Arsip:

op ed

Kerja sama Ekonomi Sirkular Afrika – Uni Eropa: Perlunya Dukungan Kebijakan Publik dan Pengenalan Ekonomi Sirkular di Negara-Negara Afrika

Kerja sama Ekonomi Sirkular Afrika – Uni Eropa: Perlunya Dukungan Kebijakan Publik dan Pengenalan Ekonomi Sirkular di Negara-Negara Afrika

Penulis :

Lukas Andri Surya Singarimbun

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrasi:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Sebagai sebuah sistem yang berusaha menjembatani antara perkembangan ekonomi pada satu sisi dan keberlanjutan pada sisi yang lainnya, praktik ekonomi sirkular juga memperoleh perhatian dari negara berkembang seperti negara-negara di Benua Afrika. Dalam perkembangannya, negara-negara di Afrika menjalin kerja sama untuk mengembangkan ekonomi sirkular terutama dengan negara-negara yang telah menerapkan ekonomi sirkular seperti di Uni Eropa. Kerja sama dengan Uni Eropa bukan hanya dapat mendorong percepatan dalam aspek inovasi dan teknologi untuk penerapan ekonomi sirkular namun juga dapat diutilisasi untuk mendorong pembuatan kebijakan publik dan perubahan dalam masyarakat di negara-negara Afrika yang semakin mengadopsi nilai-nilai dan praktik dari ekonomi sirkular.

Sejak eksistensi joint-declaration antara Uni Afrika dan Uni Eropa pada tahun 2017 dalam African Union-European Union Summit, pemerintah negara-negara di kedua organisasi regional tersebut sepakat untuk bekerja sama dalam mempercepat akselerasi pengembangan ekonomi sirkular di negara-negara Afrika. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai inisiatif yang terjalin oleh keduanya dalam konteks pengembangan ekonomi sirkular dari aspek pendanaan, perkembangan teknologi, pembelajaran kebijakan, dan akses pasar dari sistem ekonomi sirkular di Afrika. Sebelumnya pada tahun 2014, kerja sama Uni Eropa dan negara-negara Afrika juga telah dilakukan melalui mekanisme SWITCH Africa Green yang pendanaannya diberikan oleh Uni Eropa dengan melibatkan pihak ketiga seperti United Nations Environment Programme (UNEP) untuk mendukung pembangunan ekonomi hijau dan berkelanjutan di wilayah Afrika.

Dalam konteks regional, beberapa negara di kawasan Afrika telah membentuk beberapa forum kerja sama yang bertujuan untuk mempercepat akselerasi pengembangan ekonomi sirkular di Afrika. Pada 2016, African Circular Economy Network (ACEN) dibentuk oleh praktisi dan para ahli untuk mempercepat pengembangan ekonomi sirkular di regional Afrika melalui pengembangan teknologi dan inovasi yang dilakukan dengan berkolaborasi antara negara maju dan negara berkembang. Pada tahun 2017, African Circular Economy Alliances (ACEA) dibentuk atas kesepakatan kerja sama antara Rwanda, Nigeria dan Afrika Selatan. ACEA ditujukan sebagai forum koordinasi antar negara yang tergabung di dalamnya untuk mengembangkan proyek dan program yang mendukung percepatan penerapan ekonomi sirkular. Di samping keterlibatan pemerintah beberapa negara, akselerasi penerapan ekonomi sirkular di Afrika juga dilakukan oleh para profesional. Terakhir pada tahun 2019, negara-negara Afrika melalui African Ministerial Conference on the Environment (AMCEN) juga membuat deklarasi bersama dengan nama Deklarasi Durban yang memasukkan ambisi ekonomi sirkular ke dalam kerja sama pembuatan kebijakan untuk mendukung keberlanjutan lingkungan.

Dalam konteks nasional, negara-negara Afrika juga telah mengembangkan praktik yang dapat tergolong ke dalam ekonomi sirkular seperti pengelolaan sampah dan limbah, pengurangan penggunaan energi dan air, serta utilisasi barang bekas terhadap pembuatan produk. Beberapa negara di Afrika sudah memberikan fokus terhadap pengembangan ekonomi sirkular, misalnya Afrika Selatan yang berfokus pada manufaktur, energi terbarukan, dan pengolahan sampah (Tahulela & Ballard, 2020) serta Ghana dan Nigeria yang juga sudah mulai memberikan fokus terhadap penanganan e-waste (Maphosa & Maphosa, 2020). Meskipun demikian, dalam aspek kebijakannya belum terdapat kategorisasi yang jelas terhadap apa yang merupakan praktik ekonomi sirkular dan apa yang tidak sehingga identifikasi dan pendataan masih belum komprehensif. Lebih lanjut, kebijakan-kebijakan yang ada di dalam domestik masing-masing negara cenderung belum secara holistik mengatur mengenai penerapan ekonomi sirkular. 

Meskipun pembahasan mengenai kerja sama ekonomi sirkular antara negara-negara Afrika dan Uni Eropa masih berkutat dalam aspek pengembangan teknologi dan bantuan finansial, dalam beberapa perjanjian kerja sama dan diskusi, keduanya sepakat bahwa aspek kebijakan publik dan juga pengenalan dari masyarakat terhadap ekonomi sirkular juga dapat didorong oleh negara-negara Afrika dalam kerja sama dengan Uni Eropa untuk mengembangkan ekonomi sirkular baik secara regional maupun nasional. 

Dalam aspek kebijakan publik untuk mendukung pengembangan ekonomi sirkular, negara-negara di Afrika masih belum merancang kebijakan publik mengenai pengembangan ekonomi sirkular secara holistik. Menurut Desmond dan Asamba, dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan proposal kebijakan yang mempercepat penerapan ekonomi sirkular semakin banyak dibahas di beberapa negara Afrika namun masih menunggu untuk dijadikan peraturan dan undang-undang dalam kebijakan pemerintah (Desmond & Asamba, 2019). Di Afrika Selatan misalnya, penerapan ekonomi sirkular dalam perusahaan manufaktur belum diatur secara holistik dan tegas oleh pemerintah. Ketiadaan kebijakan publik, standarisasi yang jelas, dan juga peraturan terhadap perusahaan-perusahaan manufaktur menjadi penghambat utama terhadap perusahaan dalam menjalankan praktik ekonomi sirkular di dalam sistem produksinya (Ohiomah & Sukdeo, 2022). 

Melalui mekanisme kerja sama dengan Uni Eropa, negara-negara di Afrika berpotensi mengembangkan kebijakan pengembangan ekonomi sirkular secara lebih komprehensif sebagaimana dilakukan di beberapa negara Uni Eropa. Menurut Wadee dan Tilkanen meskipun terminologi ekonomi sirkular menjadi konsep yang baru di negara-negara Afrika, praktik yang ada dalam konsep ekonomi sirkular ternyata telah berkembang di masyarakat Afrika. Namun, dalam perkembangannya, kebijakan ekonomi sirkular di negara-negara Afrika belum dilaksanakan dengan inklusif dengan tidak melibatkan berbagai pihak yang seharusnya turut andil. Oleh karena itu, kerja sama dengan Uni Eropa yang notabene telah mengembangkan sistem ekonomi sirkular dapat memberikan gambaran terhadap pemerintah-pemerintah negara Afrika terhadap pihak-pihak mana saja yang yang terlibat dan program-program seperti apa yang harus dijalankan dalam pengembangan ekonomi sirkular. Selain itu, keberhasilan Uni Eropa dalam mengembangkan sistem ekonomi sirkular dapat menjadi pembelajaran kebijakan terutama dalam mekanisme untuk mendorong perusahaan dan masyarakat agar mau mengadopsi nilai-nilai ekonomi sirkular di dalam perusahaan bisnis dan kegiatan masyarakatnya. 

Selain dalam hal pembuatan kebijakan, kerja sama dengan Uni Eropa juga harus dilakukan dalam tahap implementasi peraturan dalam pengembangan ekonomi sirkular. Berdasarkan laporan yang dikemukakan oleh Trinomics, ketegasan dan penegakan terhadap peraturan yang mengharuskan perusahaan-perusahaan untuk beralih ke sistem ekonomi sirkular masih sangat lemah. Bahkan di banyak negara di Benua Afrika, peraturan dan hukum yang mengatur mengenai keberlanjutan lingkungan dapat dielakkan melalui praktik korupsi (Forson et al., 2017). Hal ini kemudian yang harus menjadi perhatian bagi pemerintah negara-negara di Afrika dan Uni Eropa dalam melakukan kerja sama pengembangan ekonomi sirkular untuk memastikan bahwa implementasi kebijakan yang telah disusun oleh keduanya dapat diimplementasikan dengan baik. Dalam konteks ini, negara-negara di Afrika bukan saja berfokus pada pembuatan kebijakan namun juga harus melingkupi aspek pengawasan terhadap implementasi ekonomi sirkular terutama pada perusahaan-perusahaan bisnis di Afrika.

Di samping perlunya dukungan kebijakan publik yang holistik, pengembangan ekonomi sirkular di Afrika juga harus memperhatikan aspek perubahan perilaku dari masyarakat dan pebisnis di Afrika. Praktik dari ekonomi sirkular tidak hanya melibatkan para pelaku bisnis tapi juga para konsumen yang menggunakan produk tersebut. Sayangnya,  hingga saat ini masih banyak masyarakat di Afrika yang belum terlalu mengenal ekonomi sirkular dan praktik-praktik yang bisa dilakukan untuk mengembangkan ekonomi sirkular. Oleh karena itu, pengenalan ekonomi sirkular kepada masyarakat menjadi hal yang penting sejalan dengan argumen yang dikemukakan oleh Zurbrügg et al., (2014) dalam penelitiannya mengenai perkembangan pengolahan limbah di negara-negara berkembang yang menyatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan dari pada proyek pengolahan limbah di samping bergantung pada fungsi institusi pemerintah yang baik juga bergantung pada penerimaan dan pemahaman dari masyarakat terhadap ide dari pengolahan sampah dan limbah. 

Dalam upaya mengatasi hal tersebut, melalui kerja sama dengan Uni Eropa sebagaimana dilakukan oleh Denmark dan Indonesia, negara-negara di Afrika dapat menginisiasi konferensi tahunan yang membahas mengenai ekonomi sirkular dengan melibatkan berbagai pihak terutama masyarakat dan para pengusaha dan pebisnis. Melalui diskusi dan konferensi dengan Uni Eropa, negara-negara di Afrika dapat mendorong pengenalan terhadap masyarakat dalam memparktikkan ekonomi sirkular. Pertukaran informasi dan praktik dalam ekonomi sirkular melalui melalui kerja sama keduanya dapat mendorong peningkatan pemahaman dari masyarakat terhadap ekonomi sirkular. 

Diantara berbagai isu kompleks lainnya yang merupakan tantangan dalam penerapan ekonomi sirkular di negara-negara Afrika, formulasi dan pengawasan implementasi kebijakan ekonomi sirkular masih menjadi isu utama yang menghambat percepatan implementasi ekonomi sirkular di negara-negara di Benua Afrika, terlihat dari beberapa penelitian yang dilakukan. Selain itu, pengenalan ekonomi sirkular kepada masyarakat dan para pelaku bisnis menjadi krusial dalam usaha untuk institusionalisasi nilai dan praktik ekonomi sirkular di masyarakat negara-negara di Afrika. Oleh karena itu, meskipun kerja sama regional dalam pengembangan ekonomi sirkular di Afrika sudah dimulai dan berkembang melalui kerja sama Afrika dan Uni Eropa, masih dibutuhkan adanya peningkatan kerja sama dengan negara-negara Uni Eropa telah terlebih dahulu sudah menjalankan ekonomi sirkular dalam hal pembuatan kebijakan yang secara holistik dan komprehensif dalam mengembangkan sistem ekonomi sirkular serta pengenalan ekonomi srikuar kepada masyarakat negara-negara Afrika. Dengan adanya kebijakan dan pengenalan ekonomi sirkular, ekonomi sirkular di Afrika dapat tercapai  dan dipercepat melalui kerja sama dengan Uni Eropa sebagai bagian terdepan dalam implementasi ekonomi sirkular di dunia. 

Referensi

Desmond, P., & Asamba, M. (2019). Accelerating the transition to a circular economy in Africa (pp. 152–172). https://doi.org/10.4324/9780429434006-9

Forson, J. A., Buracom, P., Chen, G., & Baah-Ennumh, T. Y. (2017). Genuine Wealth Per Capita as a Measure of Sustainability and the Negative Impact of Corruption on Sustainable Growth in Sub-Sahara Africa. South African Journal of Economics, 85(2), 178–195.

Maphosa, V., & Maphosa, M. (2020). E-waste management in Sub-Saharan Africa: A systematic literature review. Cogent Business & Management, 7(1), 1814503. https://doi.org/10.1080/23311975.2020.1814503

Ohiomah, I., & Sukdeo, N. (2022). Challenges of the South African economy to transition to a circular economy: A case of remanufacturing. Journal of Remanufacturing. https://doi.org/10.1007/s13243-021-00108-z

Tahulela, A., & Ballard, H. (2020). Developing the Circular Economy in South Africa: Challenges and Opportunities (pp. 125–133). https://doi.org/10.1007/978-981-13-7071-7_11

Zurbrügg, C., Caniato, M., & Vaccari, M. (2014). How Assessment Methods Can Support Solid Waste Management in Developing Countries—A Critical Review. Sustainability, 6, 545–570. https://doi.org/10.3390/su6020545

Circular economy is making women’s work, work for women

Circular economy is making women’s work, work for women

Ilustrasi Oleh: Marsha

Written by:

Hannah Dayman

Deakin University

CWTS UGM-ACICIS Intern (January – February 2022)

The implementation of circular economy principles in countries around the world is as recent as it is varied, with states working alongside international organisations such as the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) to encourage the fulfilment of the Sustainable Development Goals (SDGs). Circular economy (CE) and its influence on social development is a relatively new area of research, particularly regarding the relationship between CE and gender equity. The OECD has released research and frameworks on areas where the implementation of CE may affect and increase gender equity. The 2019 OECD report on CE and gender highlights areas of environmental degradation, the globalised fashion industry, waste management, and women's consumer patterns as critical components that will be affected where CE policy is implemented. A common trend in the gender analysis applied by organisations of the global North is a lack of differentiation between women from different socio-political and cultural backgrounds. The OECD undertook studies of gendered patterns from developed and developing countries; however, there was little emphasis regarding how women's socio-economic circumstances would reap different results and how this reflects in local governmental policy. The one-size-fits-all approach fails to provide much needed context when seeking to implement policy or commit resource allocation to grassroots initiatives and programs that empower the individual. This article aims to deconstruct how international organisations, such as the OECD, understand the relationship between CE and gender, using Indonesia as a representative case study for CE's application in developing countries and Australia as a case study for developed countries.

The concept of environmental sustainability has been a rapidly growing movement since the 1960s and '70s. However, the Australian government did not integrate the CE framework until the 2018 National Waste Policy. Since then, think tanks such as the Commonwealth Scientific and Industrial Research (CSIRO) have been tasked with investigating the benefits of CE in an Australian context. Australia's environmental and economic sustainability journey is seemingly in its research and discovery phase. Without a strong push from policymakers and government ministers, corporations have little incentive to adopt the framework themselves. Even though many international organisations and Australian-led think-tanks have proved CE to benefit business owners and consumers both fiscally and environmentally, corporate hesitation derives from a lack of information, understanding, and 'top-down' incentives. As a result, most efforts toward CE in Australia have been made by investors and consumers.

Women, in particular, have been progressing the CE movement in extraordinary ways. Generally, women as consumers are a powerful influence and statistically inclined to be the group most responsible for small, frequent household purchases, and having a high literacy regarding eco-branded product labels. While women are not the only members of Australian society that are using their purchasing power to direct companies to adopt a CE method of practice, they are further involved in several initiatives to educate consumers and change Australian industries. For example, 2018 saw the inaugural Australia Circular Fashion Conference that covers 'advocacy and awareness towards consumer change management'. Furthermore, the South Australian government have implemented the 'Women in Circular Economy Leadership Awards', selecting one woman each year to represent CE in action through education efforts and environmentally sustainable management practices. According to the OECD report, these examples demonstrate gender-specific consumption patterns and the active promotion of women's role in CE.

In addition to consumer power driving corporations into greener economic practices, the adoption of CE in Indonesia affects women as producers and informal, unpaid workers. This is primarily due to poor working conditions and exposure to toxic pollutants that are the by-product of the work women typically undertake. While Indonesia has gained momentum in its transition into a green economy, policymakers are yet to give necessary weight to women-focused programs and initiatives within the scope of CE. A 2021 report led by Kementerian PPN Bappenas and the Danish Embassy highlighted Indonesia's vital economic sectors that would best suit CE implementation. The OECD report was cited within the analysis, indicating women are the most likely to benefit from CE in Indonesia. Among the reasons for this is greater access for women to formal, green jobs creating financial security, less exposure to dangerous chemicals used in work practices, or from plastic burning in waste management. The report stated that women are likely to fill up to 75 per cent of the potential green jobs available through CE. Similarly to Australia, however, policymakers fail to give appropriate credence to the connection between CE and gender equity. The United Nations (UN) SDGs Roadmap for Indonesia, CE, is listed as a recommendation for Goal 8 (decent work and economic growth), with no mention of the potential impacts CE has on Goal 5 (gender parity and women's empowerment).

Grassroots programs in Indonesia have identified the beneficial relationship between CE and gender. There are several programs that have been identified in the greater Jakarta region by a 2018 study. Examples include the Gerakan Indonesia Kantong Plastik (Indonesia's Plastic Bag Diet Movement), Waste4Change – which provides corporations, communities, and individuals consultancy and support in green waste management, and SiDalang – which provides ‘training on upcycling and business development to local women'. Grassroots organisations and SMEs are ostensibly driving the force behind Indonesia's acceptance and future with a CE through their prioritising waste management and the re/up-cycling of waste resources. Results of women participating in these upcycling training and social enterprise programs demonstrate the benefits the OECD report highlighted. This includes improved life skills and the ability to experience and explore entrepreneurship, thus improving overall welfare.

While the connection between CE and gender equity has been established and investigated by international organisations and states alike, further prioritisation must be placed on supporting organisations and programs that facilitate and encourage the relationship. The contrast between CE influence on women in Australia and Indonesia is evident. The OECD report is comprehensive insofar as it identifies how women are affected by CE and how women globally work, consume, and influence. For example, women in higher socio-economic positions can be involved in CE through their consumer power; by influencing corporations and businesses to implement greener production processes. Equally, women who work in unsafe conditions due to the linear economy will benefit from the incorporation of circular practices that will provide better jobs, financial stability, and enhanced overall wellbeing. The OECD report and consequential research aiming to understand the connection between CE and gender is the first step to a green future. However, further advocacy is needed to establish a specific, local policy that centres on women as crucial actors in CE, considering individuals' strengths and limitations based on socio-economic and cultural standpoints.