Serial kajian perdagangan dunia yang ke-2 berlangsung pada tanggal 7 Maret 2014. Seri kajian kali ini membahas mengenai bagaimana peran OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dalam mempersiapkan AEC (ASEAN Economic Community) 2015 dengan pemantik diskusi Aldo Egi Ibrahim, mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Adanya AEC 2015 merupakan salah satu bentuk kerjasama ekonomi ASEAN yang telah disepakati pada KTT ASEAN di Singapura pada tahun 2007. Tujuan dibentuknya AEC 2015 adalah sebagai pasar tunggal di wilayah regional Asia Tenggara yang diwujudkan dalam bentuk pembebasan aliran barang, tenaga kerja, maupun aliran modal. Arus modal dapat bergerak bebas di kawasan ASEAN, sehingga para pemodal dapat bebas berinvestasi dimanapun dalam kawasan regioal Asia Tenggara.
Kegiatan
Mengawal kedaulatan pangan dapat berarti bahwa dalam proses produksi pangan dalam negeri, dari awal hingga akhir prosesnya adalah hasil dari jerih payah sendiri tanpa mengandalkan pada impor negara lain. Jika kita merefleksikan pada situasi pangan bangsa sendiri, situasi kemandirian yang berdaulat seperti tidak terlihat jika berkaca pada peningkatan impor pangan maupun neraca perdagangan dengan negara lain yang kian merugi.
Nusantara saat ini dan dilemanya yang rupanya membuat Sdri Nur Saudah, seorang asisten peneliti yang memaparkan gagasannya dalam kajian pekanan World Trade Model Community (WTMC) merasa gelisah pada kondisi pangan Nusantara. Kegelisahan itu tidaklah tidak beralasan, melainkan memang sudah lama kondisi tersebut semakin menjadi. Pangan yang sejatinya merupakan kunci sebuah bangsa maju, seperti ruh Indonesia sebagai Nusantara, Gemah Ripah Loh Jinawi.
For detailed information, please visit: SCSIT Jakarta.PSPD UGM kembali mengadakan kegiatan Kursus Singkat Perdagangan Internasional (Short Course Series in International Trade/SCSIT). Kegiatan yang diselenggarakan secara tahunan ini merupakan bagian pertama dari empat rangkaian kegiatan selama satu tahun. Adapun tema SCSIT kali ini adalah “Mengenal Konsep ‘Pengetahuan Tradisional’ dan ‘Ekspresi Budaya Tradisional’ dalam Industri Pariwisata”. Informasi lebih detil, silakan kunjungi halaman kegiatan SCSIT.
Analisis GVC Jasa Pendidikan Tinggi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Oleh: Ali Nurudin
WTO melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) menjelaskan bahwa pendidikan telah menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan. Hal ini kemudian berimplikasi pada semakin besarnya upaya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi dalam rangka meningkatkan value added mereka.
Bagi negara berkembang, seperti Indonesia, komersialisasi pendidikan tinggi dapat menjadi peluang sekaligus ancaman. Peluang yang ada adalah lembaga pendidikan tinggi dapat menjadi salah satu komoditi yang kompetitif jika mampu di desain dan sesuai dengan standar internasional yang ada. Sementara ancamannya karena dapat mengakibatkan tertinggalnya lembaga pendidikan tinggi jika tidak dapat menyesuaikan dengan standar internasional yang ada dan dimungkinkan akan kalah bersaing oleh lembaga pendidikan yang telah berstandar internasional.
Analisis GVC Industri Jamu Nasional
Oleh: Woro Rissa Wijaya
Obat tradisional atau Jamu telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan atau ramuan yang berasal dari tumbuhan, hewan, atau kandungan mineral untuk pengobatan. Saat ini obat tradisional telah menjadi pilihan karena selain harganya yang murah juga dianggap memiliki khasiat yang baik bagi tubuh. Sekitar 28,69% masyarakat Indonesia memilih obat tradisional dimana 93% menyatakan bahwa obat tradisional memberikan manfaat bagi tubuh. Masyarakat juga saat ini telah banyak banyak menggunakan prinsip back to nature dalam hal pengobatan. Dimana, obat kimia dianggap meninggalkan residu di tubuh yang dikhawatirkan dapat menimbulkan berbagai penyakit metabolik seperti diabetes, kolesterol tingi, asam urat, batu ginjal, dan hepatitis.
GVC Kerajinan Kulit Manding
Oleh: Fauzan Zufa
Di Kabupaten Bantul, Provinsi Yogyakarta, sekitar 99 persen dari masyarakatnya bergerak di bidang industri kecil rumahan. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari image Yogyakarta sebagai kota wisata sehingga produk yang dihasilkan oleh jenis industri semacam itu adalah cenderamata. Kini terdapat sejumlah sentra cenderamata, seperti gerabah di Kasongan, barang kulit di Manding, topeng kayu di Pendowoharjo dan kerajinan bambu di Muntuk. Ada pula industri kerajinan batik di Imogiri dan Srandakan, perak dan imitasi di Banguntapan, keris di Girirejo, serta kerajinan serat gelas (fibre glass) di Karangjambe, Banguntapan. Selain itu ada pula kerajinan Tatah Sungging (pahatan tatah wayang) yang sudah menjadi industri kecil unggulan. Salah satu desa wisata yang terkenal di Bantul Yogyakarta adalah Desa Wisata Kerajinan Kulit di Desa Manding Sabdodadi Bantul. Kawasan ini memiliki banyak pengrajin kulit yang sudah ada sejak tahun 1958.
Pengantar
The Global Value Chain (GVC) telah menjadi instrumen penting dalam menganalisis perdagangan global. Keterbukaan pasar yang telah mempermudah lalu lintas produk dari satu negara ke negara lainnya tentunya akan berimplikasi negatif jika negara tidak mampu meningkatkan daya saing dan nilai tambah produknya. Nilai tambah (value added) produk merupakan penekanan utama dalam GVC. Peningkatan value added dalam komoditas perdagangan menjadi indikator berhasil atau tidaknya suatu negara memamfaatkan keterbukaan pasar.
Solusi Alternatif Darurat Menuju Daulat
Pangan menjadi sektor vital bagi setiap negara. Hal ini ditegaskan oleh Presiden Soekarno bahwa “Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner.” Dari ungkapan tersebut, tergambar bahwa sepatutnya pangan menjadi prioritas utama. Akan tetapi sayangnya hal tersebut tidak terimplementasikan dengan baik, dimana urgensitas pangan pada kenyataannya tidak berbading lurus dengan kebijakan pemerintah, terutama pada masa orde baru, yang lebih menekankan pada pengembangan sektor industri. Implikasinya, sektor pangan telah banyak terlupakan.
Rotan merupakan salah satu kekayaan hutan Indonesia sebagai negara tropis yang memberi sumbangan besar terhadap perekonomian Indonesia. Saat ini ketersediaan rotan sangat banyak di hutan Indonesia terutama di wilayah Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Indonesia merupakan penghasil 85% rotan mentah dunia yaitu dengan nilai sekitar 699.000ton/tahun. Akan tetapi sayangnya kondisi ini tidak serta merta menempatkan Indonesia sebagai leading country dalam perdagangan rotan internasional. Saat ini Indonesia menempati posisi ketiga (7,68%) dalam perdagangan rotan di pasar global setelah China (20,72%) dan Italia (17,71%). Hal ini tentunya menjadi isu yang penting untuk dianalisis lebih mendalam dengan melihat faktor-faktor yang menghambat perdagangan rotan Indonesia.
Keterbukaan pasar dan perdagangan bebas dapat menjadi hambatan bagi negara berkembang. Salah satu dampak yang paling terasa adalah negara berkembang hanya menjadi pasar dan penerima lisensi tanpa adanya proses transfer teknologi. Implikasinya negara-negara berkembang tidak mampu mengembangkan kapasistasnya sendiri dalam kompetisi perdagangan dunia.
Karena mengalami kesulitan dalam pengembangan teknologi, salah satu isu yang kemudian menjadi hangat diwacanakan oleh negara-negara berkembang adalah terkait dengan Traditional Knowledge (TK) dan Traditional Cultural Expressions (TCE). TK dan TCE umumnya mengacu pada sistem pengetahuan yang tertanam dalam tradisi budaya, masyarakat adat, lokal maupun regional. Negara berkembang sangat peduli terhadap isu ini karena pada kenyataannya sebagian besar dari mereka memiliki kekayaan kultural yang bernilai ekonomi sangat besar.