Pos oleh :

cwts

Keterbutuhan Energi di Tengah Perkembangan Mata Uang Kripto

Keterbutuhan Energi di Tengah Perkembangan Mata Uang Kripto

Penulis :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Perkembangan adopsi masyarakat terhadap mata uang kripto semakin masif dalam beberapa tahun terakhir. Dengan berbagai aspek positif dari mata uang kripto seperti adanya transparansi, kecepatan transaksi, dan juga keamanan, beberapa negara seperti misalnya El Salvador sudah mulai mengadopsi mata uang kripto sebagai alat pembayaran domestik. Sejak munculnya Bitcoin pada 2008, berbagai mata uang kripto bermunculan dan memiliki berbagai kegunaan dan keunggulan. Hal yang cukup menjadi perhatian dari adanya proliferasi penggunaan mata uang kripto dan perluasan adopsi di dalam ekonomi masyarakat dunia adalah energi listrik yang digunakan untuk tetap menjamin sistem blockchain, yang menjadi dasar dari mata uang kripto tetap berjalan. Berdasarkan informasi dari Columbia Climate School, energi yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem Bitcoin saja melebihi konsumsi energi Argentina per tahun. Konsumsi energi listrik yang demikian masifnya menghasilkan 65 megaton karbondioksida setiap tahun dimana total ini setara dengan jumlah emisi yang dihasilkan oleh negara Yunani setiap tahunnya. Bahkan energi yang digunakan dalam proses penambangan Bitcoin per menitnya cukup untuk memenuhi kebutuhan energi rata-rata rumah tangga Amerika Serikat selama 17 tahun. Lebih lanjut, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cambridge University, penambangan Bitcoin menggunakan listrik lebih dari konsumsi listrik gabungan dari Ukraina dan Norwegia per tahun.

Di samping penggunaan mata uang kripto dengan berbagai keunggulan dan kemudahannya ternyata membawa serta isu yang lebih fundamental dalam beberapa tahun terakhir yakni penggunaan energi yang semakin besar. Di samping itu isu dari mana energi tersebut juga semakin penting karena mayoritas sumber energi di dunia masih berasal dari barang tambang ekstraktif seperti misalnya batu bara. Dilansir dari Coinbase, penggunaan energi dalam sistem kripto dikarenakan sistem mayoritas masih berorientasi pada sistem Proof of Work dari pada Proof of Stake

Jelas masifnya penggunaan energi untuk mempertahankan sistem mata uang kripto yang berjalan mengharuskan adanya pertambahan jumlah energi yang dihasilkan. Hal ini ternyata telah memicu peningkatan produksi energi listrik seperti misalnya dari batu bara. Kebangkitan oerusahaan tambang batu bara misalnya terjadi di Amerika Serikat dimana salah satu pembangkit yang hampir bangkrut sejak ditutup, Hardin yang mengalami kerugian dari tahun 2018 kembali mendapatkan keuntungan dalam bisnisnya karena peningkatan kebutuhan energi bagi para penambang kripto. Bahkan tahun 2020, energi yang dihasilkan dari pembangkit listrik batu bara ini hanya ditujukan untuk para penambang kripto. Dilansir dari The Guardian, Hardin merupakan bagian kecil dari hidupnya kembali pembangkit listrik tenaga batu bara karena adanya peningkatan penggunaan kripto dalam beberapa tahun terakhir.

Efisiensi Sistem Kripto 

Mata uang kripto masih baru saja berkembang dalam 10 tahun terakhir secara masif. Adopsi yang semakin luas dari masyarakat menunjukkan adanya potensi terhadap sistem finansial yang sebenarnya dimulai karena adanya krisis finansial pada tahun 2008 dengan munculnya Bitcoin yang diduga dikembangkan oleh Satoshi Nakamoto (bisa jadi nama kelompok/orang). Dengan sistem yang masih dapat berkembang seperti misalnya dari Proof of Work menjadi Proof of Stake pada sistem blockchain dapat memperkecil konsumsi dan energi yang dibutuhkan oleh sistem uang kripto untuk menjaga sistemnya tetap berjalan. Hal ini misalnya disampaikan dalam kampanyeChange the Code not the Climate” yang dikoordinasikan oleh Greenpeace Amerika Serikat dan Environmental Working Group bahwa Bitcoin dan mata uang kripto perlu meningkatkan sistem dalam mata uang kripto untuk melakukan efisiensi sistem yang kemudian mengurangi konsumsi energi dalam berjalannya sistem.

Dilansir dari NBC News, peneliti dari Ethereum Foundation menyampaikan bahwa dengan menggunakan sistem proof of stake, energi yang digunakan dapat dikurangi hingga lebih rendah 99.99% dari menggunakan sistem proof of work. Hal ini tentunya memberikan optimisme sendiri bagi yang mendukung kripto dan juga memberikan perhatian bagi lingkungan. Beberapa sistem mata uang kripto akan dan telah menggunakan sistem proof of stake semisal Ethereum dan juga Cardano. Dilansir dari Forbes, Proof of Stake menghilangkan sistem elemen kompetisi komputasi dan menjadikan satu mesin hanya bekerja untuk menyelesaikan satu permasalahan koding dalam satu waktu. Hal ini berbeda dengan Proof of Work dimana banyak mesin komputer berusaha untuk menyelesaikan banyak transaksi dalam satu waktu yang tentunya membutuhkan banyak energi.  

Menggunakan Energi Terbarukan

Dengan masifnya energi yang digunakan dalam sistem kripto, penggunaan energi yang ramah lingkungan dan terbarukan menjadi penting dan krusial terutama untuk mendukung sistem transaksi dalam mata uang kripto yang semakin masif diadopsi oleh masyarakat. Hal ini misalnya sudah dilakukan di Kosta Rika yang memiliki surplus energi terbarukan. Dilansir dari DW News, energi yang dibutuhkan untuk melakukan penambangan kripto diperoleh dari energi yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga air. Meskipun demikian, Jose Daniel Lara, peneliti dari UC Berkeley menyampaikan bahwa Kosta Rika merupakan negara yang special karena telah mengalami surplus terhadap energi terbarukan dan logika terhadap penambangan kripto dengan energi terbarukan menjadi memungkinkan.

Oleh karena itu, penting bagi negara-negara yang ingin mengadopsi penggunaan mata uang kripto untuk bukan hanya memperhatikan kemudahan dan keuntungan dari penggunaan mata uang kripto dan teknologi blockchain, namun juga harus memperhatikan sumber energi untuk mempertahankan sistem teknologi kripto tetap berjalan dengan baik.

Menuju Circular Fashion: Perlunya Regulasi dan Penguatan Kerjasama

Menuju Circular Fashion: Perlunya Regulasi dan Penguatan Kerjasama

Penulis:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Derasnya pengaruh globalisasi mendorong terciptanya tren fesyen yang sangat cepat berubah. Untuk dapat bertahan, berbagai perusahaan fesyen tidak hanya bersaing dengan kompetitor yang menawarkan harga yang murah, tetapi juga berlomba untuk dapat memenuhi permintaan konsumen yang sesuai dengan tren terkini atau disebut dengan fast fashion (Barnes & Lea-Greenwood, 2010). Fenomena fast fashion terus berkembang dengan dua karakteristik utama, yakni memangkas jeda proses produksi dan meningkatkan pilihan konsumen dengan memastikan stok barang selalu tersedia dengan konstan (Hines, 2004). Oleh karenanya, berbagai perusahaan fesyen melakukan produksi massal 52 “micro-seasons” setiap tahunnya atau sama dengan satu koleksi baru setiap minggunya dan diperkirakan pada 2050 produksi tersebut dapat mencapai 160 juta ton.

Angka produksi fesyen yang sangat tinggi bukan berarti tanpa konsekuensi. UNEP mencatat bahwa industri fesyen telah menyumbang 8-10 % emisi karbon secara global – melebihi jumlah emisi karbon yang dihasilkan penerbangan internasional dan pengangkutan laut. Dalam proses produksinya, industri ini juga membutuhkan sumber daya air dalam jumlah melimpah dan berkontribusi terhadap 20% air limbah global secara keseluruhan. Untuk memproduksi tekstil sintetik, industri ini membutuhkan 42.534 kilo ton plastik setiap tahunnya yang kemudian berakhir menjadi limbah di laut. Permasalahan lingkungan dalam industri ini juga timbul di fase pasca konsumsi dengan menggunungnya limbah fesyen akhir masa pakai. Berbagai data tersebut menunjukkan bahwa produksi massal pada industri ini berdampak signifikan pada lingkungan tanpa adanya upaya penanganan yang serius.

Demi mendukung keberlanjutan, industri fesyen yang selama ini dijalankan dengan pendekatan linear pada pada proses manufaktur, distribusi, dan konsumsinya haruslah beralih dan diganti dengan pendekatan ekonomi sirkular melalui 3 konsep utama yakni reduce, reuse, dan recycle atau disebut dengan circular fashion. Untuk mengimplementasikan circular fashion, diperlukan dukungan dan komitmen yang kuat dari berbagai pihak salah satunya pemerintah sebagai regulator. Hal ini dikarenakan konsep ini diimplementasikan secara kompleks pada setiap fase yang berkesinambungan dimulai dari tahap awal siklus hidup produk fesyen yakni pada tahap desain hingga ketika penggunaannya selesai dengan memastikan produk tersebut tidak akan berakhir mencemari lingkungan (Brismar, 2017).

Meski demikian, implementasi circular fashion masih menemui tantangan hingga saat ini (Kirchherr, 2018). Sebagai contoh, perusahaan cenderung membeli bahan tekstil sintetik baru karena harganya yang lebih murah dibanding melakukan proses daur ulang akibat dari diberlakukannya kebijakan subsidi bahan bakar fosil oleh pemerintah yang digunakan untuk memproduksi material tersebut. Oleh karenanya, kesadaran masyarakat dan pelaku bisnis akan pentingnya circular fashion perlu disertai dan didukung dengan kesiapan regulasi sebagai faktor pendukung utama yang memiliki kekuatan daya paksa yang mengikat. Persoalan lingkungan di era pembangunan berkelanjutan tersebut perlu diselesaikan melalui peran hukum sebagai alat rekayasa sosial. Dalam hal ini, hukum digunakan sebagai formulasi ilmiah, pendekatan logis,  dan keterampilan inventif untuk mengatur, mengelola, dan menggerakkan masyarakat menuju berbagai pembaharuan (Pound, 1965)

Peneliti berpendapat bahwa fenomena fast fashion perlu ditangani dengan solusi regulasi yang cerdas atau smart regulation (Preston, 2017). Melalui pendekatan ini, selagi sebagian besar investasi, inovasi, dan implementasi circular fashion dilakukan oleh sektor swasta, pemerintah berperan penting untuk mengesahkan kebijakan yang mendukung inovasi, investasi, dan aktivitas bisnis berkelanjutan. Kebijakan untuk menangani fast fashion didesain secara menyeluruh melalui serangkaian kebijakan yang mendukung penggunaan bahan ramah lingkungan dan inovasi lainnya, kebijakan fiskal dengan mendisinsentif kegiatan yang berlawanan dengan usaha proteksi sumber daya, hingga kebijakan yang mengatur mengenai akhir masa pakai. 

Konsep smart regulation bukan lagi sebatas gagasan pembaharuan seiring dengan penerbitan European Union Strategy for Sustainable and Circular Textiles oleh Uni Eropa pada Maret lalu. Pada tahun 2030 mendatang, Uni Eropa memiliki visi untuk memastikan seluruh produk tekstil yang ada di pasarnya merupakan produk yang berumur panjang, berbahan serat daur ulang, bebas bahan berbahaya, serta diproduksi dengan proses yang menghormati hak-hak sosial dan lingkungan. Dalam strategi tersebut, Uni Eropa berhasil untuk membuat desain kebijakan yang komprehensif dan memperlihatkan dukungan penuh terhadap pelaksanaan circular fashion. 

Uni Eropa meregulasi awal siklus hidup tekstil dengan menerapkan aturan desain produk yang lebih ketat untuk menekan limbah mikroplastik dari bahan sintetik. Guna menjawab tantangan budaya berupa kesadaran masyarakat, Digital Product Paspor (DPP) juga menjadi kebijakan baru dalam strategi ini yang bertujuan untuk mengumpulkan data tentang produk dan rantai pasokannya dan membagikannya ke seluruh rantai bisnis sehingga semua pelaku bisnis termasuk konsumen memiliki pemahaman yang baik mengenai produk serta dampak lingkungan yang ditimbulkan. Adapun untuk menangani limbah akhir masa pakai, Uni Eropa menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR) yang mengharuskan produsen bertanggung jawab mengelola produk akhir masa pakai yang dipasarkan di negara tersebut dengan konsep reuse dan recycle. Kebijakan dari hulu ke hilir tersebut membawa implikasi pada 16 tindakan legislasi yang diantaranya meliputi pembuatan regulasi baru seperti Eco Design for Sustainable Product Regulation, serta revisi dan harmonisasi pada regulasi yang berkaitan, diantaranya Textile Labelling Regulation, Waste Framework Directive, Best Available Techniques Reference Documents, dan Taxonomy Regulation

Di sisi lain, terhadap kebijakan Uni Eropa, Kerry Bannigan, Executive Director Fashion Impact Fund -- sebuah organisasi yang mendukung peran perempuan dalam industri fesyen, memberikan catatannya bahwa fesyen merupakan persoalan global yang memerlukan komitmen dari negara lain untuk melaksanakan kerjasama dalam membangun infrastruktur ekonomi sirkular. Dalam perkembangannya, 15 negara maju dan berkembang bersama dengan berbagai negara anggota Uni Eropa yang tergabung dalam Global Alliance on Circular Economy and Resource Efficiency (GACERE) telah berkomitmen untuk menjalankan dan mengadvokasikan circular fashion pada 2020. Selain itu, negara-negara G20 juga melakukan workshop circular fashion yang membahas mengenai peran negara untuk berkontribusi melalui kebijakan yang mendukung di tahun 2021. Namun demikian, hingga saat ini, selain Uni Eropa, hanya Amerika Serikat yang telah meregulasi circular fashion melalui New York Fashion Sustainability and Social Accountability Act yang sedang berada dalam proses legislasi. Oleh karena itu, meskipun berbagai negara saat ini telah berkomitmen pada circular fashion melalui kerjasama internasional, masih banyak negara maju maupun berkembang yang belum mengimplementasikan konsep tersebut pada tataran pembentukan maupun harmonisasi peraturan. 

Sebagai refleksi, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang telah menaruh perhatiannya untuk menyelesaikan persoalan limbah tekstil secara berkelanjutan dalam program industri hijau tepatnya melalui Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2019. Secara lebih luas, pertanggungjawaban industri tekstil kaitannya dengan baku mutu air limbah diatur melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019. Meski demikian, berbagai regulasi tersebut belum memuat terobosan baru kaitannya dengan upaya berkelanjutan untuk menangani fenomena fast fashion yang terjadi saat ini. Di sisi lain, perkembangan hukum lingkungan di Indonesia juga dilakukan secara parsial terbukti subsidi bahan bakar fosil yang masih dilaksanakan oleh pemerintah mencapai USD 8,6 Miliar di tahun 2019 dan di awal pandemi negara G20 mengalokasikan USD 318,84 Miliar untuk menyokong energi fosil. Hal tersebut mengindikasikan kebijakan yang ada belum disusun secara sistematis dan terpadu untuk menjawab permasalahan lingkungan. Padahal di satu sisi, fenomena ini terus mengkhawatirkan didukung dengan fakta bahwa Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil per tahun 2021. Sejatinya, upaya pemerintah Indonesia untuk memberikan himbauan mengenai ekonomi sirkular pada masyarakat di Indonesia telah dilaksanakan melalui kerja sama dengan pemerintah Denmark. Meski demikian, kerjasama yang dijalin belum mampu mendorong Indonesia untuk menerapkan kebijakan riil dan melakukan harmonisasi peraturan sehingga kerjasama tersebut masih perlu diperkuat. 

Sebagai penutup, sebuah adagium hukum berbunyi “het recht hink achter de feiten aan”, menggambarkan kondisi hukum yang selalu tertatih-tatih mengikuti kenyataan. Namun demikian, sejatinya pendekatan hukum sebagai rekayasa sosial telah mampu menjawab problematika modern yang terjadi saat ini. Berdasarkan uraian diatas, regulasi dan kerjasama internasional memainkan peran yang sentral dalam mengimplementasikan circular fashion. Tingginya urgensi untuk mengatasi permasalahan fast fashion yang berdampak besar pada lingkungan perlu didukung komitmen kuat pemerintah untuk berada di pihak pro-lingkungan dan mentranslasikannya dalam tataran regulasi yang holistik. Selanjutnya, circular fashion merupakan upaya yang harus didorong kerjasama antar negara baik negara maju maupun berkembang. Dengan demikian, harapannya negara-negara di seluruh dunia berada dalam satu visi dan misi yang sama untuk menciptakan atmosfer yang mendukung implementasi circular fashion secara global. 

Referensi: 

“A New Textiles Economy: Redesigning Fashion’s Future,” 2017. https://ellenmacarthurfoundation.org/a-new-textiles-economy

Barnes, L., and G. Lea‐Greenwood. “Fast Fashion in the Retail Store Environment.” International Journal of Retail & Distribution Management 38, no. 10 (2010): 760–72. https://doi.org/https://doi.org/10.1108/09590551011076533

Boucher, Julien, and Damien Friot. “Primary Microplastics in the Oceans: A Global Evaluation of Sources,” 2017. https://portals.iucn.org/library/sites/library/files/documents/2017-002-En.pdf

Brismar, Anna. “What Is Circular Fashion?,” 2017. https://greenstrategy.se/circular-fashion-definition/

Directorate-General for Environment. EU Strategy for Sustainable and Circular Textiles (2022). https://ec.europa.eu/environment/publications/textiles-strategy_en 

Institute for Essential Service Reform. “Subsidi Energi Fosil Menghambat Transisi Energi,” 2021. https://iesr.or.id/subsidi-energi-fosil-menghambat-transisi-energi 

Kirchherr, Julian, Laura Piscicelli, Ruben Bour, Erica Kostense-Smit, Jennifer Muller, Anne Huibrechtse-Truijens, and Marko Hekkert. “Barriers to the Circular Economy: Evidence From the European Union (EU).” Ecological Economics 150 (2018): 264–72. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2018.04.028

Kompas. “Kurangi Limbah Tekstil, Bappenas Ajak Industri Terapkan Konsep Fashion Sirkular,” 2022. https://money.kompas.com/read/2022/02/24/083300926/kurangi-limbah-tekstil-bappenas-ajak-industri-terapkan-konsep-fashion-sirkular?page=all 

“New York Fashion Sustainability Act: Now In Committee,” 2022. https://www.natlawreview.com/article/new-york-fashion-sustainability-act-now-committee

Preston, Felix. “A Global Redesign? Shaping the Circular Economy.” Chatham House Briefing, 2012. https://www.chathamhouse.org/sites/default/files/public/Research/Energy, Environment and Development/bp0312_preston.pdf 

Pound, Roscoe (1965) "Contemporary juristic theory," dalam Dennis LLOYD (ed.) Introduction to Jurisprudence. London: Stevens and Sons. Second edition, pp. 247-252.

Smitts, Helene. “Fashion Industry, We Must Prepare for New Regulations,” 2022. https://sourcingjournal.com/topics/sustainability/recover-texiles-recycling-fashion-industry-regulations-waste-337870/

Stanton, Audrey. “What Is Fast Fashion, Anyway?,” n.d. https://www.thegoodtrade.com/features/what-is-fast-fashion.

United Nations Environment Programme. “Financing Circularity: Demystifying Finance Fort The Circular Economy” 2020. https://www.unepfi.org/publications/general-publications/financing-circularity/

———. “UN Alliance For Sustainable Fashion Addresses Damage of ‘Fast Fashion,’” 2022. https://www.unep.org/news-and-stories/press-release/un-alliance-sustainable-fashion-addresses-damage-fast-fashion

Webb, Ella. “EU Moves to Legislate Sustainable Fashion. Will It Work?,” 2022. https://www.voguebusiness.com/sustainability/eu-moves-to-legislate-sustainable-fashion-will-it-work

Dorong Ekonomi Sirkular, PSPD Lembagakan Konsorsium Ekonomi Sirkular Indonesia

Dorong Ekonomi Sirkular, PSPD Lembagakan Konsorsium Ekonomi Sirkular Indonesia

Penulis:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM menyelenggarakan pertemuan dengan anggota Konsorsium Ekonomi Sirkular Indonesia (KESI) pada Jumat, 3 Juni 2022. Kegiatan ini dimulai pada pukul 13.30 WIB dan dihadiri 5 (lima) komunitas yang bergerak di bidang ekonomi sirkular, yakni Rumah Inspirasi Jogja, Pusat Inovasi Agroteknologi UGM, Jaringan Masyarakat Budaya Nusantara, Forum Upcycle Indonesia, dan Gion Handicraft. KESI dibentuk untuk mendorong praktik ekonomi sirkular di Indonesia, salah satunya dengan membangun ekosistem bisnis berbasis ekonomi sirkular bagi para pelaku bisnis lokal yang mencakup pula UMKM. Setelah sempat tertunda karena pandemi, pertemuan kali ini digelar untuk menyepakati blueprint gambaran umum dan pelembagaan konsorsium yang meliputi penyusunan kepengurusan, mekanisme pendanaan, dan desain konsorsium.

Kegiatan ini diawali dengan sambutan dari Direktur PSPD UGM, Dr. Riza Noer Arfani. Dalam sambutannya, Dr. Riza menyampaikan harapannya untuk menjadikan Yogyakarta sebagai hub (pusat) ekonomi sirkular melalui konsorsium yang dibentuk. Selanjutnya, Iwan Wijono selaku ketua dari Forum Upcycle Indonesia turut memberikan kata sambutan pada pertemuan ini. Beliau menekankan mengenai pentingnya kesadaran atas hubungan manusia dengan alam di era pembangunan saat ini sehingga pembangunan dapat dilaksanakan dengan berkelanjutan.

Agenda penting dalam pertemuan kali ini adalah pembahasan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta disepakatinya berbagai hal mengenai kepengurusan konsorsium. Berdasarkan musyawarah anggota konsorsium, Josh Handani dari Rumah Inspirasi Jogja terpilih menjadi ketua KESI. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan struktur kelembagaan serta pendanaan konsorsium. 

Seluruh agenda dalam pertemuan ini berjalan dengan lancar dan mendapat sambutan baik dari seluruh anggota konsorsium. Dengan dukungan yang solid, KESI diharapkan dapat menjadi tonggak perkembangan ekonomi sirkular di Indonesia.

Tertunda 5 Tahun, Indonesia dan Peru Kembali Negosiasi Perjanjian Dagang

Tertunda 5 Tahun, Indonesia dan Peru Kembali Negosiasi Perjanjian Dagang

Penulis:

Raevita Andriessa

SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Setelah tertunda sejak tahun 2017, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag) secara resmi kembali melanjutkan negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) antara Indonesia-Peru. Dilansir dari IDN Financials, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Wakil Menteri Perdagangan Luar Negeri Peru Ana Cecilia Gervasi Díaz melangsungkan pertemuan secara khusus untuk segera memulai komunikasi dan bekerja sama agar negosiasi perdagangan Indonesia dan Peru dapat segera dilaksanakan. Pertemuan tersebut dilaksanakan di sela rangkaian pertemuan APEC 28th Minister Responsible For Trade (MRT) yang digelar pada 21 hingga 22 Mei 2022 di Bangkok, Thailand.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengungkapkan bahwa Perundingan Indonesia-Peru CEPA telah tertunda selama 5 tahun akibat pendekatan yang digunakan untuk negosiasi pada tahun 2017 lalu, dimana Menteri Perdagangan Luar Negeri dan Pariwisata Peru mengajak Indonesia untuk mulai menjalin kerja sama tersebut di akhir tahun 2017 setelah Amerika Serikat mundur dari Trans-Pacific Partnership (TPP). Langkah yang diambil pemerintah Peru tersebut dinilai cukup agresif dalam rangka pembangunan rencana kerja sama perdagangan bebas dengan Indonesia. 

Mundurnya Amerika Serikat dari TPP pada Senin (23/1/2017) kemudian merenggangkan hubungan mereka dengan negara-negara sekutu mereka di Asia yang memiliki koneksi erat dengan Tiongkok. Pada saat itu, Peru telah menjalin hubungan kerja sama perdagangan bebas dengan 15 negara dengan Tiongkok sebagai salah satu negara yang mulai terjalin hubungan diplomatiknya. Negosiasi kerja sama perdagangan antara Indonesia dan Peru memang sempat tertunda setelah peristiwa tersebut, tetapi kemudian berhasil berjalan kembali lima tahun kemudian di pertengahan tahun 2022 ini.

Kedua pemimpin negara melihat potensi yang dapat memberi manfaat positif dalam sektor perdagangan kedua belah pihak dengan komoditas unggulan yang dimiliki masing-masing negara. Komoditas utama yang ditawarkan Indonesia ke Peru misalnya seperti kendaraan bermotor, biodiesel, prangko tak terpakai, alas kaki, dan serat benang. Sementara itu, Peru aktif mengekspor biji kakao, pupuk, anggur, batu bara, dan seng mentah ke Indonesia. Untuk mempercepat tercapainya persetujuan kerja sama yang menguntungkan kedua belah pihak tersebut, mereka mempercepat langkah mereka untuk menyelesaikan kerangka kerja perjanjian mereka.

Pada kuartal pertama tahun 2022, total keuntungan yang diperoleh Indonesia dan Peru dalam sektor perdagangan bilateral adalah sebesar US$ 99 juta atau meningkat 18,84% dibandingkan kuartal pertama tahun lalu yang masih berkisar di angka US$ 83,30 juta. Sementara itu, di keseluruhan tahun 2021, total profit sektor Indonesia-Peru tercatat sebesar US$ 402,70 juta atau meningkat 61,8% dibandingkan 2020 yang tercatat sebesar US$ 248,82 juta. Aktivitas perdagangan internasional dengan Peru berhasil menghasilkan surplus sebesar US$ 234,21 juta bagi Indonesia pada tahun 2021, meningkat 142% dibandingkan tahun 2020.

Serba-Serbi Nikel Indonesia: Dari Kerjasama dengan Tesla hingga Status Produsen Tertinggi Dunia

Serba-Serbi Nikel Indonesia: Dari Kerjasama dengan Tesla hingga Status Produsen Tertinggi Dunia

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Akhir Mei lalu, Tesla dilaporkan telah menyetujui pembangunan pabrik baterai dan kendaraan listrik di Indonesia. Persetujuan ini terjadi setelah CEO Tesla, Elon Musk, bertemu dengan Presiden Joko Widodo di situs peluncuran SpaceX, Texas, Amerika Serikat pada pertengahan Mei 2022. Menteri Investasi Indonesia, Bahlil Lahadalia, pada 19 Mei 2022 mengatakan bahwa kesepakatan itu dilakukan tanpa memberikan terlalu banyak rincian. Beliau juga mengisyaratkan bahwa proyek itu kemungkinan akan dimulai pada tahun ini. Dalam kesepakatan tersebut, disebutkan bahwa Tesla setuju untuk membangun pabrik baterai dan kendaraan listrik di sebuah komplek industri di provinsi Jawa Tengah, tepatnya di Batang. 

Dinamika Kesepakatan Indonesia dengan Tesla 

Usulan terkait kesepakatan dalam pembangunan pabrik baterai litium antara Tesla dengan Pemerintah Indonesia mengalami tarik ulur selama kurang lebih dua tahun. Pada tahun 2020, Tesla tercatat berupaya untuk membujuk Pemerintah Indonesia. Namun, pada tahun tersebut, bujukan tersebut tidak menuai perkembangan. Alih-alih mendirikan pabrik di Indonesia, Tesla membanting setir dan memilih India untuk membangun pabrik otomotif berbasis listrik. Baru, pada Kamis (24/3/2022), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan, menyatakan bahwa pihak Tesla menghubunginya kembali untuk membangun pabrik baterai litium di Indonesia. 

Perjalanan panjang ini diwarnai oleh pasang surut. Pada 11 Desember 2020, CEO Tesla, Elon Musk, menanggapi undangan Presiden Joko Widodo untuk bertukar pandangan mengenai industri mobil listrik dan komponen utama baterai listrik melalui saluran virtual. Dalam perbincangan tersebut, Presiden Joko Widodo juga mengajak Tesla untuk melihat Indonesia sebagai lokasi launching pad SpaceX. Selain perbincangan tersebut, rupanya Pemerintah Indonesia dan tim Tesla telah menandatangani kesepakatan Non-Disclosure Agreement (NDA) yang dilakukan melalui saluran virtual pada Februari 2021. Namun, hasil dari perbincangan tersebut tidak diungkap ke publik dengan alasan kerahasiaan. Perbincangan dan kesepakatan tersebut pada akhirnya tidak mendapatkan hasil realisasi nyata. Untuk itu, kembalinya Tesla dengan tawaran kerjasama di Mei 2022 ini, Menko Luhut memperingatkan pihak Tesla untuk tidak mendikte Pemerintah Indonesia. 

Masifnya Produksi Nikel Indonesia 

Saat ini, Indonesia telah memiliki dua perusahaan produsen baterai kendaraan listrik yang bersedia memproduksi baterai litium di Indonesia. Kedua produsen tersebut ialah Contemporary Amperex Technology Co. ltd. (CATL) dan LG Chem. Keduanya diklaim sudah meng-cover lebih dari 50 (lima puluh) persen baterai litium dunia. Hal ini terjadi karena Indonesia diketahui menduduki posisi teratas sebagai produsen nikel terbesar di dunia, terutama pada tahun 2021. Dikutip dari Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, Indonesia memiliki 25 (dua puluh lima) persen cadangan nikel dunia. Bijih-bijih nikel tersebut ditambang di beberapa wilayah dengan 5 (lima) urutan teratasnya adalah Kabupaten Kolaka di Sulawesi Tenggara, Kabupaten Luwu Timur di Sulawesi Selatan, Kabupaten Morowali di Sulawesi Tengah, Kabupaten Halmahera Timur di Maluku Utara, dan Pulau Gag di Papua Barat. 

Kementerian ESDM mencatat produksi olahan nikel Indonesia mencapai 2,47 juta ton pada 2021. Angka ini naik 2,17 persen dibanding 2020 yang sebesar 2,41 juta ton. Tren produksi olahan nikel di Indonesia mengalami pertumbuhan setiap tahunnya dengan awal produksi olahan nikel hanya sebesar 927.900 ton pada 2018. Di sisi lain, kinerja ekspor dan impor di Maret 2022 berhasil menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah. Meningkatnya performa surplus Indonesia pada Maret 2022 didukung oleh kinerja ekspor yang terus menguat di tengah peningkatan harga berbagai komoditas andalan yang cukup signifikan.

Nilai Dolar Meningkat Tajam, Emas Mengalami Pemerosotan Harga

Nilai Dolar Meningkat Tajam, Emas Mengalami Pemerosotan Harga

Penulis:

Raevita Andriessa

SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pada hari Jumat pekan lalu, (13/5) pukul 06:36, harga emas dunia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pemerosotan ini terjadi setelah harga emas sempat mencapai puncaknya pada hari Selasa (8/3) dengan harga US$ 2052,4 per troy ons. Saat ini harga emas terpatok berada pada harga US$ 1.818,93 per troy ons, menurun sebanyak 0,15% dari harga sehari sebelumnya, yakni US$ 1.850,6 per troy ons. 

Harga tersebut merupakan hasil dari koreksi harga sebesar 3,4% yang terjadi sepekan sebelumnya pada Jumat (6/5), di mana harga emas masih berada di angka US$ 1882,9. Terlebih lagi, pelemahan harga emas akan semakin terlihat jelas bila membandingkan harga Jumat (13/5) dengan harga sebulan sebelumnya pada Selasa (12/4), yakni sebesar US$ 1966,5. Pada hari Rabu (13/4), harga emas masih berkisar di angka US$ 1977,7, 7,8% lebih tinggi dibandingkan harga pada Jumat (13/5). Hingga saat ini, harga emas bulan Mei masih stagnan di kisaran angka yang sama dan belum menunjukkan tanda-tanda akan mengalami pemulihan.

Good Returns menilai alasan utama di balik penurunan konstan harga emas berkaitan dengan penguatan Dolar Amerika Serikat. Hal ini disebabkan oleh kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve yang semakin menguat. Faktor utama dibalik menguatnya nilai Dolar Amerika Serikat adalah ekspektasi pasar akan kenaikan suku bunga sebesar 50 basis points pada Juni mendatang. Ekspektasi pasar yang tinggi akan kenaikan suku bunga disebabkan oleh angka inflasi yang masih tinggi pada April 2022 yang mencapai angka 8,3%, di mana angka tersebut jauh dari angka normalnya sebesar 2%. 

Dikutip dari Reuters, Bart Melek menyatakan bahwa The Federal Reserve dikhawatirkan akan terus menaikan suku bunga Dolar Amerika Serikat secara agresif yang dapat terus menurunkan harga emas. Problematika yang sama juga diutarakan oleh Edward Moya dari Oanda, di mana beliau secara eksplisit menyatakan bahwa penguatan Dolar Amerika Serikat membuat emas ada dalam zona bahaya. Dikhawatirkan harga emas akan dapat terus menurun hingga mencapai kisaran US$ 1.750 apabila harganya tidak dapat menembus angka US$ 1.800 di masa depan.

Terlepas harga emas yang belum kunjung menunjukkan perkembangan, harga emas masih berpotensi naik jika kondisi perekonomian global melemah. Dilansir dari CNBC, Ravindra Rao dari Kotak Securities menyatakan bahwa emas akan tetap menjadi aset pilihan masyarakat yang paling aman saat keadaan ekonomi memburuk. Beliau juga menyatakan bahwa harga emas kemungkinan tidak akan melonjak tajam kecuali Dolar Amerika Serikat melemah drastis, seperti apa yang terjadi pada Januari 2022 lalu.

Dilansir dari Kompas.com, pada akhir Januari 2022 harga emas sempat mengalami peningkatan akibat kondisi geopolitik yakni konflik antara Rusia dan Ukraina yang baru saja dimulai. Pada saat itu, kondisi geopolitik tersebut menyebabkan The Federal Reserve tidak menaikkan suku bunga acuan yang menyebabkan nilai Dolar Amerika Serikat menurun. Hal ini dapat meningkatkan minat masyarakat untuk berinvestasi pada emas dan mengangkat sentimen positif terhadap logam mulia, terutama emas.

Biden and Dominasi Ekonomi China di Indo-Pasifik

Biden and Dominasi Ekonomi China di Indo-Pasifik

Penulis :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pada Mei 2022 saat kunjungan kerja ke Jepang, Presiden Biden diperkirakan akan mengumumkan sebuah kerangka mekanisme kerja sama dengan negara-negara di wilayah Indo-Pasifik, Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Presiden Biden sebelumnya telah mengusulkan IPEF pada East Asia Summit pada tahun 2017 sebagai salah satu bentuk strategi untuk semakin meningkatkan kerja sama ekonomi dan perdagangan internasional dengan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik. Meski belum diumumkan secara rinci dan formal, dikutip dari pernyataan pemerintah Amerika Serikat, setidaknya terdapat empat pilar utama yang menjadi perhatian dalam kerangka kerja sama perdagangan IPEF yakni, perdagangan yang berkeadilan dan berkelanjutan, resiliensi rantai pasokan, infrastruktur, dekarbonisasi dan energi terbarukan, dan pajak dan anti-korupsi. Kebijakan ini menjadi penanda adanya pergeseran orientasi kebijakan terhadap negara-negara di wilayah di Indo-Pasifik yang sebelumnya banyak dilakukan dalam mekanisme kerja sama pertahanan dan keamanan.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), inklusivitas dari kerja sama ini penting bagi negara-negara terutama karena melibatkan berbagai negara termasuk yang sudah maju dan sedang berkembang untuk memberikan kesetaraan kesempatan perekonomian dan perdagangan terhadap semua negara yang ada di kawasan Indo-Pasifik yang juga berpotensi untuk mendukung kerja sama di regional yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, kerja sama ini tentunya akan juga didorong untuk melibatkan negara-negara seperti Australia, Jepang, Korea Selatan dan tentunya 10 negara anggota ASEAN untuk bergabung ke dalam kerja sama IPEF. Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga menyampaikan bahwa kerja sama IPEF ini juga bahkan diharapkan akan dapat mendukung mekanisme kerja sama sebelumnya yakni ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP).

Di samping meningkatkan kerja sama perdagangan dan ekonomi dalam bidang konvensional, kerja sama dalam mekanisme IPEF juga akan memberikan perhatian pada aspek kerja sama pengembangan ekonomi digital di kawasan. Hal ini tentunya memberikan kesempatan untuk memajukan perekonomian digital di kawasan yang memiliki potensi yang cukup besar. Kerja sama pengembangan ekonomi digital dengan negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Vietnam, Malaysia, Singapura dan Thailand dengan perkembangan ekonomi digital yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir dan potensi yang cukup besar untuk kedepannya dapat menjadi pintu masuk bagi Amerika Serikat dalam memperdalam kerja sama dengan negara-negara di kawasan.

Tandingan terhadap China di Indo-Pasifik

Setiap kebijakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir tampaknya tidak dapat dilepaskan dari kaitannya dengan perimbangan kekuatan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik, termasuk usulan kerangka kerja sama IPEF. Indo-Pasifik dalam beberapa tahun terakhir memang memiliki kecenderungan aspek perekonomian yang didominasi peran dari Tiongkok yang mulai sangat aktif dalam membuat perjanjian kerja sama seperti misalnya perjanjian kerja sama RCEP. Hal ini tentunya memberikan kekhawatiran tersendiri bagi Amerika Serikat terutama dalam konteks untuk mempertahankan pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik. Lebih lanjut, integrasi dan ketergantungan dari beberapa negara di kawasan Indo-Pasifik seperti negara-negara di ASEAN juga memberikan kekhawatiran tersendiri bagi Amerika Serikat terhadap aspek geoekonomi dan strategi di kawasan Indo-Pasifik.

Beberapa negara lain seperti Korea Selatan, Jepang dan Australia bukan hanya memiliki ketergantungan yang semakin meningkat dengan Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir tetapi juga telah bergabung ke dalam mekanisme kerja sama RCEP yang bagi beberapa pengamat dan analis politik luar negeri dianggap sebagai usaha perluasan pengaruh Tiongkok di kawasan melalui aspek ekonomi dan perdagangan internasional. Oleh karena itu, Amerika Serikat ingin membawa masuk Jepang, Korea Selatan dan Australia ke dalam mekanisme kerja sama IPEF untuk memberikan perimbangan pengaruh terutama dalam konteks kerja sama perdagangan dan ekonomi yang berasal dari Tiongkok. Dilansir dari South China Morning Post IPEF setidaknya dapat digunakan sebagai alternatif untuk menggantikan ketidakhadiran dalam regional Indo-Pasifik setelah Amerika Serikat meninggalkan TPP pada masa pemerintahan Donald Trump.

Pemerintah Tiongkok beranggapan, inisiasi kerjasama IPEF merupakan usaha untuk “memisahkan” Tiongkok dari mitra ekonomi di Indo-Pasifik. Menteri Luar Negeri Tiongkok menyampaikan bahwa IPEF merupakan bentuk dari “Mental Perang Dingin” yang masih ada sampai sekarang dalam pemikiran strategis kebijakan luar negeri Amerika Serikat terutama dalam melihat kerja sama regional.  

Lebih dari sekadar jargon

Dilansir dari South China Morning Post, bagi pemerintah di negara-negara kawasan Indo-Pasifik, kerja sama dalam mekanisme IPEF setidaknya harus memberikan insentif ekonomi yang lebih besar dari pada sekadar dukungan pengembangan ekonomi dan perdagangan dalam lingkup domestik saja. Alih-alih sebagai “jargon” yang menandakan bahwa Amerika Serikat hadir dalam konstelasi ekonomi di kawasan Indo-Pasifik, Amerika Serikat melalui mekanisme kerja sama ini dapat memberikan akses pasar yang lebih luas kepada negara-negara di Indo-Pasifik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh CSIS bahwa negara-negara di Indo-Pasifik memang memberikan kesan ketertarikan terhadap proposal yang diajukan Amerika Serikat dalam mekanisme kerja sama IPEF namun lebih daripada itu harapan terhadap akses pasar Amerika Serikat yang lebih luas akan memberikan kepercayaan dan insentif terhadap Amerika Serikat dalam kebijakannya melalui IPEF. Hal ini misalnya disampaikan oleh Perdana Menteri Vietnam, Pham Minh Chinh mengatakan pemerintah Vietnam bersedia mendukung implementasi kerja sama dari IPEF namun membutuhkan waktu untuk melakukan studi mendalam mengenai potensi dari kerja sama tersebut.

Kejelasan mengenai mekanisme kerja sama IPEF yang menjadi pembeda dengan mekanisme kerja sama lain juga akan memberikan kesan positif terhadap Amerika Serikat di kawasan Indo-Pasifik. Kejelasan terhadap keuntungan dan insentif yang akan didapatkan oleh negara-negara di Indo-Pasifik seperti akses pasar dan kemudahan perdagangan kemudian akan memberikan kesan bahwa strategi IPEF tidak hanya semata-mata digunakan sebagai mekanisme perimbangan kekuatan ekonomi dan pengaruh di kawasan Indo-Pasifik namun juga memberikan kesan komitmen Amerika Serikat dalam mendukung perkembangan perekonomian terutama di negara-negara berkembang.

Proposal Tiongkok Untuk Bergabung CPTPP: Antara Kerja Sama Ekonomi dan Kalkulasi Perimbangan Kekuatan

Proposal Tiongkok Untuk Bergabung CPTPP: Antara Kerja Sama Ekonomi dan Kalkulasi Perimbangan Kekuatan

Penulis :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pada 16 September 2021, Tiongkok resmi mengajukan proposal untuk menjadi anggota dari Comprehensive and Progressive Agreement for Trans Pacific Partnership (CPTPP), sebuah forum kerja sama regional perdagangan yang terdiri dari 11 negara yang disepakati pada tahun 2018. Hal ini cukup mengejutkan banyak pihak pasalnya Beijing mengajukan proposal untuk menjadi anggota CPTPP pada saat persaingan geopolitik terutama dengan Amerika Serikat sedang memanas  dimana kerja sama regional tersebut  pada dasarnya dibentuk untuk membendung perkembangan dominasi Tiongkok dalam ekonomi dunia yang dalam beberapa tahun terakhir berkembang dengan pesat. Proses pengajuan menjadi anggota ini, terlepas dari akan diterima atau tidak oleh anggota CPTPP, menunjukkan semakin jelasnya persaingan geo-ekonomi di dunia terutama antara Beijing dan Washington di wilayah Indo-Pasifik melalui forum perdagangan internasional. Meskipun terdapat potensi ekonomi dan perdagangan yang besar jika Tiongkok bergabung dengan CPTPP, persaingan politik yang berkaitan dengan perimbangan kekuatan antara Amerika Serikat dan Tiongkok tidak dapat luput dan bahkan mendominasi perdebatan aksesi Tiongkok ke dalam CPTPP.

CPTPP merupakan suksesi forum kerja sama ekonomi yang banyak ketentuannya digagas oleh Amerika Serikat sebelumnya dalam TPP (Trans-Pacific Partnership). TPP bukan hanya bertujuan mempermudah perdagangan negara-negara yang tergabung di dalamnya namun juga untuk meningkatkan kepemimpinan Amerika Serikat di Asia dan melakukan perimbangan kekuatan terhadap Tiongkok dalam sektor ekonomi dan perdagangan internasional. Pada saat yang bersamaan, Tiongkok dengan beberapa negara Asia dan semua negara anggota ASEAN sedang mengadakan perundingan RCEP (Regional Comprehensive Economy Partnership), perjanjian perdagangan regional yang disamping melibatkan semua negara ASEAN juga melibatkan Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru, yang akhirnya disepakati pada November 2020 dan efektif pada Januari 2022. Bagi kebanyakan pengamat politik luar negeri Amerika Serikat, TPP merupakan langkah yang positif bagi Amerika Serikat terutama untuk meningkatkan kehadirannya di tengah peran Tiongkok yang semakin masif terutama di sektor perdagangan kawasan Asia-Pasifik.

Meski Amerika Serikat merupakan negara yang menggagas perundingan perjanjian kerja sama TPP pada masa Presiden Obama, pemerintahan selanjutnya dalam masa Presiden Donald Trump dengan pendekatan “American First” secara formal kemudian meninggalkan proses perundingan dan kesepakatan dalam TPP. Alasan tidak terlalu menguntungkan dan terlalu membebani bagi masyarakat Amerika Serikat menjadi pendorong utama bagi Presiden Trump untuk menarik keikutsertaan di dalam TPP (Narine, 2018). Meski kehilangan salah satu penggagas dan mitra ekonomi terbesar dalam forum kerja sama tersebut, negara-negara yang telah bergabung dalam TPP tetap melanjutkan negosiasi dan akhirnya menyepakati forum kerja sama CPTPP. Dalam perkembangannya, ada beberapa negara yang juga ingin bergabung ke dalam CPTPP seperti Tiongkok, Inggris dan juga Taiwan.

Beijing, setelah kesuksesan dalam negosiasi RCEP, memiliki visi untuk terus menegaskan kehadirannya di kerja sama perdagangan lainnya yang salah satunya adalah CPTPP. Pemerintah Tiongkok resmi mengajukan proposal untuk masuk ke dalam CPTPP, tepat sehari setelah kesepakatan AUKUS (Australia, United Kingdom and United States) diumumkan. Masuknya Tiongkok ke dalam kerja sama regional CPTPP setelah bergabung dengan RCEP memberikan keuntungan bagi Tiongkok terutama untuk mereduksi dampak negatif dari adanya perang dagang yang terus berlangsung antara Tiongkok dan juga Amerika Serikat dan meningkatkan pengaruhnya dalam perdagangan internasional.   

Respon terhadap proposal keanggotaan Tiongkok menjadi sangat beragam, dari berbagai pandangan positif bahwa akan adanya perluasan pasar hingga pandangan skeptis tentang keanggotaan Tiongkok dalam CPTPP. Pandangan positif disampaikan oleh Singapura dan Malaysia yang berkeyakinan bahwa Tiongkok akan membawa kontribusi positif terhadap CPTPP terutama pada konteks perluasan pasar sama seperti saat Tiongkok bergabung dengan WTO. Sementara di sisi lain beberapa negara yang memandang skeptis, seperti Australia dan Jepang memandang bahwa Tiongkok, dengan peran negara yang cukup kuat dalam aktivitas ekonomi dan bisnis, menilai sulit untuk mendapatkan persetujuan dari negara-negara yang telah lebih dulu bergabung di dalam CPTPP.

Usaha Tiongkok untuk masuk ke dalam kerja sama CPTPP menunjukkan adanya keinginan dari Tiongkok untuk mengambil peran yang lebih besar di dalam perekonomian dunia dengan bergabung ke dalam banyak forum kerja sama internasional terutama yang melibatkan aspek perdagangan dan investasi. Alih-alih sekadar berkeinginan menjadi ekonomi terbesar di dunia, Tiongkok berusaha memainkan pengaruh dan perannya dalam aspek yang lebih luas. Sejak bergabung dengan WTO pada tahun 2001, Tiongkok semakin menunjukkan kemampuan dan partisipasi ekonomi yang semakin aktif dalam perdagangan internasional. Bahkan bagi beberapa pengamat, Tiongkok berpotensi mengubah lanskap perdagangan internasional yang selama ini banyak terlalu didikte oleh pengaruh Amerika Serikat dan negara-negara Barat (Akita, 2021).

Kekhawatiran utilisasi ketergantungan ekonomi dari banyak negara terhadap Tiongkok cukup beralasan karena dalam beberapa dekade terakhir kapabilitas ekonomi yang dimiliki Tiongkok telah melampaui negara-negara lain di dunia, termasuk Amerika Serikat. Aksesi Tiongkok ke dalam berbagai perjanjian internasional seperti CPTPP dan RCEP menjadikan Tiongkok memiliki nilai daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat yang dalam beberapa tahun terakhir memilih untuk tidak terlalu terlibat dalam berbagai perjanjian kerja sama regional. Apabila keberhasilan Tiongkok untuk bergabung dengan CPTPP juga dapat menggambarkan adanya kemenangan simbolis dari Amerika Serikat dengan mengambil peran yang lebih besar (Hopewell, 2021).  Bukan tidak mungkin bahwa Tiongkok dalam waktu dekat akan memperoleh peran yang lebih atau bahkan menjadi pemimpin dari rezim perdagangan internasional yang didukung bukan hanya dengan percepatan ekonominya namun juga dengan peran yang semakin terlihat dalam setiap forum kerja sama multilateral baik regional maupun internasional.

Meskipun dapat memenuhi ketentuan untuk menjadi anggota yang diajukan oleh pihak dari CPTPP, sebagian pengamat berpandangan bahwa Tiongkok akan kesulitan untuk bergabung dengan CPTPP (Solís, 2021). Politisasi yang kerap dilakukan Tiongkok dalam sektor ekonomi demi mencapai kepentingan nasional dalam aspek yang terkadang tidak berkaitan dengan ekonomi juga memberikan kekhawatiran tersendiri bagi negara-negara yang telah bergabung dengan CPTPP sebelumnya. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan adanya sanksi bagi Australia dalam hal barang-barang ekspor karena memberikan dukungan terhadap Amerika Serikat dalam mengungkap asal dari virus COVID-19. Utilisasi strategis keterikatan perdagangan dengan Tiongkok karenanya memberikan kekhawatiran tersendiri bagi beberapa negara-negara di dalam CPTPP, bahkan pada saat akses ke Tiongkok menguntungkan perdagangan ketika bergabung dengan CPTPP. Menjadi kekhawatiran tersendiri bagi beberapa negara dengan peningkatan ketergantungan ekonomi dan perdagangan dengan China. Ketergantungan ekonomi dengan Tiongkok akan semakin menurunkan nilai daya tawar dari beberapa negara yang menjadi sekutu dekat dari Amerika Serikat

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Peterson Institute for International Economics, pada tahun 2030, kerja sama dalam CPTPP akan memberikan keuntungan sebesar 147 miliar US$ setiap tahunnya dan akan menjadi 617 miliar US$ jika Tiongkok dapat bergabung di dalam CPTPP (Petri & Plummer, 2019) Lebih lanjut, bergabungnya Tiongkok dalam CPTPP akan menjadikan CPTPP sebagai kesepakatan perjanjian kerja sama perdagangan yang sedikit lebih besar pangsa pasarnya daripada RCEP. Akses pasar dan kemudahan perdagangan dengan Tiongkok dapat meningkatkan efisiensi biaya dalam kerja sama perdagangan CPTPP.

Di tengah potensi ekonomi yang cukup besar baik bagi Tiongkok maupun negara-negara anggota CPTPP lainnya, akan sulit bagi Tiongkok untuk bergabung dengan melihat relasi Beijing dengan Tokyo, Canberra, dan Ottawa yang dalam beberapa tahun terakhir semakin tidak bersahabat. Setidaknya, ketiga negara tersebut akan memberikan perhatian yang lebih terutama ketika Beijing menggunakan aspek perdagangan dalam mencapai kepentingan nasional di aspek yang lainnya seperti keamanan dan geopolitik.

Menarik kemudian untuk melihat proses masuknya Tiongkok ke dalam CPTPP dalam beberapa tahun mendatangJelas dari aspek perdagangan internasional, aksesi Tiongkok masuk ke dalam CPTPP menjadi peluang yang sangat penting terutama untuk memperluas pasar dalam perjanjian kerja sama. Namun pada saat yang bersamaan, proses masuknya Tiongkok ke dalam CPTPP tidak juga terlepas dari adanya faktor ketegangan antara beberapa negara Barat dan Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir terutama yang memiliki kedekatan dengan Amerika Serikat.  

Oleh karena itu, alih-alih memperhatikan aspek keuntungan dari ekonomi dan perdagangan internasional, diskusi dan pembahasan proposal Tiongkok terhadap keanggotaan di CPTPP berkisar di seputaran persaingan politik dan perimbangan kekuatan serta persaingan antara negara-negara yang memiliki kedekatan dengan Amerika Serikat vis-à-vis Tiongkok. Dominasi kalkulasi strategis perimbangan kekuatan dari berbagai negara lebih jelas daripada kalkulasi potensi kerja sama ekonomi terutama untuk mendapatkan keuntungan dari bergabungnya Tiongkok ke dalam CPTPP.

Referensi 

Akita, H. (2021, October 30). Can the CPTPP change China, or will Tiongkok change it? Nikkei Asia.https://asia.nikkei.com/Spotlight/Comment/Can-the-CPTPP-change-China-or-will-China-change-it 

Hopewell, K. (2021, September 27). Analysis | Would China’s move to join this transpacific trade pact push the U.S. to rejoin? It’s complicated. Washington Post. 

Jiang, H., & Yu, M. (2021). Understanding RCEP and CPTPP: From the perspective China’s dual circulation economic strategy. Tiongkok Economic Journal, 14(2), 144–161. https://doi.org/10.1080/17538963.2021.1933055 

Narine, S. (2018). US Domestic Politics and America’s Withdrawal from the Trans-Pacific Partnership: Implications for Southeast Asia. Contemporary Southeast Asia, 40(1), 50–76.

Petri, P. A., & Plummer, M. G. (2019, January 30). China Should Join the New Trans-Pacific Partnership. PIIE. https://www.piie.com/publications/policy-briefs/china-should-join-new-trans-pacific-partnership 

Solís, M. (2021, September 23). China moves to join the CPTPP, but don’t expect a fast pass. Brookings.https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2021/09/23/china-moves-to-join-the-cptpp-but-dont-expect-a-fast-pass/ 

Pererat Tali Silaturahmi, PSPD UGM Gelar Buka Bersama

Pererat Tali Silaturahmi, PSPD UGM Gelar Buka Bersama

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Momen Ramadhan tahun ini dimanfaatkan oleh Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM untuk mempererat silaturahmi dengan menggelar acara buka bersama. Berlokasi di kantor PSPD UGM, acara yang diselenggarakan pada Sabtu (23/4/22) dihadiri oleh para pengelola dan pemagang PSPD UGM yang berjumlah 30 orang. Acara dimulai pada pukul 17.00 WIB dan dibuka dengan sambutan Dr. Riza Noer Arfani selaku Direktur Utama PSPD UGM. 

Acara buka bersama dilanjutkan dengan perkenalan dewan direksi dan masing-masing anggota divisi. Dewan direksi PSPD UGM yang turut hadir dalam kesempatan tersebut yakni, Rizky Alif Alvian, MIR. selaku Koordinator Divisi Jurnal dan Publikasi PSPD UGM, Raras Cahyafitri M.Sc. selaku Koordinator Divisi Riset PSPD UGM, Agustinus Moruk Taek, MA. selaku Koordinator Divisi Kemitraan Kebijakan PSPD UGM, Dr. Siti Arifah Purnamasari M.Si. selaku Koordinator Divisi Pelatihan PSPD UGM, serta Maria Angela Koas Sarwendah S.IP. selaku Koordinator Divisi Diseminasi PSPD UGM. Pada akhir sesi perkenalan, Bapak Riza memberikan ulasan singkat terkait sejarah pendirian PSPD UGM. 

Acara buka bersama berlangsung khidmat dan hangat ditemani dengan berbagai sajian nikmat. Dalam acara tersebut, PSPD UGM konsisten untuk menginternalisasikan fokus-fokus kajiannya, salah satunya yakni menerapkan prinsip ekonomi sirkular dengan tidak menggunakan tempat makan yang terbuat dari plastik. Harapannya aksi ini turut berkontribusi untuk mengurangi limbah kemasan plastik di lingkungan sekitar. 

Acara dilanjutkan dengan kegiatan yang merekatkan keakraban para pengelola dan pemagang PSPD UGM. Sempat lama tidak bertatap muka karena pandemi Covid-19, para pengelola dan anggota magang saling berkenalan dan bertukar cerita. Dalam kegiatan ini, setiap anggota PSPD UGM berbaur dan saling mengenal. Acara buka bersama internal PSPD UGM diakhiri pada pukul 20.00 WIB. Harapannya kegiatan ini dapat meningkatkan kekeluargaan antar para pengelola dan pemagang PSPD UGM serta menginisiasi dilaksanakannya kegiatan lain yang dapat memperkuat kebersamaan internal PSPD UGM.

Strategi Pemulihan Ekonomi Berbagai Negara Semasa Pandemi

Strategi Pemulihan Ekonomi Berbagai Negara Semasa Pandemi

Penulis:

Raevita Andriessa

SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan banyak keterbatasan dalam segala aspek kehidupan  termasuk ekonomi yang dapat mengancam kesejahteraan masyarakat. Peraturan pembatasan sosial yang terjadi di seluruh dunia menyebabkan banyak masyarakat yang mengalami pemberhentian paksa dari pekerjaan mereka. ACT News merangkum pernyataan dari International Labor Organization (ILO), di mana tingkat pengangguran global telah mencapai 207 juta orang pada tahun 2022. Jumlah ini meningkat cukup tajam dari tahun 2019 sebelum pandemi, yakni sebanyak 186 juta orang.

Peningkatan jumlah pengangguran ini tentunya menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, sehingga banyak perusahaan berpotensi mengalami penurunan laba dan terancam mengalami kebangkrutan. Peristiwa gulung tikar besar-besaran oleh banyak perusahaan di seluruh dunia telah menghambat pertumbuhan ekonomi global hingga menyebabkan kerugian yang tak sedikit. Menurut Bisnis.com, International Monetary Fund (IMF) menaksir kerugian ekonomi global akan mencapai USD 12,5 triliun atau IDR 178.750 triliun dan akan terus bertambah hingga tahun 2024. World Bank juga menyebutkan bahwa kegiatan ekonomi mengalami penyusutan pada tahun 2020 hingga 7% pada negara maju dan 2,5% pada negara berkembang, diikuti dengan pendapatan perkapita masyarakat dunia yang menurun hingga 3,6%.

Dalam menanggapi situasi perekonomian negara yang kian memburuk, tentunya pemerintahan suatu negara harus segera merancang strategi yang dapat menstabilkan kondisi ekonomi. Dua tahun berjalan sejak awal pandemi Covid-19 melanda dunia, banyak negara yang telah menerapkan strategi yang berhasil membalikkan keadaan perekonomian mereka secara perlahan. Selanjutnya, artikel ini akan merangkum strategi-strategi untuk meningkatkan stabilitas perekonomian yang umum dari berbagai negara.

Membangkitkan Perekonomian Digital

Peraturan pembatasan sosial yang berlangsung selama pandemi Covid-19 membuat masyarakat tak lagi dapat melakukan aktivitas perekonomian seperti sediakala. Keterlibatan teknologi digital  semakin meningkat untuk menjaga aktivitas perekonomian tetap berjalan tanpa harus memerlukan tatap muka, dan e-commerce merupakan salah satunya. Penggunaan platform e-commerce pun kian populer di berbagai negara dalam rangka membangkitkan perekonomian global secara perlahan tapi pasti.

Dikutip dari situs resmi United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Sekretaris Jenderal UNCTAD menyatakan bahwa bisnis-bisnis yang bergerak di ranah digital telah banyak berkontribusi dalam menyelamatkan perekonomian dunia di masa pandemi. Mengkonfirmasi fakta tersebut, UNCTAD mencatat transaksi-transaksi yang ada di dalam e-commerce telah meningkatkan pangsa e-commerce dari perdagangan ritel global dari 14% pada 2019 menjadi sekitar 17% pada 2020 setelah pandemi Covid-19. Fakta ini juga menunjukkan popularitas penggunaan e-commerce yang kian meningkat dengan adanya perubahan perilaku konsumen yang disebabkan oleh paparan teknologi digital semasa pandemi.

Popularitas ini dibuktikan oleh capaian transaksi yang signifikan yang diperoleh perusahaan-perusahaan e-commerce selama masa pandemi, baik dari negara maju maupun negara berkembang. Sebagai contoh, Mercado Libre, e-commerce asal Amerika Latin melaporkan penjualan barang yang meningkat sebanyak dua kali lipat per harinya pada kuartal kedua tahun 2020 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Dilansir dari Retail.com, Korea Selatan saat ini merupakan negara dengan perekonomian digital yang paling berkembang pesat dengan jumlah keuntungan sebesar USD 160 milyar atau setara dengan IDR 2,214 triliun pada awal tahun 2022. Sementara itu, perekonomian digital di Indonesia juga diprediksi akan meningkatkan kontribusi sebesar 18,87% pada produk domestik bruto nasional pada tahun 2030.

Adanya kemajuan industri e-commerce di seluruh dunia saat ini memang belum mampu langsung mengembalikan keadaan perekonomian dunia seperti sediakala. Akan tetapi kontribusi dari aktivitas transaksi melalui e-commerce terhadap perkembangan perekonomian dunia tidak dapat disepelekan. Berdasarkan situs web resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa, penjualan e-commerce global melonjak menjadi $26,7 triliun pada 2019, naik empat persen dari tahun sebelumnya. Angka yang diperoleh tersebut tidak hanya termasuk keuntungan dari transaksi pada konsumen, tetapi juga perdagangan “business-to-business” (B2B), yang jika digabungkan bernilai 30% dari produk domestik bruto global.

Kebijakan Pemberdayaan UMKM

Peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara tentu saja tidak dapat dikesampingkan. Hal ini disampaikan oleh Wakil Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam pidatonya yang menyoroti pentingnya respons global untuk segera merumuskan kebijakan untuk mengurangi dampak pandemi Covid-19 pada UMKM negara masing-masing. Dalam pidato tersebut dijelaskan bahwa UMKM adalah tulang punggung perekonomian negara dan setiap negara memiliki tanggung jawab untuk menumbuhkan lingkungan perdagangan global yang mendukung dan meningkatkan keterlibatan UMKM dalam perdagangan internasional.

Jepang merupakan salah satu dari negara yang cepat tanggap dalam memberdayakan UMKM selama masa pandemi. Dilansir dari Reuters, terhitung sejak 23 Maret 2021, pemerintah Jepang mulai mengintensifkan permodalan terhadap UMKM yang terdampak oleh pandemi Covid-19. Dalam kebijakan barunya, pemerintah menurunkan suku bunga pinjaman untuk para pelaku UMKM, yakni sebesar maksimal 1%. Adanya kebijakan ini memudahkan para pemilik UMKM untuk mengakses modal dengan resiko kebangkrutan yang relatif lebih rendah. 

Sementara itu, dalam konteks dalam negeri, Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat bergantung pada keberadaan UMKM dalam perekonomiannya. Sebab, 99,92% usaha dalam keseluruhan sektor usaha yang ada di dalam perekonomian Indonesia berada dalam kategori UMKM. Dilansir dari situs web resmi Kemenko Perekonomian, pemerintah Indonesia  mengadakan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sejak tahun 2020 dengan jangkauan program sebanyak 30 juta unit UMKM di Indonesia. Program ini juga terbukti telah memperluas lapangan kerja di Indonesia sebanyak 4,55 juta orang seiring dengan bertambahnya 760 ribu orang yang membuka usaha.

Pembangunan Kerjasama Antar Negara

Dalam kondisi pandemi Covid-19, negara-negara juga harus menjaga kualitas diplomatik dengan negara-negara lain, salah satu caranya adalah dengan membangun kerjasama dalam bidang ekonomi. Hal ini diperlukan untuk saling bertukar benefit yang dimiliki oleh negara masing-masing dalam rangka untuk saling dukung dalam aktivitas perekonomian. Strategi ini merupakan salah satu strategi yang seringkali digunakan oleh negara-negara berkembang sebagai respon atas memburuknya kondisi ekonomi akibat pandemi Covid-19. 

Kesulitan ekonomi yang semakin terasa akibat adanya pandemi Covid-19 pada akhirnya mendorong negara-negara Afrika untuk membuka Area Perdagangan Bebas Benua Afrika (AfCFTA) pada awal Januari 2021 lalu. Mengutip situs web resmi PBB, perjanjian ini dibuat untuk melonggarkan batasan-batasan dari perdagangan dalam benua Afrika yang bertujuan untuk meningkatkan intensitas perdagangan intra-Afrika, meningkatkan kualitas industri, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan daya saing perdagangan Afrika di panggung global. Sekretaris Jenderal AfCFTA mengungkapkan bahwa adanya program ini diharapkan dapat mengurangi angka kemiskinan yang dialami oleh lebih dari 30 juta orang di seluruh Afrika dan meningkatkan kualitas hidup dari pelaku ekonomi benua Afrika.

Sementara itu dilansir dari Kompas.com, negara-negara ASEAN telah berencana melakukan integrasi digital untuk mendukung aktivitas perdagangan dalam kawasan tersebut sejak akhir tahun 2020. Integrasi digital yang akan dilakukan akan berupa pertukaran data untuk memandu penyusunan kebijakan dan pelayanan publik, serta melalui penyediaan beragam solusi digital untuk tujuan membangun resiliensi dalam sektor ekonomi di masa pandemi Covid-19. Adanya integrasi digital di kawasan ASEAN diharapkan untuk mampu membantu memulihkan kondisi ekonomi di negara-negara ASEAN dan meningkatkan GDP di tiap negara hingga USD 1 triliun pada tahun 2025.

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan nyaris seluruh negara mengalami kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh terbatasnya mobilitas manusia dalam melakukan segala jenis aktivitas. Oleh sebab itu, negara-negara dituntut untuk menjadi kreatif dalam menyusun strategi pemulihan ekonomi negara mereka. Dengan adanya upaya ini, perekonomian dunia diharapkan untuk bangkit kembali secara perlahan agar dapat kembali pulih sebagaimana keadaan sebelum pandemi Covid-19 menyerang.