Arsip:

Christina Vania Winona

Menengok Peluang Indonesia dalam Pelaksanaan High Level Forum on Multi-Stakeholders Partnership

Menengok Peluang Indonesia dalam Pelaksanaan High Level Forum on Multi-Stakeholders Partnership

Penulis :

Christina Vania Winona, S.I.P

Peneliti, Kepala Divisi Kesekretariatan, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Illustrasi :

Muna Rihadatul Aisi, S.Sos

Kepala Devisi Mediatek Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Senin (5/2), Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM menerima kunjungan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Bappenas RI). Kunjungan tersebut dilakukan dalam rangka pendalaman isu perdagangan dunia terkait persiapan pelaksanaan kegiatan High Level Forum on Multi Stakeholders Partnership Tahun 2024. Selain itu, kunjungan ini dilakukan untuk mendiskusikan terkait penajaman rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2025 - 2029 Bidang Politik Luar Negeri dan Kerjasama Pembangunan Internasional. Sekretaris Eksekutif PSPD UGM, Dr. Maharani Hapsari, bersama Siti Daulah Khoiriati, MA dan Taufik Adiyanto, S.H., LL.M., yang merupakan tim pakar PSPD UGM menyambut hangat perwakilan yang hadir.

Pada sesi diskusi, Dr. Maharani Hapsari menyampaikan bahwa keresahan negara berkembang adalah adanya simplifikasi tenaga kerja yang terjadi akibat fluktuasi setelah pandemi serta kebutuhan untuk perdagangan secara makro. Oleh karena itu, untuk membangun kebijakan diperlukan adanya peran aktif dari berbagai pihak. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah intervensi korporasi pada regulasi dan melihat bagaimana sebuah negara bisa mengambil pajak untuk redistribusi global sehingga dapat berdampak terhadap kesejahteraan tenaga kerja di level mikro.

Langkah yang dapat dilakukan untuk jangka pendek dalam pembuatan regulasi dan pemetaan data yakni diperlukan bingkai di level daerah untuk mengikutsertakan suara daerah dengan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah. Sedangkan untuk jangka panjang, dibutuhkan upskilling dan upgrading Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengatasi permasalahan daya saing buruh yang rendah. 

Siti Daulah Khoiriati, MA, menambahkan bahwa saat ini industri manufaktur ringan tidak lompat ke sektor yang bernilai tinggi, tetapi kembali menjadi eksportir komoditas mentah. Sedangkan, negara-negara tujuan ekspor menginginkan produk dengan nilai yang tinggi. Free trade yang sekarang terjadi dinilai tidak adil karena resiprositas, upah buruh tinggi yang dibarengi dengan produktivitas rendah, dan adanya ekspor buruh. Untuk itu, dibutuhkan perancangan komoditas unggulan yang didorong oleh pemerintah. Sedangkan kondisi Indonesia saat ini yaitu tidak memiliki fokus komoditas unggulan. Di sisi lain, hal tersebut juga perlu disesuaikan dengan banyaknya UMKM dengan berbagai sektor yang menjadi fokus mereka.

Pemaparan dilanjutkan oleh Taufik Adiyanto, S.H., LL.M., yang menyampaikan mengenai isu keamanan nasional yang masih menjadi pertimbangan dalam perdagangan dunia. Oleh sebab itu, diperlukan adanya promosi globalisasi yang inklusif dari World Trade Organization (WTO) agar kembali ke multilateralisme. Selain itu, terdapat beberapa permasalahan lain yang muncul diantaranya Indonesia yang perlu mengadakan inspeksi pra-pengiriman sehingga terdapat kenaikan biaya, isu Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan standardisasi, belum adanya kepastian hukum terkait trade and sustainability yang dibahas di G20, TRIPS Waiver yang tidak boleh kaku ke negara berkembang, dan perlunya subsidi perikanan.

Diskusi ditutup dengan tanggapan dari pihak Bappenas bahwa perlu mendongkrak kualitas pendidikan untuk mengatasi gap SDM yang terjadi karena belum adanya keselarasan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Misalnya, pemetaan sumber daya buruh yang menjadi kewenangan pemerintah daerah sedangkan pemerintah pusat memiliki data tersebut hanya dari kementerian. Oleh karena itu, perlu diadakan pemetaan resources center daerah dalam bidang apapun, yang tentunya perlu didukung melalui integrasi data dari berbagai kementerian yang ada di Indonesia.

Kolaborasi PSPD dan Fakultas Geografi UGM Gelar Forum Dialog Komunitas (FDK) Bertajuk Pembangunan Ekonomi Biru

Kolaborasi PSPD dan Fakultas Geografi UGM Gelar Forum Dialog Komunitas (FDK) Bertajuk Pembangunan Ekonomi Biru

Penulis:

Christina Vania Winona, S.I.P

Kepala Divisi Kesekretariatan, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM (PSPD UGM) bersama Fakultas Geografi UGM menyelenggarakan Forum Dialog Komunitas (FDK) pada Sabtu (23/9). Kegiatan yang sekaligus mengawali peluncuran Circular Economy Forum (CEF) 2023 turut menghadirkan para praktisi komunitas lokal untuk berbagi pengalaman dan ide terkait isu ekonomi biru. Forum ini digelar untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang mendukung peran komunitas lokal dalam pembangunan ekonomi biru pada tingkat nasional dan global. 

FDK dibuka oleh Dekan Fakultas Geografi UGM, Dr. Danang Sri Hadmoko, S.Si., M.Sc. dan Kepala PSPD UGM, Dr. Riza Noer Arfani. Dr. Danang menekankan bahwa Indonesia memiliki mega biodiversity yang dapat menghasilkan berbagai produk tidak hanya produk mentah, namun bisa berupa produk kosmetik atau farmasi. “Potensi laut Indonesia tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Melainkan yang harus menjadi aktor utama adalah masyarakat lokal.” Dilanjutkan oleh Dr. Riza, FDK diharapkan dapat menghasilkan kolaborasi berkelanjutan dalam level produksi pengetahuan dan rancangan rekomendasi kebijakan mengenai ekonomi biru. 

Forum dilanjutkan oleh pemaparan Sefrianto Saleda atau yang kerap dipanggil Kak Seiya dari Konservasi Indonesia, Papua Barat. Kak Seiya menjelaskan bahwa Konservasi Indonesia mendorong ekonomi biru melalui pendekatan proteksi-produksi. Pendekatan ini diterapkan dalam pariwisata berkelanjutan, perikanan berkelanjutan, dan pertanian/perkebunan berkelanjutan. Upaya untuk mendukung pendekatan ini dilakukan dalam bentuk sosialisasi, pemetaan potensi wisata, dan penguatan kapasitas pengelola wisata.

Menyambung Kak Seiya, Dhimas Driessen dari Tani Remen Budaya (TRB) Creative, Jawa Tengah menyampaikan bahwa pertanian sangat erat hubungannya dengan ekonomi sirkular. Program yang pernah diinisiasi oleh TRB Creative adalah Rumah Kompos, Pertanian Berkelanjutan, Budaya untuk Pertanian, Produk Sehat, dan berbagai program lainnya yang sifatnya saling berkelanjutan. Seluruh program dilaksanakan mulai dari desa, hingga kabupaten atau kota. 

Dilanjutkan oleh Faizal Naf’an (Cak Aan) dari Rukun Nelayan Weru, Jawa Timur, menjelaskan bahwa saat ini di Lamongan, Jawa Timur terdapat beberapa industri yang dibangun di dekat pantai. Akibatnya, wilayah tangkapan nelayan menjadi terganggu. Tidak jarang nelayan juga merasa khawatir akan adanya kecelakaan laut karena ramainya lalu lintas kapal di area tersebut. Maka dari itu, dibutuhkan penyesuaian aktivitas antara industri dengan nelayan lokal dan penyediaan akomodasi yang mendukung keselamatan aktivitas di laut. 

Pemaparan dilanjutkan Josh Handani, Ketua Konsorsium Ekonomi Sirkular Indonesia (KESI), Bali & D.I. Yogyakarta, yang menyampaikan dedikasinya pada ekonomi sirkular berawal dari kegiatan membersihkan lingkungan dan sungai. Kegiatan ini menumbuhkan urgensi untuk mengurangi sampah dengan memulai membuat produk berbahan natural yang digunakan sendiri. Kini, beliau telah sukses memasarkan produk sirkular di pasar internasional. 

Forum ditutup dengan penyampaian tanggapan dari akademisi Fakultas Geografi UGM, Dr. Agr. Evita Hanie Pangaribowo, S.E., Midec, menjelaskan bahwa ekonomi biru yang didominasi oleh bisnis skala kecil memiliki berbagai macam hambatan yang berbeda, tergantung wilayah bisnis tersebut berada. Secara garis besar hambatan berasal dari perubahan iklim dan bencana alam. Hambatan lainnya berupa harga jual yang akan memengaruhi kualitas kesejahteraan pelaku bisnis skala kecil. Solusinya adalah melalui pemberdayaan dan pelatihan manajemen risiko yang melibatkan pelaku bisnis skala kecil. Pemerintah juga perlu hadir, salah satunya dengan memberikan asuransi kepada pelaku bisnis skala kecil terkait dampak dari hambatan perubahan iklim dan bencana alam.

Diskusi PSPD UGM dengan Tim Peneliti FISIP UNDIP Mengenai Penerapan ATIGA di Indonesia dan ASEAN

Diskusi PSPD UGM dengan Tim Peneliti FISIP UNDIP Mengenai Penerapan ATIGA di Indonesia dan ASEAN

Penulis:

Christina Vania Winona, S.I.Ph

Kepala Divisi Kesekretariatan, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM menerima kunjungan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (FISIP UNDIP) pada Jumat, 11 Agustus 2023. Kunjungan dilakukan oleh Prof. Dr. Drs. Hardi Warsono, M.T. dan 6 peneliti untuk memperoleh pemahaman terkait pemberlakuan ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement). Bergabung melalui media daring, Kepala PSPD UGM, Dr. Riza Noer Arfani menyambut baik kehadiran dari perwakilan yang hadir. 

Diskusi membahas berbagai isu dan dampak penerapan ATIGA terhadap perdagangan dan upaya Indonesia untuk mendukung ATIGA, baik di dalam negeri maupun lingkup ASEAN. Di akhir sesi diskusi, perwakilan FISIP UNDIP menyampaikan ketertarikan untuk menjalin kerja sama dengan PSPD UGM baik dalam hal produksi pengetahuan maupun kegiatan lainnya, salah satunya mengenai isu ekonomi sirkular. 

 

Sarasehan Demokrasi Ekonomi Indonesia ”Inspirasi dari Laut: Cerita Kehidupan Komunitas dan Peluang Ekonomi Biru untuk Masyarakat Lokal”

Sarasehan Demokrasi Ekonomi Indonesia ”Inspirasi dari Laut: Cerita Kehidupan Komunitas dan Peluang Ekonomi Biru untuk Masyarakat Lokal”

Penulis:

Christina Vania Winona, S.I.Ph

Kepala Divisi Kesekretariatan, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM menyelenggarakan Kelas Komunitas Berdaya sekaligus Sarasehan Demokrasi Ekonomi Indonesia (SARDEIN) volume VI dengan mengangkat tema ‘Inspirasi dari Laut: Cerita Kehidupan Komunitas dan Peluang Ekonomi Biru untuk Masyarakat Lokal’ pada Jumat (28/7). Forum digelar secara daring selama 90 menit dan diikuti oleh puluhan komunitas yang bergerak di pelestarian pesisir dan ekonomi kreatif.

Berkolaborasi dengan Suryakanta Institute dan ECCO Foundation, PSPD UGM menghadirkan panelis dari kalangan komunitas pesisir Lombok dan Cilacap. Forum dibuka dengan sambutan dari Mario Aden Bayu Valendo, S.I.P selaku Ketua Penyelenggara CEF 2023 yang memberikan pengantar pengenalan terkait CEF 2023 rangkaian acaranya. Ekonomi biru akan diangkat sebagai fokus tema Circular Economy Forum (CEF) 2023 yang merupakan agenda tahunan PSPD UGM yang kedua. Melalui CEF, saat ini telah terbentuk beberapa kajian seputar ekonomi sirkular yang akan digunakan untuk rekomendasi kebijakan. Agenda tersebut akan dilakukan secara keberlanjutkan hingga tercipta kebijakan publik sekaligus implementasinya mampu menjamin keseimbangan antara ekonomi dan ekologi.

Melalui CEF 2023, komunitas diharapkan mampu saling tukar ilmu pengetahuan dalam merawat gerakannya. Rangkaian CEF 2023 yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai dengan Desember 2023 juga dimaksudkan sebagai bentuk fasilitasi kepentingan komunitas kepada pemangku kebijakan. Aktivitas yang dilakukan meliputi Kelas Komunitas Berdaya, Forum Dialog Komunitas, kampanye pelestarian alam, riset, konferensi pembangunan nasional, dan konferensi internasional untuk mengkaji kebijakan publik.

Kemudian, acara dilanjutkan dengan pemaparan dari narasumber pertama, yaitu Iwan Suyadi, S.E., M.Pd, Wakil Ketua Turtle Conservation Community di Lombok yang telah berdiri sejak 2018. Gerakan komunitas ini sempat menghadapi tantangan dari gempa bumi Lombok tetapi upaya pelestarian alam melalui konservasi penyu masih tetap berlanjut hingga saat ini. Gerakan ini memiliki misi penyelamatan penyu yang dilakukan dengan patroli menyisir pesisir Lombok. Hingga saat ini, TCC telah melepas sebanyak 27.715 ekor penyu kembali ke habitatnya. Selain preservasi penyu, TCC juga merehabilitasi karang yang berdampak baik dari segi lingkungan dan pariwisata.  Namun, di sisi lain, TCC juga menemukan beberapa tantangan, di antaranya adalah jumlah nelayan terlampau banyak jika dibandingkan dengan ketersediaan sumber pendapatan dari laut dan oknum-oknum yang masih menjual telur penyu.

Narasumber kedua adalah Bayu Nur Aji yang membina komunitas masyarakat Indonesian Ecotourism Community di Cilacap, Jawa Tengah.  Indonesia Ecotourism Community berada di pesisir Cilacap, tepatnya Kecamatan Kampung Laut yang dulu disebut Segoro Anakan, yang saat ini lautannya perlahan-lahan menghilang. Fokus pendampingan Indonesian Ecotourism Community adalah pergantian profesi pada masyarakatnya melalui cara: (1) pemanfaatan lahan timbun untuk pertanian; (2) mengakses bantuan dari pemerintah; (3) pengembangan pariwisata dengan produksi olahan laut. Selama proses pendampingan, terdapat tantangan besar, diantaranya problematika kebijakan publik karena lokasinya yang bersinggungan langsung dengan Pulau Alcatraz-nya Indonesia. Selain itu, idealisme masyarakat Kampung Laut Cilacap untuk bertahan hidup masih terasa dengan kondisi mereka yang belum sepenuhnya membuka diri, sehingga pendampingan harus menggunakan trik tertentu, misalnya tidak menjanjikan apapun terhadap masyarakat Kampung Laut Cilacap.

Narasumber ketiga adalah Prof. Dr. Purwo Santoso, MA. Beliau menyampaikan jika sekalipun blue economy tampak utopis, konsep ini juga realistis. Ekonomi biru dapat disamakan konsepnya dengan ekonomi hijau, hanya fokus pembangunannya ada di laut. Dalam konsep ini, beliau menyampaikan bahwa terdapat dilema di antara ekonomi dan ekologi karena ekonomi membuka peluang tetapi juga meningkatkan ancaman krisis lingkungan. Oleh karenanya, keadilan ekonomi seharusnya mulai dibangun dan dapat dimulai dari desain koperasi dari hulu ke hilir yang selaras dengan modifikasi pada model bisnis sehingga narasinya adalah menjaga keadilan.

Acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab dengan peserta dan kemudian ditutup dengan rangkuman sesi narasumber.