pada Sabtu (23/9). Kegiatan yang sekaligus mengawali peluncuran Circular Economy Forum (CEF) 2023 turut menghadirkan para praktisi komunitas lokal untuk berbagi pengalaman dan ide terkait isu ekonomi biru. Forum ini digelar untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang mendukung peran komunitas lokal dalam pembangunan ekonomi biru pada tingkat nasional dan global. 

FDK dibuka oleh Dekan Fakultas Geografi UGM, Dr. Danang Sri Hadmoko, S.Si., M.Sc. dan Kepala PSPD UGM, Dr. Riza Noer Arfani. Dr. Danang menekankan bahwa Indonesia memiliki mega biodiversity yang dapat menghasilkan berbagai produk tidak hanya produk mentah, namun bisa berupa produk kosmetik atau farmasi. “Potensi laut Indonesia tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Melainkan yang harus menjadi aktor utama adalah masyarakat lokal.” Dilanjutkan oleh Dr. Riza, FDK diharapkan dapat menghasilkan kolaborasi berkelanjutan dalam level produksi pengetahuan dan rancangan rekomendasi kebijakan mengenai ekonomi biru. 

Forum dilanjutkan oleh pemaparan Sefrianto Saleda atau yang kerap dipanggil Kak Seiya dari Konservasi Indonesia, Papua Barat. Kak Seiya menjelaskan bahwa Konservasi Indonesia mendorong ekonomi biru melalui pendekatan proteksi-produksi. Pendekatan ini diterapkan dalam pariwisata berkelanjutan, perikanan berkelanjutan, dan pertanian/perkebunan berkelanjutan. Upaya untuk mendukung pendekatan ini dilakukan dalam bentuk sosialisasi, pemetaan potensi wisata, dan penguatan kapasitas pengelola wisata.

Menyambung Kak Seiya, Dhimas Driessen dari Tani Remen Budaya (TRB) Creative, Jawa Tengah menyampaikan bahwa pertanian sangat erat hubungannya dengan ekonomi sirkular. Program yang pernah diinisiasi oleh TRB Creative adalah Rumah Kompos, Pertanian Berkelanjutan, Budaya untuk Pertanian, Produk Sehat, dan berbagai program lainnya yang sifatnya saling berkelanjutan. Seluruh program dilaksanakan mulai dari desa, hingga kabupaten atau kota. 

Dilanjutkan oleh Faizal Naf’an (Cak Aan) dari Rukun Nelayan Weru, Jawa Timur, menjelaskan bahwa saat ini di Lamongan, Jawa Timur terdapat beberapa industri yang dibangun di dekat pantai. Akibatnya, wilayah tangkapan nelayan menjadi terganggu. Tidak jarang nelayan juga merasa khawatir akan adanya kecelakaan laut karena ramainya lalu lintas kapal di area tersebut. Maka dari itu, dibutuhkan penyesuaian aktivitas antara industri dengan nelayan lokal dan penyediaan akomodasi yang mendukung keselamatan aktivitas di laut. 

Pemaparan dilanjutkan Josh Handani, Ketua Konsorsium Ekonomi Sirkular Indonesia (KESI), Bali & D.I. Yogyakarta, yang menyampaikan dedikasinya pada ekonomi sirkular berawal dari kegiatan membersihkan lingkungan dan sungai. Kegiatan ini menumbuhkan urgensi untuk mengurangi sampah dengan memulai membuat produk berbahan natural yang digunakan sendiri. Kini, beliau telah sukses memasarkan produk sirkular di pasar internasional. 

Forum ditutup dengan penyampaian tanggapan dari akademisi Fakultas Geografi UGM, Dr. Agr. Evita Hanie Pangaribowo, S.E., Midec, menjelaskan bahwa ekonomi biru yang didominasi oleh bisnis skala kecil memiliki berbagai macam hambatan yang berbeda, tergantung wilayah bisnis tersebut berada. Secara garis besar hambatan berasal dari perubahan iklim dan bencana alam. Hambatan lainnya berupa harga jual yang akan memengaruhi kualitas kesejahteraan pelaku bisnis skala kecil. Solusinya adalah melalui pemberdayaan dan pelatihan manajemen risiko yang melibatkan pelaku bisnis skala kecil. Pemerintah juga perlu hadir, salah satunya dengan memberikan asuransi kepada pelaku bisnis skala kecil terkait dampak dari hambatan perubahan iklim dan bencana alam.

Diskusi PSPD UGM dengan Tim Peneliti FISIP UNDIP Mengenai Penerapan ATIGA di Indonesia dan ASEAN

Diskusi PSPD UGM dengan Tim Peneliti FISIP UNDIP Mengenai Penerapan ATIGA di Indonesia dan ASEAN

Penulis:

Christina Vania Winona, S.I.Ph

Kepala Divisi Kesekretariatan, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM menerima kunjungan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (FISIP UNDIP) pada Jumat, 11 Agustus 2023. Kunjungan dilakukan oleh Prof. Dr. Drs. Hardi Warsono, M.T. dan 6 peneliti untuk memperoleh pemahaman terkait pemberlakuan ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement). Bergabung melalui media daring, Kepala PSPD UGM, Dr. Riza Noer Arfani menyambut baik kehadiran dari perwakilan yang hadir. 

Diskusi membahas berbagai isu dan dampak penerapan ATIGA terhadap perdagangan dan upaya Indonesia untuk mendukung ATIGA, baik di dalam negeri maupun lingkup ASEAN. Di akhir sesi diskusi, perwakilan FISIP UNDIP menyampaikan ketertarikan untuk menjalin kerja sama dengan PSPD UGM baik dalam hal produksi pengetahuan maupun kegiatan lainnya, salah satunya mengenai isu ekonomi sirkular. 

 

Sarasehan Demokrasi Ekonomi Indonesia ”Inspirasi dari Laut: Cerita Kehidupan Komunitas dan Peluang Ekonomi Biru untuk Masyarakat Lokal”

Sarasehan Demokrasi Ekonomi Indonesia ”Inspirasi dari Laut: Cerita Kehidupan Komunitas dan Peluang Ekonomi Biru untuk Masyarakat Lokal”

Penulis:

Christina Vania Winona, S.I.Ph

Kepala Divisi Kesekretariatan, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM menyelenggarakan Kelas Komunitas Berdaya sekaligus Sarasehan Demokrasi Ekonomi Indonesia (SARDEIN) volume VI dengan mengangkat tema ‘Inspirasi dari Laut: Cerita Kehidupan Komunitas dan Peluang Ekonomi Biru untuk Masyarakat Lokal’ pada Jumat (28/7). Forum digelar secara daring selama 90 menit dan diikuti oleh puluhan komunitas yang bergerak di pelestarian pesisir dan ekonomi kreatif.

Berkolaborasi dengan Suryakanta Institute dan ECCO Foundation, PSPD UGM menghadirkan panelis dari kalangan komunitas pesisir Lombok dan Cilacap. Forum dibuka dengan sambutan dari Mario Aden Bayu Valendo, S.I.P selaku Ketua Penyelenggara CEF 2023 yang memberikan pengantar pengenalan terkait CEF 2023 rangkaian acaranya. Ekonomi biru akan diangkat sebagai fokus tema Circular Economy Forum (CEF) 2023 yang merupakan agenda tahunan PSPD UGM yang kedua. Melalui CEF, saat ini telah terbentuk beberapa kajian seputar ekonomi sirkular yang akan digunakan untuk rekomendasi kebijakan. Agenda tersebut akan dilakukan secara keberlanjutkan hingga tercipta kebijakan publik sekaligus implementasinya mampu menjamin keseimbangan antara ekonomi dan ekologi.

Melalui CEF 2023, komunitas diharapkan mampu saling tukar ilmu pengetahuan dalam merawat gerakannya. Rangkaian CEF 2023 yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai dengan Desember 2023 juga dimaksudkan sebagai bentuk fasilitasi kepentingan komunitas kepada pemangku kebijakan. Aktivitas yang dilakukan meliputi Kelas Komunitas Berdaya, Forum Dialog Komunitas, kampanye pelestarian alam, riset, konferensi pembangunan nasional, dan konferensi internasional untuk mengkaji kebijakan publik.

Kemudian, acara dilanjutkan dengan pemaparan dari narasumber pertama, yaitu Iwan Suyadi, S.E., M.Pd, Wakil Ketua Turtle Conservation Community di Lombok yang telah berdiri sejak 2018. Gerakan komunitas ini sempat menghadapi tantangan dari gempa bumi Lombok tetapi upaya pelestarian alam melalui konservasi penyu masih tetap berlanjut hingga saat ini. Gerakan ini memiliki misi penyelamatan penyu yang dilakukan dengan patroli menyisir pesisir Lombok. Hingga saat ini, TCC telah melepas sebanyak 27.715 ekor penyu kembali ke habitatnya. Selain preservasi penyu, TCC juga merehabilitasi karang yang berdampak baik dari segi lingkungan dan pariwisata.  Namun, di sisi lain, TCC juga menemukan beberapa tantangan, di antaranya adalah jumlah nelayan terlampau banyak jika dibandingkan dengan ketersediaan sumber pendapatan dari laut dan oknum-oknum yang masih menjual telur penyu.

Narasumber kedua adalah Bayu Nur Aji yang membina komunitas masyarakat Indonesian Ecotourism Community di Cilacap, Jawa Tengah.  Indonesia Ecotourism Community berada di pesisir Cilacap, tepatnya Kecamatan Kampung Laut yang dulu disebut Segoro Anakan, yang saat ini lautannya perlahan-lahan menghilang. Fokus pendampingan Indonesian Ecotourism Community adalah pergantian profesi pada masyarakatnya melalui cara: (1) pemanfaatan lahan timbun untuk pertanian; (2) mengakses bantuan dari pemerintah; (3) pengembangan pariwisata dengan produksi olahan laut. Selama proses pendampingan, terdapat tantangan besar, diantaranya problematika kebijakan publik karena lokasinya yang bersinggungan langsung dengan Pulau Alcatraz-nya Indonesia. Selain itu, idealisme masyarakat Kampung Laut Cilacap untuk bertahan hidup masih terasa dengan kondisi mereka yang belum sepenuhnya membuka diri, sehingga pendampingan harus menggunakan trik tertentu, misalnya tidak menjanjikan apapun terhadap masyarakat Kampung Laut Cilacap.

Narasumber ketiga adalah Prof. Dr. Purwo Santoso, MA. Beliau menyampaikan jika sekalipun blue economy tampak utopis, konsep ini juga realistis. Ekonomi biru dapat disamakan konsepnya dengan ekonomi hijau, hanya fokus pembangunannya ada di laut. Dalam konsep ini, beliau menyampaikan bahwa terdapat dilema di antara ekonomi dan ekologi karena ekonomi membuka peluang tetapi juga meningkatkan ancaman krisis lingkungan. Oleh karenanya, keadilan ekonomi seharusnya mulai dibangun dan dapat dimulai dari desain koperasi dari hulu ke hilir yang selaras dengan modifikasi pada model bisnis sehingga narasinya adalah menjaga keadilan.

Acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab dengan peserta dan kemudian ditutup dengan rangkuman sesi narasumber.

 
 

SARDEIN: Petaka Tren Magang bagi Mahasiswa dan Tenaga Kerja

SARDEIN: Petaka Tren Magang bagi Mahasiswa dan Tenaga Kerja

Penulis:

Maria Angela Koes Sarwendah

Kepala Divisi Diseminasi, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Lukas Andri Surya Singarimbun

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pada Jumat (9/6), PSPD UGM bersama Suryakanta Institute menyelenggarakan Sarasehan Demokrasi Ekonomi Indonesia (SARDEIN) dengan tema "Magang Mahasiswa di Tengah Pusaran Rezim Ketenagakerjaan Indonesia". Diskusi daring ini mengundang Nabiyla Risfa Izzati, S.H., LL.M.(Adv), selaku Akademisi/Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, untuk mendiskusikan fenomena magang di Indonesia dari kacamata hukum dan implikasinya terhadap kesejahteraan pekerja.

SARDEIN dipantik dengan penyampaian permasalahan kondisi regulasi magang mahasiswa Indonesia. Berangkat dari Peraturan Kementerian Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2020 (Permenaker 6/2020) tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri, Nabiyla menggarisbawahi keterbatasan ruang lingkup regulasi pelaksana UU Ketenagakerjaan tersebut dalam melindungi mahasiswa dari risiko eksploitasi. Permenaker 6/2020 yang ternyata hanya mengatur skema apprenticeship (pelatihan kerja lembaga) alih-alih internship (magang mahasiswa) membuka celah bagi beberapa perusahaan untuk memanfaatkan magang sebagai tameng politik pekerja murah. Celah demikian ada dikarenakan “apprenticeship” dan “internship” seringkali hanya diterjemahkan sebagai “magang” dalam Bahasa Indonesia sehingga terjadi pemaknaan konsep magang yang terlalu luas. Dampaknya, perusahaan berlomba-lomba membuka lowongan magang yang tidak lagi didasarkan pada motif edukasi, melainkan pada penghematan biaya tenaga kerja yang mengesampingkan hak mahasiswa.

Peningkatan jumlah lowongan magang yang pesat menjadikan magang sebagai parameter kualitas mahasiswa era kini dan norma penjamin peluang kerja setelah lulus. Selain menambah beban mahasiswa, normalisasi magang dipandang Nabiyla sebagai ancaman struktural terhadap keseimbangan jumlah tenaga kerja dengan ketersediaan lapangan kerja. Permasalahan seperti inilah yang menjadikan revisi Permenaker 6/2020 penting dilakukan untuk mengisi kekosongan perlindungan hukum Indonesia bagi mahasiswa dalam program magang. Lebih lanjut, mahasiswa juga dihimbau untuk lebih jeli dalam memilih program magang.

Diskusi disambung dengan sesi tanya-jawab dan sharing bersama peserta SARDEIN yang merasakan dampak tren magang mahasiswa terkini terhadap kesejahteraan pekerja di berbagai sektor, mulai dari jurnalistik, kesehatan, hingga pendidikan. Sejalannya tekanan yang dialami peserta SARDEIN dari beragam latar belakang ini semakin membuktikan urgensi perbaikan sistem ketenagakerjaan Indonesia saat ini. 

Saatnya UMKM #NaiKelas dengan Pengambilan Keputusan Berbasis Analisis Tren

Saatnya UMKM #NaiKelas dengan Pengambilan Keputusan Berbasis Analisis Tren

Penulis:

Mario Aden Bayu Valendo

Kepala Divisi Pembedayaan dan Kolaborasi Komunitas, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Rangkaian Bootcamp #NaiKelas: Mahir Data yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM dan Data Science Indonesia (DSI) Chapter Yogyakarta telah sampai pada pertemuan terakhir. Kelas diadakan pada Sabtu (27/5) dengan topik “Pengambilan Keputusan Bisnis Berbasis Tren Data”. Dalam pertemuan ini, hadir Salsabila Zahirah Pranida atau yang akrab disebut Ira dari DSI Chapter Yogyakarta sebagai pemateri. 

Pertemuan diawali dengan penjelasan Ira mengenai manfaat pengambilan keputusan melalui pola atau tren. Menurut Ira, analisis tren data memberikan empat manfaat krusial untuk mengambil keputusan bisnis. Pertama, meningkatkan ketepatan dalam pengambilan keputusan. Kedua, mengoptimalkan strategi pemasaran. Ketiga, memperkuat daya saing usaha. Keempat, mendorong adanya efisiensi dalam operasional usaha.

Selain itu, Ira juga menekankan tentang kerangka kerja pengambilan keputusan dengan mengintegrasikan penggunaan data. Kerangka kerja ini dapat disebut dengan APPASA (Ask, Prepare, Process, Analyze, Share, dan Act). Kerangka kerja ini membantu menyusun strategi yang terstruktur dalam proses pengambilan keputusan oleh pelaku UMKM dan komunitas masyarakat. 

Untuk mengukur ketercapaian rangkaian program, pertemuan ini diakhiri dengan uji evaluasi bagi seluruh peserta dengan menguji pemahaman peserta terkait empat materi pertemuan bootcamp. Materi tersebut meliputi: Cara memahami data digital, cara menganalisis data digital, cara menyajikan data digital, dan cara mengambil keputusan bisnis berbasis tren data. Setelah hasil uji evaluasi ini diolah, para peserta juga akan memperoleh sertifikat.