Arsip:

Berita

Krisis Ekonomi Sri Lanka: Penyebab hingga Upaya Pengendalian

Krisis Ekonomi Sri Lanka: Penyebab hingga Upaya Pengendalian

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Saat ini, Sri Lanka sedang dihadapkan oleh demonstrasi massa sebagai bentuk protes terhadap krisis ekonomi. Selama beberapa bulan terakhir, sejak akhir tahun 2021, Sri Lanka sudah bergelut dengan krisis ekonomi terburuk sejak masa kemerdekaannya di 1948. Krisis ini menyebabkan harga bahan-bahan kebutuhan dasar meningkat tajam dan stok bahan dasar makanan, bahan bakar, dan obat-obatan menipis. Ketidakmampuan jajaran pemerintahan dibawah pimpinan Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, untuk membayar impor dan pengiriman bahan bakar yang disebabkan oleh kekurangan valuta asing berujung pada pemadaman listrik di sebagian wilayah Sri Lanka yang berlangsung selama 13 jam pada Rabu (30/3/22). Pemadaman listrik ini terjadi pada puncak gelombang protes massa yang ditandai dengan pemblokiran jalan-jalan utama di berbagai kota dan seruan penuntutan pemecatan Gubernur Ajith Cabraal di luar Bank Sentral Sri Lanka. Puncak krisis dan demonstrasi tersebut menyebabkan jajaran kabinet pemerintahan kali ini mengundurkan diri secara massal pada rentang waktu Selasa (4/4/22) hingga Rabu (5/4/22) kemarin. 

Para kritikus mengatakan bahwa akar dari krisis Sri Lanka terletak pada salah urus ekonomi secara berturut-turut oleh pemerintah yang menciptakan dan mempertahankan defisit kembar––keadaan ketika pengeluaran negara lebih besar dibandingkan pemasukan dan ketika produksi barang dagang dan jasa tidak mencukupi. Namun, krisis ekonomi kali ini dipercepat oleh penetapan kebijakan pemotongan pajak untuk menstimulasi ekonomi oleh Rajapaksa pada masa-masa pemilihan umum 2019, sesaat sebelum penyebaran virus COVID-19 yang turut memperparah ekonomi Sri Lanka. Menurut Murtaza Jafferjee, kepala think-tank Advocata Institute, kebijakan tersebut merupakan kesalahan diagnosis terhadap permasalahan ekonomi yang dihadapi Sri Lanka pada waktu itu. 

Krisis ekonomi Sri Lanka juga diperparah oleh kegagalan program manajemen utang Sri Lanka yang statusnya bergantung pada aspek industri pariwisata dan pembayaran uang dari pekerja asing yang dilemahkan pandemi. Dengan gagalnya program manajemen utang ini, cadangan devisa anjlok hampir 70 (tujuh puluh) persen dalam jangka waktu dua tahun. Selain itu, keputusan pemerintahan Rajapaksa untuk melarang semua produk pupuk kimia pada tahun 2021 tercatat memukul sektor pertanian negara dan memicu penurunan panen padi yang akhirnya mengacaukan produksi pertanian Sri Lanka.  

Untuk menangani krisis tersebut, pemerintahan Rajapaksa telah merencanakan dan menjalankan serangkaian program. Pada April ini, Sri Lanka merencanakan untuk membicarakan program pinjaman dengan IMF (International Monetary Fund). Sebelum melakukan langkah tersebut, di beberapa bulan terakhir, Sri Lanka secara bertahap mendevaluasi mata uangnya––yang ternyata berimbas buruk bagi masyarakat. Selain bantuan dari IMF, pemerintahan Rajapaksa juga mencari bantuan dari China dan India, terlebih untuk bantuan bahan bakar dari India. Pengiriman diesel di bawah batas kredit $500 juta yang ditandatangani dengan India pada bulan Februari diperkirakan akan tiba pada hari Sabtu (9/4/22). Selain itu, Sri Lanka dan India telah menandatangani batas kredit $1 miliar untuk impor kebutuhan pokok, termasuk makanan dan obat-obatan. Pemerintah Rajapaksa juga telah meminta setidaknya $ 1 miliar lagi dari New Delhi. Sementara itu, saat ini China sedang mempertimbangkan untuk menawarkan fasilitas kredit $1,5 miliar dan pinjaman terpisah hingga $1 miliar setelah memberikan CBSL swap $1,5 miliar dan pinjaman sindikasi $1,3 miliar untuk mengatasi krisis yang menghantam negara kepulauan tersebut. Sebelum program bantuan ini, pemerintah Sri Lanka telah memiliki total utang luar negeri sekitar $4 miliar pada tahun 2022, termasuk obligasi negara internasional (ISB) senilai $1 miliar yang jatuh tempo pada bulan Juli. ISB merupakan bagian terbesar dari utang luar negeri Sri Lanka sebesar $12,55 miliar, dengan Bank Pembangunan Asia, Jepang, dan China di antara pemberi pinjaman utama lainnya.

Imbas Serangan Terhadap Ukraina, Ratusan Perusahaan Hengkang dari Rusia

Imbas Serangan Terhadap Ukraina, Ratusan Perusahaan Hengkang dari Rusia

Penulis :

Christina Vania Winona

Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Illustrasi oleh:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Konflik yang terjadi di antara Rusia-Ukraina tidak hanya berimbas terhadap aspek politik tetapi juga aspek ekonomi di Rusia. Sejak serangan pertama yang diluncurkan terhadap Ukraina, negara ini harus menghadapi penarikan perusahaan-perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan asing dari berbagai sektor––mulai dari keuangan, makanan, media, teknologi, hingga energi––menangguhkan dan/atau mengurangi operasi perusahaan di Moskow. Langkah simbolik dilakukan oleh 4 (empat) ikon brand Amerika Serikat, yaitu PepsiCo, Coca-Cola, McDonalds, dan Starbucks pada Selasa (8/3/22). Selain perusahaan-perusahaan tersebut, terdapat ratusan perusahaan lain yang bergerak di bidang terspesialisasi masing-masing yang turut menarik dan menangguhkan operasinya di Moskow. 

Dalam aksinya, tidak semua perusahaan memberhentikan operasi bisnis yang mereka lakukan secara total. Beberapa hanya menangguhkan, beberapa lainnya menghentikan operasinya di bidang tertentu dan tetap menjual komoditas lainnya. Salah satu perguruan tinggi di Amerika Serikat, Universitas Yale, berhasil mengkompilasi aksi kurang lebih 500 (lima ratus) perusahaan yang mengundurkan diri dari pasar Rusia dalam 5 (lima) kategori pengurangan operasi––withdrawal, suspension, scaling back, buying time, dan digging in. Withdrawal adalah pemberhentian operasi perusahaan secara total. Suspension adalah pembukaan opsi untuk keterlibatan kembali sembari membatasi operasi. Scaling back adalah pengurangan aktivitas di sektor bisnis tertentu sambil melanjutkan bisnis yang lain. Buying time adalah penundaan investasi sembari melanjutkan bisnis substantif. Digging in adalah penolakan untuk mengurangi aktivitas.  

McDonald's mengumumkan pada Selasa (8/3/22) bahwa 850 (delapan ratus lima puluh) outlet-nya di Rusia akan ditutup sementara yang berimbas pada munculnya jaringan gerai restoran lokal tiruan McDonalds di Rusia bernama Uncle Vanya. Starbucks melangkah lebih jauh dari McDonald's dengan menangguhkan semua aktivitas bisnis di Rusia, termasuk pengiriman produknya. Sementara itu, PepsiCo akan mengurangi penjualan produk minuman tetapi tetap menjual produk-produk pentingnya yang lain, seperti susu formula, susu, dan makanan bayi. Tentunya seluruh tindakan tersebut tidak dilakukan tanpa alasan. Menurut CEO PepsiCo, Ramon Laguarta, sebagai perusahaan food and beverages, aspek kemanusiaan harus diaplikasikan pada bisnis yang mereka jalankan. CEO McDonalds, Chris Kempczinski, menambahkan bahwa konflik di Ukraina dan krisis kemanusiaan di Eropa telah menyebabkan penderitaan hebat pada warga tidak bersalah yang oleh karenanya, perusahaannya akan bergabung untuk mengutuk agresi dan kekerasan serta berdoa untuk perdamaian. 

Di samping itu, beberapa perusahaan yang ragu untuk menangguhkan aktivitasnya harus berhadapan dengan dorongan dan desakan dari publik. Nestle yang berbasis di Swiss awalnya menolak untuk menghentikan aktivitas bisnisnya di Rusia, tetapi ketika muncul kampanye kesadaran publik yang diluncurkan secara daring dengan menampilkan cokelat batangan Nestle yang berlumuran darah, perusahaan tersebut kemudian mengumumkan bahwa mereka akan menangguhkan pekerjaannya di Rusia. Meski demikian, terdapat pula beberapa perusahaan lain yang bersikukuh untuk melanjutkan operasinya di Rusia, misalnya perusahaan ritel Prancis, Auchan, yang menentang opini publik dan menyatakan dengan tegas untuk tetap berada di Rusia serta beberapa bank dengan eksposur besar di Rusia yang juga mengabaikan eksodus ini.