Pos oleh :

cwts

Dorong Ekonomi Sirkular, PSPD Lembagakan Konsorsium Ekonomi Sirkular Indonesia

Dorong Ekonomi Sirkular, PSPD Lembagakan Konsorsium Ekonomi Sirkular Indonesia

Penulis:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM menyelenggarakan pertemuan dengan anggota Konsorsium Ekonomi Sirkular Indonesia (KESI) pada Jumat, 3 Juni 2022. Kegiatan ini dimulai pada pukul 13.30 WIB dan dihadiri 5 (lima) komunitas yang bergerak di bidang ekonomi sirkular, yakni Rumah Inspirasi Jogja, Pusat Inovasi Agroteknologi UGM, Jaringan Masyarakat Budaya Nusantara, Forum Upcycle Indonesia, dan Gion Handicraft. KESI dibentuk untuk mendorong praktik ekonomi sirkular di Indonesia, salah satunya dengan membangun ekosistem bisnis berbasis ekonomi sirkular bagi para pelaku bisnis lokal yang mencakup pula UMKM. Setelah sempat tertunda karena pandemi, pertemuan kali ini digelar untuk menyepakati blueprint gambaran umum dan pelembagaan konsorsium yang meliputi penyusunan kepengurusan, mekanisme pendanaan, dan desain konsorsium.

Kegiatan ini diawali dengan sambutan dari Direktur PSPD UGM, Dr. Riza Noer Arfani. Dalam sambutannya, Dr. Riza menyampaikan harapannya untuk menjadikan Yogyakarta sebagai hub (pusat) ekonomi sirkular melalui konsorsium yang dibentuk. Selanjutnya, Iwan Wijono selaku ketua dari Forum Upcycle Indonesia turut memberikan kata sambutan pada pertemuan ini. Beliau menekankan mengenai pentingnya kesadaran atas hubungan manusia dengan alam di era pembangunan saat ini sehingga pembangunan dapat dilaksanakan dengan berkelanjutan.

Agenda penting dalam pertemuan kali ini adalah pembahasan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta disepakatinya berbagai hal mengenai kepengurusan konsorsium. Berdasarkan musyawarah anggota konsorsium, Josh Handani dari Rumah Inspirasi Jogja terpilih menjadi ketua KESI. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan struktur kelembagaan serta pendanaan konsorsium. 

Seluruh agenda dalam pertemuan ini berjalan dengan lancar dan mendapat sambutan baik dari seluruh anggota konsorsium. Dengan dukungan yang solid, KESI diharapkan dapat menjadi tonggak perkembangan ekonomi sirkular di Indonesia.

Tertunda 5 Tahun, Indonesia dan Peru Kembali Negosiasi Perjanjian Dagang

Tertunda 5 Tahun, Indonesia dan Peru Kembali Negosiasi Perjanjian Dagang

Penulis:

Raevita Andriessa

SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Setelah tertunda sejak tahun 2017, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag) secara resmi kembali melanjutkan negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) antara Indonesia-Peru. Dilansir dari IDN Financials, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Wakil Menteri Perdagangan Luar Negeri Peru Ana Cecilia Gervasi Díaz melangsungkan pertemuan secara khusus untuk segera memulai komunikasi dan bekerja sama agar negosiasi perdagangan Indonesia dan Peru dapat segera dilaksanakan. Pertemuan tersebut dilaksanakan di sela rangkaian pertemuan APEC 28th Minister Responsible For Trade (MRT) yang digelar pada 21 hingga 22 Mei 2022 di Bangkok, Thailand.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengungkapkan bahwa Perundingan Indonesia-Peru CEPA telah tertunda selama 5 tahun akibat pendekatan yang digunakan untuk negosiasi pada tahun 2017 lalu, dimana Menteri Perdagangan Luar Negeri dan Pariwisata Peru mengajak Indonesia untuk mulai menjalin kerja sama tersebut di akhir tahun 2017 setelah Amerika Serikat mundur dari Trans-Pacific Partnership (TPP). Langkah yang diambil pemerintah Peru tersebut dinilai cukup agresif dalam rangka pembangunan rencana kerja sama perdagangan bebas dengan Indonesia. 

Mundurnya Amerika Serikat dari TPP pada Senin (23/1/2017) kemudian merenggangkan hubungan mereka dengan negara-negara sekutu mereka di Asia yang memiliki koneksi erat dengan Tiongkok. Pada saat itu, Peru telah menjalin hubungan kerja sama perdagangan bebas dengan 15 negara dengan Tiongkok sebagai salah satu negara yang mulai terjalin hubungan diplomatiknya. Negosiasi kerja sama perdagangan antara Indonesia dan Peru memang sempat tertunda setelah peristiwa tersebut, tetapi kemudian berhasil berjalan kembali lima tahun kemudian di pertengahan tahun 2022 ini.

Kedua pemimpin negara melihat potensi yang dapat memberi manfaat positif dalam sektor perdagangan kedua belah pihak dengan komoditas unggulan yang dimiliki masing-masing negara. Komoditas utama yang ditawarkan Indonesia ke Peru misalnya seperti kendaraan bermotor, biodiesel, prangko tak terpakai, alas kaki, dan serat benang. Sementara itu, Peru aktif mengekspor biji kakao, pupuk, anggur, batu bara, dan seng mentah ke Indonesia. Untuk mempercepat tercapainya persetujuan kerja sama yang menguntungkan kedua belah pihak tersebut, mereka mempercepat langkah mereka untuk menyelesaikan kerangka kerja perjanjian mereka.

Pada kuartal pertama tahun 2022, total keuntungan yang diperoleh Indonesia dan Peru dalam sektor perdagangan bilateral adalah sebesar US$ 99 juta atau meningkat 18,84% dibandingkan kuartal pertama tahun lalu yang masih berkisar di angka US$ 83,30 juta. Sementara itu, di keseluruhan tahun 2021, total profit sektor Indonesia-Peru tercatat sebesar US$ 402,70 juta atau meningkat 61,8% dibandingkan 2020 yang tercatat sebesar US$ 248,82 juta. Aktivitas perdagangan internasional dengan Peru berhasil menghasilkan surplus sebesar US$ 234,21 juta bagi Indonesia pada tahun 2021, meningkat 142% dibandingkan tahun 2020.

Serba-Serbi Nikel Indonesia: Dari Kerjasama dengan Tesla hingga Status Produsen Tertinggi Dunia

Serba-Serbi Nikel Indonesia: Dari Kerjasama dengan Tesla hingga Status Produsen Tertinggi Dunia

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Akhir Mei lalu, Tesla dilaporkan telah menyetujui pembangunan pabrik baterai dan kendaraan listrik di Indonesia. Persetujuan ini terjadi setelah CEO Tesla, Elon Musk, bertemu dengan Presiden Joko Widodo di situs peluncuran SpaceX, Texas, Amerika Serikat pada pertengahan Mei 2022. Menteri Investasi Indonesia, Bahlil Lahadalia, pada 19 Mei 2022 mengatakan bahwa kesepakatan itu dilakukan tanpa memberikan terlalu banyak rincian. Beliau juga mengisyaratkan bahwa proyek itu kemungkinan akan dimulai pada tahun ini. Dalam kesepakatan tersebut, disebutkan bahwa Tesla setuju untuk membangun pabrik baterai dan kendaraan listrik di sebuah komplek industri di provinsi Jawa Tengah, tepatnya di Batang. 

Dinamika Kesepakatan Indonesia dengan Tesla 

Usulan terkait kesepakatan dalam pembangunan pabrik baterai litium antara Tesla dengan Pemerintah Indonesia mengalami tarik ulur selama kurang lebih dua tahun. Pada tahun 2020, Tesla tercatat berupaya untuk membujuk Pemerintah Indonesia. Namun, pada tahun tersebut, bujukan tersebut tidak menuai perkembangan. Alih-alih mendirikan pabrik di Indonesia, Tesla membanting setir dan memilih India untuk membangun pabrik otomotif berbasis listrik. Baru, pada Kamis (24/3/2022), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan, menyatakan bahwa pihak Tesla menghubunginya kembali untuk membangun pabrik baterai litium di Indonesia. 

Perjalanan panjang ini diwarnai oleh pasang surut. Pada 11 Desember 2020, CEO Tesla, Elon Musk, menanggapi undangan Presiden Joko Widodo untuk bertukar pandangan mengenai industri mobil listrik dan komponen utama baterai listrik melalui saluran virtual. Dalam perbincangan tersebut, Presiden Joko Widodo juga mengajak Tesla untuk melihat Indonesia sebagai lokasi launching pad SpaceX. Selain perbincangan tersebut, rupanya Pemerintah Indonesia dan tim Tesla telah menandatangani kesepakatan Non-Disclosure Agreement (NDA) yang dilakukan melalui saluran virtual pada Februari 2021. Namun, hasil dari perbincangan tersebut tidak diungkap ke publik dengan alasan kerahasiaan. Perbincangan dan kesepakatan tersebut pada akhirnya tidak mendapatkan hasil realisasi nyata. Untuk itu, kembalinya Tesla dengan tawaran kerjasama di Mei 2022 ini, Menko Luhut memperingatkan pihak Tesla untuk tidak mendikte Pemerintah Indonesia. 

Masifnya Produksi Nikel Indonesia 

Saat ini, Indonesia telah memiliki dua perusahaan produsen baterai kendaraan listrik yang bersedia memproduksi baterai litium di Indonesia. Kedua produsen tersebut ialah Contemporary Amperex Technology Co. ltd. (CATL) dan LG Chem. Keduanya diklaim sudah meng-cover lebih dari 50 (lima puluh) persen baterai litium dunia. Hal ini terjadi karena Indonesia diketahui menduduki posisi teratas sebagai produsen nikel terbesar di dunia, terutama pada tahun 2021. Dikutip dari Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, Indonesia memiliki 25 (dua puluh lima) persen cadangan nikel dunia. Bijih-bijih nikel tersebut ditambang di beberapa wilayah dengan 5 (lima) urutan teratasnya adalah Kabupaten Kolaka di Sulawesi Tenggara, Kabupaten Luwu Timur di Sulawesi Selatan, Kabupaten Morowali di Sulawesi Tengah, Kabupaten Halmahera Timur di Maluku Utara, dan Pulau Gag di Papua Barat. 

Kementerian ESDM mencatat produksi olahan nikel Indonesia mencapai 2,47 juta ton pada 2021. Angka ini naik 2,17 persen dibanding 2020 yang sebesar 2,41 juta ton. Tren produksi olahan nikel di Indonesia mengalami pertumbuhan setiap tahunnya dengan awal produksi olahan nikel hanya sebesar 927.900 ton pada 2018. Di sisi lain, kinerja ekspor dan impor di Maret 2022 berhasil menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah. Meningkatnya performa surplus Indonesia pada Maret 2022 didukung oleh kinerja ekspor yang terus menguat di tengah peningkatan harga berbagai komoditas andalan yang cukup signifikan.

Nilai Dolar Meningkat Tajam, Emas Mengalami Pemerosotan Harga

Nilai Dolar Meningkat Tajam, Emas Mengalami Pemerosotan Harga

Penulis:

Raevita Andriessa

SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pada hari Jumat pekan lalu, (13/5) pukul 06:36, harga emas dunia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pemerosotan ini terjadi setelah harga emas sempat mencapai puncaknya pada hari Selasa (8/3) dengan harga US$ 2052,4 per troy ons. Saat ini harga emas terpatok berada pada harga US$ 1.818,93 per troy ons, menurun sebanyak 0,15% dari harga sehari sebelumnya, yakni US$ 1.850,6 per troy ons. 

Harga tersebut merupakan hasil dari koreksi harga sebesar 3,4% yang terjadi sepekan sebelumnya pada Jumat (6/5), di mana harga emas masih berada di angka US$ 1882,9. Terlebih lagi, pelemahan harga emas akan semakin terlihat jelas bila membandingkan harga Jumat (13/5) dengan harga sebulan sebelumnya pada Selasa (12/4), yakni sebesar US$ 1966,5. Pada hari Rabu (13/4), harga emas masih berkisar di angka US$ 1977,7, 7,8% lebih tinggi dibandingkan harga pada Jumat (13/5). Hingga saat ini, harga emas bulan Mei masih stagnan di kisaran angka yang sama dan belum menunjukkan tanda-tanda akan mengalami pemulihan.

Good Returns menilai alasan utama di balik penurunan konstan harga emas berkaitan dengan penguatan Dolar Amerika Serikat. Hal ini disebabkan oleh kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve yang semakin menguat. Faktor utama dibalik menguatnya nilai Dolar Amerika Serikat adalah ekspektasi pasar akan kenaikan suku bunga sebesar 50 basis points pada Juni mendatang. Ekspektasi pasar yang tinggi akan kenaikan suku bunga disebabkan oleh angka inflasi yang masih tinggi pada April 2022 yang mencapai angka 8,3%, di mana angka tersebut jauh dari angka normalnya sebesar 2%. 

Dikutip dari Reuters, Bart Melek menyatakan bahwa The Federal Reserve dikhawatirkan akan terus menaikan suku bunga Dolar Amerika Serikat secara agresif yang dapat terus menurunkan harga emas. Problematika yang sama juga diutarakan oleh Edward Moya dari Oanda, di mana beliau secara eksplisit menyatakan bahwa penguatan Dolar Amerika Serikat membuat emas ada dalam zona bahaya. Dikhawatirkan harga emas akan dapat terus menurun hingga mencapai kisaran US$ 1.750 apabila harganya tidak dapat menembus angka US$ 1.800 di masa depan.

Terlepas harga emas yang belum kunjung menunjukkan perkembangan, harga emas masih berpotensi naik jika kondisi perekonomian global melemah. Dilansir dari CNBC, Ravindra Rao dari Kotak Securities menyatakan bahwa emas akan tetap menjadi aset pilihan masyarakat yang paling aman saat keadaan ekonomi memburuk. Beliau juga menyatakan bahwa harga emas kemungkinan tidak akan melonjak tajam kecuali Dolar Amerika Serikat melemah drastis, seperti apa yang terjadi pada Januari 2022 lalu.

Dilansir dari Kompas.com, pada akhir Januari 2022 harga emas sempat mengalami peningkatan akibat kondisi geopolitik yakni konflik antara Rusia dan Ukraina yang baru saja dimulai. Pada saat itu, kondisi geopolitik tersebut menyebabkan The Federal Reserve tidak menaikkan suku bunga acuan yang menyebabkan nilai Dolar Amerika Serikat menurun. Hal ini dapat meningkatkan minat masyarakat untuk berinvestasi pada emas dan mengangkat sentimen positif terhadap logam mulia, terutama emas.

Biden and Dominasi Ekonomi China di Indo-Pasifik

Biden and Dominasi Ekonomi China di Indo-Pasifik

Penulis :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pada Mei 2022 saat kunjungan kerja ke Jepang, Presiden Biden diperkirakan akan mengumumkan sebuah kerangka mekanisme kerja sama dengan negara-negara di wilayah Indo-Pasifik, Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Presiden Biden sebelumnya telah mengusulkan IPEF pada East Asia Summit pada tahun 2017 sebagai salah satu bentuk strategi untuk semakin meningkatkan kerja sama ekonomi dan perdagangan internasional dengan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik. Meski belum diumumkan secara rinci dan formal, dikutip dari pernyataan pemerintah Amerika Serikat, setidaknya terdapat empat pilar utama yang menjadi perhatian dalam kerangka kerja sama perdagangan IPEF yakni, perdagangan yang berkeadilan dan berkelanjutan, resiliensi rantai pasokan, infrastruktur, dekarbonisasi dan energi terbarukan, dan pajak dan anti-korupsi. Kebijakan ini menjadi penanda adanya pergeseran orientasi kebijakan terhadap negara-negara di wilayah di Indo-Pasifik yang sebelumnya banyak dilakukan dalam mekanisme kerja sama pertahanan dan keamanan.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), inklusivitas dari kerja sama ini penting bagi negara-negara terutama karena melibatkan berbagai negara termasuk yang sudah maju dan sedang berkembang untuk memberikan kesetaraan kesempatan perekonomian dan perdagangan terhadap semua negara yang ada di kawasan Indo-Pasifik yang juga berpotensi untuk mendukung kerja sama di regional yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, kerja sama ini tentunya akan juga didorong untuk melibatkan negara-negara seperti Australia, Jepang, Korea Selatan dan tentunya 10 negara anggota ASEAN untuk bergabung ke dalam kerja sama IPEF. Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga menyampaikan bahwa kerja sama IPEF ini juga bahkan diharapkan akan dapat mendukung mekanisme kerja sama sebelumnya yakni ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP).

Di samping meningkatkan kerja sama perdagangan dan ekonomi dalam bidang konvensional, kerja sama dalam mekanisme IPEF juga akan memberikan perhatian pada aspek kerja sama pengembangan ekonomi digital di kawasan. Hal ini tentunya memberikan kesempatan untuk memajukan perekonomian digital di kawasan yang memiliki potensi yang cukup besar. Kerja sama pengembangan ekonomi digital dengan negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Vietnam, Malaysia, Singapura dan Thailand dengan perkembangan ekonomi digital yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir dan potensi yang cukup besar untuk kedepannya dapat menjadi pintu masuk bagi Amerika Serikat dalam memperdalam kerja sama dengan negara-negara di kawasan.

Tandingan terhadap China di Indo-Pasifik

Setiap kebijakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir tampaknya tidak dapat dilepaskan dari kaitannya dengan perimbangan kekuatan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik, termasuk usulan kerangka kerja sama IPEF. Indo-Pasifik dalam beberapa tahun terakhir memang memiliki kecenderungan aspek perekonomian yang didominasi peran dari Tiongkok yang mulai sangat aktif dalam membuat perjanjian kerja sama seperti misalnya perjanjian kerja sama RCEP. Hal ini tentunya memberikan kekhawatiran tersendiri bagi Amerika Serikat terutama dalam konteks untuk mempertahankan pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik. Lebih lanjut, integrasi dan ketergantungan dari beberapa negara di kawasan Indo-Pasifik seperti negara-negara di ASEAN juga memberikan kekhawatiran tersendiri bagi Amerika Serikat terhadap aspek geoekonomi dan strategi di kawasan Indo-Pasifik.

Beberapa negara lain seperti Korea Selatan, Jepang dan Australia bukan hanya memiliki ketergantungan yang semakin meningkat dengan Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir tetapi juga telah bergabung ke dalam mekanisme kerja sama RCEP yang bagi beberapa pengamat dan analis politik luar negeri dianggap sebagai usaha perluasan pengaruh Tiongkok di kawasan melalui aspek ekonomi dan perdagangan internasional. Oleh karena itu, Amerika Serikat ingin membawa masuk Jepang, Korea Selatan dan Australia ke dalam mekanisme kerja sama IPEF untuk memberikan perimbangan pengaruh terutama dalam konteks kerja sama perdagangan dan ekonomi yang berasal dari Tiongkok. Dilansir dari South China Morning Post IPEF setidaknya dapat digunakan sebagai alternatif untuk menggantikan ketidakhadiran dalam regional Indo-Pasifik setelah Amerika Serikat meninggalkan TPP pada masa pemerintahan Donald Trump.

Pemerintah Tiongkok beranggapan, inisiasi kerjasama IPEF merupakan usaha untuk “memisahkan” Tiongkok dari mitra ekonomi di Indo-Pasifik. Menteri Luar Negeri Tiongkok menyampaikan bahwa IPEF merupakan bentuk dari “Mental Perang Dingin” yang masih ada sampai sekarang dalam pemikiran strategis kebijakan luar negeri Amerika Serikat terutama dalam melihat kerja sama regional.  

Lebih dari sekadar jargon

Dilansir dari South China Morning Post, bagi pemerintah di negara-negara kawasan Indo-Pasifik, kerja sama dalam mekanisme IPEF setidaknya harus memberikan insentif ekonomi yang lebih besar dari pada sekadar dukungan pengembangan ekonomi dan perdagangan dalam lingkup domestik saja. Alih-alih sebagai “jargon” yang menandakan bahwa Amerika Serikat hadir dalam konstelasi ekonomi di kawasan Indo-Pasifik, Amerika Serikat melalui mekanisme kerja sama ini dapat memberikan akses pasar yang lebih luas kepada negara-negara di Indo-Pasifik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh CSIS bahwa negara-negara di Indo-Pasifik memang memberikan kesan ketertarikan terhadap proposal yang diajukan Amerika Serikat dalam mekanisme kerja sama IPEF namun lebih daripada itu harapan terhadap akses pasar Amerika Serikat yang lebih luas akan memberikan kepercayaan dan insentif terhadap Amerika Serikat dalam kebijakannya melalui IPEF. Hal ini misalnya disampaikan oleh Perdana Menteri Vietnam, Pham Minh Chinh mengatakan pemerintah Vietnam bersedia mendukung implementasi kerja sama dari IPEF namun membutuhkan waktu untuk melakukan studi mendalam mengenai potensi dari kerja sama tersebut.

Kejelasan mengenai mekanisme kerja sama IPEF yang menjadi pembeda dengan mekanisme kerja sama lain juga akan memberikan kesan positif terhadap Amerika Serikat di kawasan Indo-Pasifik. Kejelasan terhadap keuntungan dan insentif yang akan didapatkan oleh negara-negara di Indo-Pasifik seperti akses pasar dan kemudahan perdagangan kemudian akan memberikan kesan bahwa strategi IPEF tidak hanya semata-mata digunakan sebagai mekanisme perimbangan kekuatan ekonomi dan pengaruh di kawasan Indo-Pasifik namun juga memberikan kesan komitmen Amerika Serikat dalam mendukung perkembangan perekonomian terutama di negara-negara berkembang.

Proposal Tiongkok Untuk Bergabung CPTPP: Antara Kerja Sama Ekonomi dan Kalkulasi Perimbangan Kekuatan

Proposal Tiongkok Untuk Bergabung CPTPP: Antara Kerja Sama Ekonomi dan Kalkulasi Perimbangan Kekuatan

Penulis :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pada 16 September 2021, Tiongkok resmi mengajukan proposal untuk menjadi anggota dari Comprehensive and Progressive Agreement for Trans Pacific Partnership (CPTPP), sebuah forum kerja sama regional perdagangan yang terdiri dari 11 negara yang disepakati pada tahun 2018. Hal ini cukup mengejutkan banyak pihak pasalnya Beijing mengajukan proposal untuk menjadi anggota CPTPP pada saat persaingan geopolitik terutama dengan Amerika Serikat sedang memanas  dimana kerja sama regional tersebut  pada dasarnya dibentuk untuk membendung perkembangan dominasi Tiongkok dalam ekonomi dunia yang dalam beberapa tahun terakhir berkembang dengan pesat. Proses pengajuan menjadi anggota ini, terlepas dari akan diterima atau tidak oleh anggota CPTPP, menunjukkan semakin jelasnya persaingan geo-ekonomi di dunia terutama antara Beijing dan Washington di wilayah Indo-Pasifik melalui forum perdagangan internasional. Meskipun terdapat potensi ekonomi dan perdagangan yang besar jika Tiongkok bergabung dengan CPTPP, persaingan politik yang berkaitan dengan perimbangan kekuatan antara Amerika Serikat dan Tiongkok tidak dapat luput dan bahkan mendominasi perdebatan aksesi Tiongkok ke dalam CPTPP.

CPTPP merupakan suksesi forum kerja sama ekonomi yang banyak ketentuannya digagas oleh Amerika Serikat sebelumnya dalam TPP (Trans-Pacific Partnership). TPP bukan hanya bertujuan mempermudah perdagangan negara-negara yang tergabung di dalamnya namun juga untuk meningkatkan kepemimpinan Amerika Serikat di Asia dan melakukan perimbangan kekuatan terhadap Tiongkok dalam sektor ekonomi dan perdagangan internasional. Pada saat yang bersamaan, Tiongkok dengan beberapa negara Asia dan semua negara anggota ASEAN sedang mengadakan perundingan RCEP (Regional Comprehensive Economy Partnership), perjanjian perdagangan regional yang disamping melibatkan semua negara ASEAN juga melibatkan Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru, yang akhirnya disepakati pada November 2020 dan efektif pada Januari 2022. Bagi kebanyakan pengamat politik luar negeri Amerika Serikat, TPP merupakan langkah yang positif bagi Amerika Serikat terutama untuk meningkatkan kehadirannya di tengah peran Tiongkok yang semakin masif terutama di sektor perdagangan kawasan Asia-Pasifik.

Meski Amerika Serikat merupakan negara yang menggagas perundingan perjanjian kerja sama TPP pada masa Presiden Obama, pemerintahan selanjutnya dalam masa Presiden Donald Trump dengan pendekatan “American First” secara formal kemudian meninggalkan proses perundingan dan kesepakatan dalam TPP. Alasan tidak terlalu menguntungkan dan terlalu membebani bagi masyarakat Amerika Serikat menjadi pendorong utama bagi Presiden Trump untuk menarik keikutsertaan di dalam TPP (Narine, 2018). Meski kehilangan salah satu penggagas dan mitra ekonomi terbesar dalam forum kerja sama tersebut, negara-negara yang telah bergabung dalam TPP tetap melanjutkan negosiasi dan akhirnya menyepakati forum kerja sama CPTPP. Dalam perkembangannya, ada beberapa negara yang juga ingin bergabung ke dalam CPTPP seperti Tiongkok, Inggris dan juga Taiwan.

Beijing, setelah kesuksesan dalam negosiasi RCEP, memiliki visi untuk terus menegaskan kehadirannya di kerja sama perdagangan lainnya yang salah satunya adalah CPTPP. Pemerintah Tiongkok resmi mengajukan proposal untuk masuk ke dalam CPTPP, tepat sehari setelah kesepakatan AUKUS (Australia, United Kingdom and United States) diumumkan. Masuknya Tiongkok ke dalam kerja sama regional CPTPP setelah bergabung dengan RCEP memberikan keuntungan bagi Tiongkok terutama untuk mereduksi dampak negatif dari adanya perang dagang yang terus berlangsung antara Tiongkok dan juga Amerika Serikat dan meningkatkan pengaruhnya dalam perdagangan internasional.   

Respon terhadap proposal keanggotaan Tiongkok menjadi sangat beragam, dari berbagai pandangan positif bahwa akan adanya perluasan pasar hingga pandangan skeptis tentang keanggotaan Tiongkok dalam CPTPP. Pandangan positif disampaikan oleh Singapura dan Malaysia yang berkeyakinan bahwa Tiongkok akan membawa kontribusi positif terhadap CPTPP terutama pada konteks perluasan pasar sama seperti saat Tiongkok bergabung dengan WTO. Sementara di sisi lain beberapa negara yang memandang skeptis, seperti Australia dan Jepang memandang bahwa Tiongkok, dengan peran negara yang cukup kuat dalam aktivitas ekonomi dan bisnis, menilai sulit untuk mendapatkan persetujuan dari negara-negara yang telah lebih dulu bergabung di dalam CPTPP.

Usaha Tiongkok untuk masuk ke dalam kerja sama CPTPP menunjukkan adanya keinginan dari Tiongkok untuk mengambil peran yang lebih besar di dalam perekonomian dunia dengan bergabung ke dalam banyak forum kerja sama internasional terutama yang melibatkan aspek perdagangan dan investasi. Alih-alih sekadar berkeinginan menjadi ekonomi terbesar di dunia, Tiongkok berusaha memainkan pengaruh dan perannya dalam aspek yang lebih luas. Sejak bergabung dengan WTO pada tahun 2001, Tiongkok semakin menunjukkan kemampuan dan partisipasi ekonomi yang semakin aktif dalam perdagangan internasional. Bahkan bagi beberapa pengamat, Tiongkok berpotensi mengubah lanskap perdagangan internasional yang selama ini banyak terlalu didikte oleh pengaruh Amerika Serikat dan negara-negara Barat (Akita, 2021).

Kekhawatiran utilisasi ketergantungan ekonomi dari banyak negara terhadap Tiongkok cukup beralasan karena dalam beberapa dekade terakhir kapabilitas ekonomi yang dimiliki Tiongkok telah melampaui negara-negara lain di dunia, termasuk Amerika Serikat. Aksesi Tiongkok ke dalam berbagai perjanjian internasional seperti CPTPP dan RCEP menjadikan Tiongkok memiliki nilai daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat yang dalam beberapa tahun terakhir memilih untuk tidak terlalu terlibat dalam berbagai perjanjian kerja sama regional. Apabila keberhasilan Tiongkok untuk bergabung dengan CPTPP juga dapat menggambarkan adanya kemenangan simbolis dari Amerika Serikat dengan mengambil peran yang lebih besar (Hopewell, 2021).  Bukan tidak mungkin bahwa Tiongkok dalam waktu dekat akan memperoleh peran yang lebih atau bahkan menjadi pemimpin dari rezim perdagangan internasional yang didukung bukan hanya dengan percepatan ekonominya namun juga dengan peran yang semakin terlihat dalam setiap forum kerja sama multilateral baik regional maupun internasional.

Meskipun dapat memenuhi ketentuan untuk menjadi anggota yang diajukan oleh pihak dari CPTPP, sebagian pengamat berpandangan bahwa Tiongkok akan kesulitan untuk bergabung dengan CPTPP (Solís, 2021). Politisasi yang kerap dilakukan Tiongkok dalam sektor ekonomi demi mencapai kepentingan nasional dalam aspek yang terkadang tidak berkaitan dengan ekonomi juga memberikan kekhawatiran tersendiri bagi negara-negara yang telah bergabung dengan CPTPP sebelumnya. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan adanya sanksi bagi Australia dalam hal barang-barang ekspor karena memberikan dukungan terhadap Amerika Serikat dalam mengungkap asal dari virus COVID-19. Utilisasi strategis keterikatan perdagangan dengan Tiongkok karenanya memberikan kekhawatiran tersendiri bagi beberapa negara-negara di dalam CPTPP, bahkan pada saat akses ke Tiongkok menguntungkan perdagangan ketika bergabung dengan CPTPP. Menjadi kekhawatiran tersendiri bagi beberapa negara dengan peningkatan ketergantungan ekonomi dan perdagangan dengan China. Ketergantungan ekonomi dengan Tiongkok akan semakin menurunkan nilai daya tawar dari beberapa negara yang menjadi sekutu dekat dari Amerika Serikat

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Peterson Institute for International Economics, pada tahun 2030, kerja sama dalam CPTPP akan memberikan keuntungan sebesar 147 miliar US$ setiap tahunnya dan akan menjadi 617 miliar US$ jika Tiongkok dapat bergabung di dalam CPTPP (Petri & Plummer, 2019) Lebih lanjut, bergabungnya Tiongkok dalam CPTPP akan menjadikan CPTPP sebagai kesepakatan perjanjian kerja sama perdagangan yang sedikit lebih besar pangsa pasarnya daripada RCEP. Akses pasar dan kemudahan perdagangan dengan Tiongkok dapat meningkatkan efisiensi biaya dalam kerja sama perdagangan CPTPP.

Di tengah potensi ekonomi yang cukup besar baik bagi Tiongkok maupun negara-negara anggota CPTPP lainnya, akan sulit bagi Tiongkok untuk bergabung dengan melihat relasi Beijing dengan Tokyo, Canberra, dan Ottawa yang dalam beberapa tahun terakhir semakin tidak bersahabat. Setidaknya, ketiga negara tersebut akan memberikan perhatian yang lebih terutama ketika Beijing menggunakan aspek perdagangan dalam mencapai kepentingan nasional di aspek yang lainnya seperti keamanan dan geopolitik.

Menarik kemudian untuk melihat proses masuknya Tiongkok ke dalam CPTPP dalam beberapa tahun mendatangJelas dari aspek perdagangan internasional, aksesi Tiongkok masuk ke dalam CPTPP menjadi peluang yang sangat penting terutama untuk memperluas pasar dalam perjanjian kerja sama. Namun pada saat yang bersamaan, proses masuknya Tiongkok ke dalam CPTPP tidak juga terlepas dari adanya faktor ketegangan antara beberapa negara Barat dan Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir terutama yang memiliki kedekatan dengan Amerika Serikat.  

Oleh karena itu, alih-alih memperhatikan aspek keuntungan dari ekonomi dan perdagangan internasional, diskusi dan pembahasan proposal Tiongkok terhadap keanggotaan di CPTPP berkisar di seputaran persaingan politik dan perimbangan kekuatan serta persaingan antara negara-negara yang memiliki kedekatan dengan Amerika Serikat vis-à-vis Tiongkok. Dominasi kalkulasi strategis perimbangan kekuatan dari berbagai negara lebih jelas daripada kalkulasi potensi kerja sama ekonomi terutama untuk mendapatkan keuntungan dari bergabungnya Tiongkok ke dalam CPTPP.

Referensi 

Akita, H. (2021, October 30). Can the CPTPP change China, or will Tiongkok change it? Nikkei Asia.https://asia.nikkei.com/Spotlight/Comment/Can-the-CPTPP-change-China-or-will-China-change-it 

Hopewell, K. (2021, September 27). Analysis | Would China’s move to join this transpacific trade pact push the U.S. to rejoin? It’s complicated. Washington Post. 

Jiang, H., & Yu, M. (2021). Understanding RCEP and CPTPP: From the perspective China’s dual circulation economic strategy. Tiongkok Economic Journal, 14(2), 144–161. https://doi.org/10.1080/17538963.2021.1933055 

Narine, S. (2018). US Domestic Politics and America’s Withdrawal from the Trans-Pacific Partnership: Implications for Southeast Asia. Contemporary Southeast Asia, 40(1), 50–76.

Petri, P. A., & Plummer, M. G. (2019, January 30). China Should Join the New Trans-Pacific Partnership. PIIE. https://www.piie.com/publications/policy-briefs/china-should-join-new-trans-pacific-partnership 

Solís, M. (2021, September 23). China moves to join the CPTPP, but don’t expect a fast pass. Brookings.https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2021/09/23/china-moves-to-join-the-cptpp-but-dont-expect-a-fast-pass/ 

Pererat Tali Silaturahmi, PSPD UGM Gelar Buka Bersama

Pererat Tali Silaturahmi, PSPD UGM Gelar Buka Bersama

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Momen Ramadhan tahun ini dimanfaatkan oleh Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM untuk mempererat silaturahmi dengan menggelar acara buka bersama. Berlokasi di kantor PSPD UGM, acara yang diselenggarakan pada Sabtu (23/4/22) dihadiri oleh para pengelola dan pemagang PSPD UGM yang berjumlah 30 orang. Acara dimulai pada pukul 17.00 WIB dan dibuka dengan sambutan Dr. Riza Noer Arfani selaku Direktur Utama PSPD UGM. 

Acara buka bersama dilanjutkan dengan perkenalan dewan direksi dan masing-masing anggota divisi. Dewan direksi PSPD UGM yang turut hadir dalam kesempatan tersebut yakni, Rizky Alif Alvian, MIR. selaku Koordinator Divisi Jurnal dan Publikasi PSPD UGM, Raras Cahyafitri M.Sc. selaku Koordinator Divisi Riset PSPD UGM, Agustinus Moruk Taek, MA. selaku Koordinator Divisi Kemitraan Kebijakan PSPD UGM, Dr. Siti Arifah Purnamasari M.Si. selaku Koordinator Divisi Pelatihan PSPD UGM, serta Maria Angela Koas Sarwendah S.IP. selaku Koordinator Divisi Diseminasi PSPD UGM. Pada akhir sesi perkenalan, Bapak Riza memberikan ulasan singkat terkait sejarah pendirian PSPD UGM. 

Acara buka bersama berlangsung khidmat dan hangat ditemani dengan berbagai sajian nikmat. Dalam acara tersebut, PSPD UGM konsisten untuk menginternalisasikan fokus-fokus kajiannya, salah satunya yakni menerapkan prinsip ekonomi sirkular dengan tidak menggunakan tempat makan yang terbuat dari plastik. Harapannya aksi ini turut berkontribusi untuk mengurangi limbah kemasan plastik di lingkungan sekitar. 

Acara dilanjutkan dengan kegiatan yang merekatkan keakraban para pengelola dan pemagang PSPD UGM. Sempat lama tidak bertatap muka karena pandemi Covid-19, para pengelola dan anggota magang saling berkenalan dan bertukar cerita. Dalam kegiatan ini, setiap anggota PSPD UGM berbaur dan saling mengenal. Acara buka bersama internal PSPD UGM diakhiri pada pukul 20.00 WIB. Harapannya kegiatan ini dapat meningkatkan kekeluargaan antar para pengelola dan pemagang PSPD UGM serta menginisiasi dilaksanakannya kegiatan lain yang dapat memperkuat kebersamaan internal PSPD UGM.

Strategi Pemulihan Ekonomi Berbagai Negara Semasa Pandemi

Strategi Pemulihan Ekonomi Berbagai Negara Semasa Pandemi

Penulis:

Raevita Andriessa

SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan banyak keterbatasan dalam segala aspek kehidupan  termasuk ekonomi yang dapat mengancam kesejahteraan masyarakat. Peraturan pembatasan sosial yang terjadi di seluruh dunia menyebabkan banyak masyarakat yang mengalami pemberhentian paksa dari pekerjaan mereka. ACT News merangkum pernyataan dari International Labor Organization (ILO), di mana tingkat pengangguran global telah mencapai 207 juta orang pada tahun 2022. Jumlah ini meningkat cukup tajam dari tahun 2019 sebelum pandemi, yakni sebanyak 186 juta orang.

Peningkatan jumlah pengangguran ini tentunya menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, sehingga banyak perusahaan berpotensi mengalami penurunan laba dan terancam mengalami kebangkrutan. Peristiwa gulung tikar besar-besaran oleh banyak perusahaan di seluruh dunia telah menghambat pertumbuhan ekonomi global hingga menyebabkan kerugian yang tak sedikit. Menurut Bisnis.com, International Monetary Fund (IMF) menaksir kerugian ekonomi global akan mencapai USD 12,5 triliun atau IDR 178.750 triliun dan akan terus bertambah hingga tahun 2024. World Bank juga menyebutkan bahwa kegiatan ekonomi mengalami penyusutan pada tahun 2020 hingga 7% pada negara maju dan 2,5% pada negara berkembang, diikuti dengan pendapatan perkapita masyarakat dunia yang menurun hingga 3,6%.

Dalam menanggapi situasi perekonomian negara yang kian memburuk, tentunya pemerintahan suatu negara harus segera merancang strategi yang dapat menstabilkan kondisi ekonomi. Dua tahun berjalan sejak awal pandemi Covid-19 melanda dunia, banyak negara yang telah menerapkan strategi yang berhasil membalikkan keadaan perekonomian mereka secara perlahan. Selanjutnya, artikel ini akan merangkum strategi-strategi untuk meningkatkan stabilitas perekonomian yang umum dari berbagai negara.

Membangkitkan Perekonomian Digital

Peraturan pembatasan sosial yang berlangsung selama pandemi Covid-19 membuat masyarakat tak lagi dapat melakukan aktivitas perekonomian seperti sediakala. Keterlibatan teknologi digital  semakin meningkat untuk menjaga aktivitas perekonomian tetap berjalan tanpa harus memerlukan tatap muka, dan e-commerce merupakan salah satunya. Penggunaan platform e-commerce pun kian populer di berbagai negara dalam rangka membangkitkan perekonomian global secara perlahan tapi pasti.

Dikutip dari situs resmi United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Sekretaris Jenderal UNCTAD menyatakan bahwa bisnis-bisnis yang bergerak di ranah digital telah banyak berkontribusi dalam menyelamatkan perekonomian dunia di masa pandemi. Mengkonfirmasi fakta tersebut, UNCTAD mencatat transaksi-transaksi yang ada di dalam e-commerce telah meningkatkan pangsa e-commerce dari perdagangan ritel global dari 14% pada 2019 menjadi sekitar 17% pada 2020 setelah pandemi Covid-19. Fakta ini juga menunjukkan popularitas penggunaan e-commerce yang kian meningkat dengan adanya perubahan perilaku konsumen yang disebabkan oleh paparan teknologi digital semasa pandemi.

Popularitas ini dibuktikan oleh capaian transaksi yang signifikan yang diperoleh perusahaan-perusahaan e-commerce selama masa pandemi, baik dari negara maju maupun negara berkembang. Sebagai contoh, Mercado Libre, e-commerce asal Amerika Latin melaporkan penjualan barang yang meningkat sebanyak dua kali lipat per harinya pada kuartal kedua tahun 2020 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Dilansir dari Retail.com, Korea Selatan saat ini merupakan negara dengan perekonomian digital yang paling berkembang pesat dengan jumlah keuntungan sebesar USD 160 milyar atau setara dengan IDR 2,214 triliun pada awal tahun 2022. Sementara itu, perekonomian digital di Indonesia juga diprediksi akan meningkatkan kontribusi sebesar 18,87% pada produk domestik bruto nasional pada tahun 2030.

Adanya kemajuan industri e-commerce di seluruh dunia saat ini memang belum mampu langsung mengembalikan keadaan perekonomian dunia seperti sediakala. Akan tetapi kontribusi dari aktivitas transaksi melalui e-commerce terhadap perkembangan perekonomian dunia tidak dapat disepelekan. Berdasarkan situs web resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa, penjualan e-commerce global melonjak menjadi $26,7 triliun pada 2019, naik empat persen dari tahun sebelumnya. Angka yang diperoleh tersebut tidak hanya termasuk keuntungan dari transaksi pada konsumen, tetapi juga perdagangan “business-to-business” (B2B), yang jika digabungkan bernilai 30% dari produk domestik bruto global.

Kebijakan Pemberdayaan UMKM

Peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara tentu saja tidak dapat dikesampingkan. Hal ini disampaikan oleh Wakil Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam pidatonya yang menyoroti pentingnya respons global untuk segera merumuskan kebijakan untuk mengurangi dampak pandemi Covid-19 pada UMKM negara masing-masing. Dalam pidato tersebut dijelaskan bahwa UMKM adalah tulang punggung perekonomian negara dan setiap negara memiliki tanggung jawab untuk menumbuhkan lingkungan perdagangan global yang mendukung dan meningkatkan keterlibatan UMKM dalam perdagangan internasional.

Jepang merupakan salah satu dari negara yang cepat tanggap dalam memberdayakan UMKM selama masa pandemi. Dilansir dari Reuters, terhitung sejak 23 Maret 2021, pemerintah Jepang mulai mengintensifkan permodalan terhadap UMKM yang terdampak oleh pandemi Covid-19. Dalam kebijakan barunya, pemerintah menurunkan suku bunga pinjaman untuk para pelaku UMKM, yakni sebesar maksimal 1%. Adanya kebijakan ini memudahkan para pemilik UMKM untuk mengakses modal dengan resiko kebangkrutan yang relatif lebih rendah. 

Sementara itu, dalam konteks dalam negeri, Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat bergantung pada keberadaan UMKM dalam perekonomiannya. Sebab, 99,92% usaha dalam keseluruhan sektor usaha yang ada di dalam perekonomian Indonesia berada dalam kategori UMKM. Dilansir dari situs web resmi Kemenko Perekonomian, pemerintah Indonesia  mengadakan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sejak tahun 2020 dengan jangkauan program sebanyak 30 juta unit UMKM di Indonesia. Program ini juga terbukti telah memperluas lapangan kerja di Indonesia sebanyak 4,55 juta orang seiring dengan bertambahnya 760 ribu orang yang membuka usaha.

Pembangunan Kerjasama Antar Negara

Dalam kondisi pandemi Covid-19, negara-negara juga harus menjaga kualitas diplomatik dengan negara-negara lain, salah satu caranya adalah dengan membangun kerjasama dalam bidang ekonomi. Hal ini diperlukan untuk saling bertukar benefit yang dimiliki oleh negara masing-masing dalam rangka untuk saling dukung dalam aktivitas perekonomian. Strategi ini merupakan salah satu strategi yang seringkali digunakan oleh negara-negara berkembang sebagai respon atas memburuknya kondisi ekonomi akibat pandemi Covid-19. 

Kesulitan ekonomi yang semakin terasa akibat adanya pandemi Covid-19 pada akhirnya mendorong negara-negara Afrika untuk membuka Area Perdagangan Bebas Benua Afrika (AfCFTA) pada awal Januari 2021 lalu. Mengutip situs web resmi PBB, perjanjian ini dibuat untuk melonggarkan batasan-batasan dari perdagangan dalam benua Afrika yang bertujuan untuk meningkatkan intensitas perdagangan intra-Afrika, meningkatkan kualitas industri, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan daya saing perdagangan Afrika di panggung global. Sekretaris Jenderal AfCFTA mengungkapkan bahwa adanya program ini diharapkan dapat mengurangi angka kemiskinan yang dialami oleh lebih dari 30 juta orang di seluruh Afrika dan meningkatkan kualitas hidup dari pelaku ekonomi benua Afrika.

Sementara itu dilansir dari Kompas.com, negara-negara ASEAN telah berencana melakukan integrasi digital untuk mendukung aktivitas perdagangan dalam kawasan tersebut sejak akhir tahun 2020. Integrasi digital yang akan dilakukan akan berupa pertukaran data untuk memandu penyusunan kebijakan dan pelayanan publik, serta melalui penyediaan beragam solusi digital untuk tujuan membangun resiliensi dalam sektor ekonomi di masa pandemi Covid-19. Adanya integrasi digital di kawasan ASEAN diharapkan untuk mampu membantu memulihkan kondisi ekonomi di negara-negara ASEAN dan meningkatkan GDP di tiap negara hingga USD 1 triliun pada tahun 2025.

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan nyaris seluruh negara mengalami kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh terbatasnya mobilitas manusia dalam melakukan segala jenis aktivitas. Oleh sebab itu, negara-negara dituntut untuk menjadi kreatif dalam menyusun strategi pemulihan ekonomi negara mereka. Dengan adanya upaya ini, perekonomian dunia diharapkan untuk bangkit kembali secara perlahan agar dapat kembali pulih sebagaimana keadaan sebelum pandemi Covid-19 menyerang.

Ekonomi Sirkular sebagai Jalan Keluar Alternatif Permasalahan Limbah Plastik di Laut

Ekonomi Sirkular sebagai Jalan Keluar Alternatif Permasalahan Limbah Plastik di Laut

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Di abad ke-21 ini, kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari penggunaan plastik. Alhasil, tumpukan limbah plastik menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan manusia karena potensi ancaman pencemaran lingkungan dan lautan. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) mencatat bahwa terdapat 11 juta metrik ton limbah plastik dibuang ke lautan setiap tahun dan angka tersebut mencatat pertambahan tiga kali lipat hanya dalam dua dekade terakhir. Krisis lingkungan hidup sebagai akibat dari penumpukan limbah plastik mendorong pemimpin-pemimpin negara untuk mengeluarkan kebijakan terkait pengontrolan plastik kepada empunya bisnis terkait plastik. Namun, perlu tindakan holistik dan kolaboratif untuk mencapai tujuan mengurangi pencemaran sampah plastik di laut. Sejumlah pemerhati lingkungan dunia menyebutkan bahwa diperlukan pendekatan bisnis yang komprehensif untuk menangkal masalah ini.

Tak terkecuali Asia Tenggara, area ini disinyalir menjadi salah satu lokasi pemasok limbah plastik berjumlah besar ke lautan di seluruh dunia. Berangkat dari permasalahan tersebut, Asian Development Bank (ADB) mengadakan forum lingkungan yang membahas peran penting ekonomi sirkular sebagai salah satu jalan keluar alternatif untuk menangani permasalahan limbah plastik di laut. Pembahasan tersebut tertuju pada aktivitas yang antara lain digagas Koinpack, sebuah sistem berbasis teknologi yang berpusat di Indonesia. Teknologi yang digagas Koinpack memungkinkan pengemasan dilakukan berkali-kali sehingga dapat menekan penggunaan plastik berujung jadi limbah. Selain berpengaruh secara signifikan bagi kesadaran penggunaan plastik di wilayah Indonesia, Koinpack berhasil mempengaruhi adanya inisiatif serupa di Singapura yang dinamakan kampanye Barepack yang bekerja sama dengan layanan pesan antar. 

Selain upaya-upaya tersebut, ADB juga memberikan dukungan untuk menangani limbah plastik dengan berinvestasi di Indorama Ventures Public Company Limited (IVL) yang berfokus pada peningkatan kapasitas pabrik daur ulang plastik polietilen tereftalat (PET) di Indonesia dan tiga negara ASEAN lain serta pencapaian komitmen perusahaan untuk mendaur ulang minimal 750.000 metrik ton botol kepada konsumen di 2025. Di sisi lain, ADB juga turut mendorong sektor-sektor publik dan pemangku kebijakan untuk mengeluarkan regulasi yang berorientasi lingkungan dan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi sirkular dalam kaitannya pada pengendalian produksi plastik dan pendaur ulangan limbah plastik.

Industri Kakao di Indonesia: Pudarnya Identitas Sebagai Penghasil Kakao Terbesar di Dunia

Industri Kakao di Indonesia: Pudarnya Identitas Sebagai Penghasil Kakao Terbesar di Dunia

Penulis:

Raevita Andriessa

SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Tanaman kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki prospek menjanjikan untuk negara-negara beriklim tropis seperti Indonesia. Berdasarkan data yang terpublikasi dalam Databoks, Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia pada tahun 2020 setelah Pantai Gading dan Ghana, disusul dengan Nigeria dan Kamerun di posisi ke-4 dan ke-5. Peringkat ini menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara dari Asia Tenggara dan di luar benua Afrika yang termasuk dalam kelima negara produsen cokelat terbesar di dunia. Pada tahun tersebut, produksi kakao di Indonesia telah mencapai 659,7 ribu ton dengan Pulau Sulawesi sebagai penyumbang tanaman kakao terbesar Indonesia yang mencapai 75% dari total produksi kakao Indonesia yakni 128,2 ribu ton.

Seperti yang dipaparkan Indonesia Investments, salah satu faktor yang mengantar Indonesia untuk menduduki posisi sebagai salah satu produsen terbesar kakao di dunia adalah ambisi pemerintah melakukan program revitalisasi untuk menggenjot produksi kakao pada tahun 2009. Program yang ditargetkan dalam jangka waktu lima tahun tersebut telah berhasil meningkatkan produksi kakao Indonesia secara drastis melalui kegiatan intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan tanaman kakao. Pada masa itu, pemerintah Indonesia juga telah berhasil memperluas lahan produksi kakao di seluruh Indonesia dengan luas total 450 ribu hektar.

Dengan tingginya angka produksi kakao pada tahun tersebut, Indonesia juga melakukan aktivitas ekspor kakao ke luar negeri. Berdasarkan Databoks, aktivitas ekspor kakao di Indonesia telah mencapai angka 358,48 ribu ton dengan nilai sebesar USD 1,2 miliar atau setara dengan IDR 17,2 triliun. Dari total jumlah ekspor kakao tersebut, Malaysia menjadi negara dengan importir kakao Indonesia terbesar dengan jumlah sebanyak 80,59 ribu ton atau 22,48% dari total ekspor dengan nilai USD 172,58 juta. Selanjutnya, Amerika Serikat menempati peringkat kedua importir kakao Indonesia sebanyak 17,23% dari total ekspor, disusul dengan ekspor kakao ke Tiongkok yang mencapai 6,58% dari total ekspor. Menurut Ipotnews, pada tahun 2019, keuntungan yang diperoleh dari aktivitas ekspor kakao Indonesia telah menyumbang devisa negara Indonesia sebesar USD 1,13 miliar atau setara dengan IDR 16,3 triliun.

Dilansir dari CNBC Indonesia, Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa Indonesia melakukan ekspor produk olahan kakao seperti pasta kakao, minyak kakao, dan bubuk kakao. Adapun jumlah ekspor kakao Indonesia dalam bentuk biji sebesar 6,1% dan sisanya 93,9% dalam bentuk olahan. Sementara itu, produk-produk olahan kakao hanya diekspor untuk memenuhi kebutuhan produksi merek-merek cokelat siap konsumsi di luar negeri. Akibatnya, hasil-hasil produksi kakao Indonesia nyaris tak terlihat dan tersamarkan oleh pamor perusahaan cokelat siap konsumsi di luar negeri.

Kebijakan Bea Keluar Terhadap Biji Kakao

Pada tahun 2010, pemerintah telah memberlakukan Bea Keluar (BK) terhadap ekspor biji kakao dalam PMK No.67/PMK.011/2010 yang berlaku sejak tanggal 1 April 2010. Dengan adanya kebijakan ini, eksportir kakao dari dalam negeri akan dikenakan biaya setiap kali mereka akan mendistribusikan biji kakao mentah ke luar negeri untuk mengontrol intensitas aktivitas ekspor biji kakao agar persediaan biji kakao di dalam negeri tetap terpenuhi. Berdasarkan kebijakan tersebut, besaran bea keluar kakao diterapkan sebesar 5% hingga 15%. Namun demikian, sebagaimana dikutip dari Kontan, seiring berjalannya waktu, penerapan kebijakan bea keluar terhadap Biji Kakao mengalami dinamika khususnya terkait penyesuaian tarif yang sempat direncanakan untuk dinaikkan di angka 10% hingga 30% sebagai respon dari kurangnya persediaan kakao di Indonesia akibat kegiatan ekspor kakao yang berlebih. 

Dalam perkembangannya kebijakan tersebut menuai berbagai pro dan kontra.  Klaim yang ada pada saat kebijakan BK biji kakao tersebut berlaku adalah kebijakan ini dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan baku industri di dalam negeri dan menyeimbangkan daya saing industri kakao. Selain itu dari sisi pemerintah, kebijakan bea keluar ini dimaksudkan untuk menambah persediaan kakao di Indonesia yang setiap tahunnya mengalami defisit sebesar 300 ribu ton. Sebuah penelitian mengungkapkan fakta bahwa, pemberlakuan BK atas ekspor kakao pada tahun 2010 membuat volume ekspor kakao mentah mengalami penurunan dan relatif konstan disebabkan oleh mulai meningkatnya ekspor produk olahan kakao setengah jadi setelah pemberlakuan bea keluar terhadap biji kakao. Kebijakan BK dinilai telah berdampak positif terhadap upaya pengembangan industri pengolahan kakao dalam negeri dengan adanya penurunan ekspor kakao yang cukup signifikan diikuti dengan jumlah perusahaan industri cocoa processing yang bertambah. 

Di satu sisi, Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) dan para petani kakao yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) menyoroti bahwa kebijakan bea keluar harus memperhatikan kesejahteraan para petani kakao. Dikutip dari Dinas Perkebunan Kalimantan Timur, Ketua Umum Askindo menyatakan bahwa kenaikan tarif bea keluar yang signifikan akan memberatkan petani kakao dan seharusnya pengenaan bea keluar harus tetap memperhatikan terjaminnya pasokan kakao di dalam negeri, terjaganya kelestarian lingkungan dan stabilitas harga kakao agar petani tidak dirugikan. Seperti apa yang tertulis dalam situs web resmi Kementerian Perindustrian, ketua APKAI juga menyampaikan bahwa adanya peningkatan tarif bea keluar dapat meningkatkan potensi terjadinya permainan harga oleh perusahaan pengolahan kakao. Hingga saat ini, kebijakan BK biji kakao ditetapkan melalui PMK No. 1/PMK.010/2022 yang menetapkan tarif bea keluar biji kakao sebesar 5-10% sesuai masing-masing kolom yang didasarkan pada tingkat harga referensi per ton. 

Adanya Ketergantungan Impor

Seiring dengan perkembangan industri pengolahan kakao dalam negeri, jumlah biji kakao dalam negeri tidak dapat mencukupi kebutuhan industri tersebut. Hal ini lantas membuka kran impor biji kakao dari luar negeri oleh Indonesia. Dilansir dari Bisnis.com, jumlah impor biji kakao di Indonesia pada tahun 2019 mencapai sekitar 234 ribu ton. Walaupun jumlahnya terus berkurang hingga mencapai angka 133 ribu ton di tahun 2021, angka impor kakao di Indonesia masih terbilang cukup besar. 

Dikutip dari artikel tersebut, kebutuhan pasokan biji kakao yang besar tidak bisa dipenuhi sepenuhnya karena semakin menurunnya kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola perkebunan kakao. Indonesia Investments menyatakan bahwa 90% produksi kakao Indonesia merupakan hasil produksi para petani yang memang memiliki kekurangan secara finansial dan memiliki peralatan yang serba terbatas. Ditambah lagi, sebagian besar tanaman kakao di Indonesia telah mengalami penuaan yang menyulitkan proses reproduksi kakao secara alami. Hal tersebut menyebabkan proses pemeliharaan tanaman kakao menjadi kurang maksimal sehingga rentan akan kerusakan oleh berbagai faktor. 

Sebagai konsekuensinya, kualitas tanaman-tanaman kakao Indonesia pun menurun dan jumlah produksi kakao di Indonesia menjadi semakin berkurang. Faktanya, angka produksi kakao sebesar 659,7 ribu ton di tahun 2020 bukanlah angka produksi kakao terbesar di Indonesia. Dikutip dari Tempo, jumlah produksi kakao tahun 2012 mencapai 740,5 ribu ton dan pada 2019 turun menjadi 659 ribu ton. Oleh sebab itu, kemampuan Indonesia untuk mengekspor biji kakao ke luar negeri pun berkurang dan sangat bergantung akan produk impor.

Memajukan Industri Kakao Indonesia

Upaya memajukan industri kakao di Indonesia dapat dimulai dari menaruh perhatian pada produksi kakao dalam negeri. Pengusaha perkebunan kakao perlu meningkatkan kualitas kakao yang mereka produksi. Salah satunya adalah dengan mendistribusikan bibit-bibit unggul kakao ke produsen-produsen kakao yang ada di Indonesia. Strategi ini telah diimplementasikan pada tahun 2020, tepatnya di Sulawesi Tenggara. Dilansir dari Badan Litbang Kementerian Pertanian, petani-petani kakao di Sulawesi Tenggara telah menerima benih-benih kakao varietas unggul untuk mereka budidayakan dan perdagangkan. 

Selain meningkatkan kualitas produk mereka, para pengusaha perkebunan kakao juga harus memperhatikan kualitas sumber daya manusia yang dikerahkan dalam proses produksi, salah satunya dengan mengadakan pelatihan kerja bagi para sumber daya manusia yang terlibat dalam kegiatan produksi. Selain itu, pemerintah juga harus lebih memperhatikan kesejahteraan para petani kakao yang memiliki masalah finansial agar mereka dapat lebih maksimal dalam memproduksi tanaman kakao. Kelengkapan peralatan serta sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan produksi kakao oleh para petani kecil juga harus disediakan.

Selanjutnya, perhatian pada industri pengolahan kakao juga perlu diberikan sejalan dengan terbukanya perkembangan industri pengolahan setelah pemberlakuan kebijakan BK. Para produsen dalam industri kakao harus didukung untuk lebih kreatif dan inovatif dalam memajukan industri kakao di Indonesia. Tak hanya mengekspor produk-produk kakao setengah jadi untuk kebutuhan produksi merek lain di luar negeri, produsen kakao Indonesia juga dapat melakukan ekspor untuk produk-produk kakao siap konsumsi dengan merek asli Indonesia untuk diperkenalkan ke pasar internasional. Dengan memproduksi produk-produk kakao siap konsumsi atas nama merek asli Indonesia, reputasi industri kakao di Indonesia akan semakin dikenal baik oleh pasar Internasional. Nantinya, Indonesia tak hanya akan dikenal sebagai pengekspor bahan baku setengah jadi untuk keperluan produksi perusahaan lain, tetapi juga dapat dikenal dengan merek produk asli Indonesia dengan kualitas yang dapat bersaing dengan produk lainnya di pasar Internasional.

Saat ini, sudah banyak bermunculan perusahaan kecil dan menengah yang menawarkan produk kakao siap konsumsi. Produk-produk kakao siap konsumsi khas lokal ini sangat potensial untuk dapat sukses di pasar internasional. Oleh karena itu, dukungan pemerintah untuk mengembangkan potensi perusahaan yang bergerak dalam industri kakao siap konsumsi sangat penting untuk memajukan industri kakao Indonesia. Tentunya, masyarakat juga perlu untuk mulai mengkonsumsi produk olahan kakao lokal alih-alih produk olahan kakao dari luar negeri sebagai bentuk dukungan mereka untuk kemajuan industri kakao di Indonesia.