Proposal Tiongkok Untuk Bergabung CPTPP: Antara Kerja Sama Ekonomi dan Kalkulasi Perimbangan Kekuatan
Penulis :
Lukas Andri Surya Singarimbun
Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.
Editor:
Ameral Rizkovic
Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.
Editor:
Nabila Asysyfa Nur
Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.
Ilustrator:
Narinda Marsha Paramastuti
Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.
Pada 16 September 2021, Tiongkok resmi mengajukan proposal untuk menjadi anggota dari Comprehensive and Progressive Agreement for Trans Pacific Partnership (CPTPP), sebuah forum kerja sama regional perdagangan yang terdiri dari 11 negara yang disepakati pada tahun 2018. Hal ini cukup mengejutkan banyak pihak pasalnya Beijing mengajukan proposal untuk menjadi anggota CPTPP pada saat persaingan geopolitik terutama dengan Amerika Serikat sedang memanas dimana kerja sama regional tersebut pada dasarnya dibentuk untuk membendung perkembangan dominasi Tiongkok dalam ekonomi dunia yang dalam beberapa tahun terakhir berkembang dengan pesat. Proses pengajuan menjadi anggota ini, terlepas dari akan diterima atau tidak oleh anggota CPTPP, menunjukkan semakin jelasnya persaingan geo-ekonomi di dunia terutama antara Beijing dan Washington di wilayah Indo-Pasifik melalui forum perdagangan internasional. Meskipun terdapat potensi ekonomi dan perdagangan yang besar jika Tiongkok bergabung dengan CPTPP, persaingan politik yang berkaitan dengan perimbangan kekuatan antara Amerika Serikat dan Tiongkok tidak dapat luput dan bahkan mendominasi perdebatan aksesi Tiongkok ke dalam CPTPP.
CPTPP merupakan suksesi forum kerja sama ekonomi yang banyak ketentuannya digagas oleh Amerika Serikat sebelumnya dalam TPP (Trans-Pacific Partnership). TPP bukan hanya bertujuan mempermudah perdagangan negara-negara yang tergabung di dalamnya namun juga untuk meningkatkan kepemimpinan Amerika Serikat di Asia dan melakukan perimbangan kekuatan terhadap Tiongkok dalam sektor ekonomi dan perdagangan internasional. Pada saat yang bersamaan, Tiongkok dengan beberapa negara Asia dan semua negara anggota ASEAN sedang mengadakan perundingan RCEP (Regional Comprehensive Economy Partnership), perjanjian perdagangan regional yang disamping melibatkan semua negara ASEAN juga melibatkan Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru, yang akhirnya disepakati pada November 2020 dan efektif pada Januari 2022. Bagi kebanyakan pengamat politik luar negeri Amerika Serikat, TPP merupakan langkah yang positif bagi Amerika Serikat terutama untuk meningkatkan kehadirannya di tengah peran Tiongkok yang semakin masif terutama di sektor perdagangan kawasan Asia-Pasifik.
Meski Amerika Serikat merupakan negara yang menggagas perundingan perjanjian kerja sama TPP pada masa Presiden Obama, pemerintahan selanjutnya dalam masa Presiden Donald Trump dengan pendekatan “American First” secara formal kemudian meninggalkan proses perundingan dan kesepakatan dalam TPP. Alasan tidak terlalu menguntungkan dan terlalu membebani bagi masyarakat Amerika Serikat menjadi pendorong utama bagi Presiden Trump untuk menarik keikutsertaan di dalam TPP (Narine, 2018). Meski kehilangan salah satu penggagas dan mitra ekonomi terbesar dalam forum kerja sama tersebut, negara-negara yang telah bergabung dalam TPP tetap melanjutkan negosiasi dan akhirnya menyepakati forum kerja sama CPTPP. Dalam perkembangannya, ada beberapa negara yang juga ingin bergabung ke dalam CPTPP seperti Tiongkok, Inggris dan juga Taiwan.
Beijing, setelah kesuksesan dalam negosiasi RCEP, memiliki visi untuk terus menegaskan kehadirannya di kerja sama perdagangan lainnya yang salah satunya adalah CPTPP. Pemerintah Tiongkok resmi mengajukan proposal untuk masuk ke dalam CPTPP, tepat sehari setelah kesepakatan AUKUS (Australia, United Kingdom and United States) diumumkan. Masuknya Tiongkok ke dalam kerja sama regional CPTPP setelah bergabung dengan RCEP memberikan keuntungan bagi Tiongkok terutama untuk mereduksi dampak negatif dari adanya perang dagang yang terus berlangsung antara Tiongkok dan juga Amerika Serikat dan meningkatkan pengaruhnya dalam perdagangan internasional.
Respon terhadap proposal keanggotaan Tiongkok menjadi sangat beragam, dari berbagai pandangan positif bahwa akan adanya perluasan pasar hingga pandangan skeptis tentang keanggotaan Tiongkok dalam CPTPP. Pandangan positif disampaikan oleh Singapura dan Malaysia yang berkeyakinan bahwa Tiongkok akan membawa kontribusi positif terhadap CPTPP terutama pada konteks perluasan pasar sama seperti saat Tiongkok bergabung dengan WTO. Sementara di sisi lain beberapa negara yang memandang skeptis, seperti Australia dan Jepang memandang bahwa Tiongkok, dengan peran negara yang cukup kuat dalam aktivitas ekonomi dan bisnis, menilai sulit untuk mendapatkan persetujuan dari negara-negara yang telah lebih dulu bergabung di dalam CPTPP.
Usaha Tiongkok untuk masuk ke dalam kerja sama CPTPP menunjukkan adanya keinginan dari Tiongkok untuk mengambil peran yang lebih besar di dalam perekonomian dunia dengan bergabung ke dalam banyak forum kerja sama internasional terutama yang melibatkan aspek perdagangan dan investasi. Alih-alih sekadar berkeinginan menjadi ekonomi terbesar di dunia, Tiongkok berusaha memainkan pengaruh dan perannya dalam aspek yang lebih luas. Sejak bergabung dengan WTO pada tahun 2001, Tiongkok semakin menunjukkan kemampuan dan partisipasi ekonomi yang semakin aktif dalam perdagangan internasional. Bahkan bagi beberapa pengamat, Tiongkok berpotensi mengubah lanskap perdagangan internasional yang selama ini banyak terlalu didikte oleh pengaruh Amerika Serikat dan negara-negara Barat (Akita, 2021).
Kekhawatiran utilisasi ketergantungan ekonomi dari banyak negara terhadap Tiongkok cukup beralasan karena dalam beberapa dekade terakhir kapabilitas ekonomi yang dimiliki Tiongkok telah melampaui negara-negara lain di dunia, termasuk Amerika Serikat. Aksesi Tiongkok ke dalam berbagai perjanjian internasional seperti CPTPP dan RCEP menjadikan Tiongkok memiliki nilai daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat yang dalam beberapa tahun terakhir memilih untuk tidak terlalu terlibat dalam berbagai perjanjian kerja sama regional. Apabila keberhasilan Tiongkok untuk bergabung dengan CPTPP juga dapat menggambarkan adanya kemenangan simbolis dari Amerika Serikat dengan mengambil peran yang lebih besar (Hopewell, 2021). Bukan tidak mungkin bahwa Tiongkok dalam waktu dekat akan memperoleh peran yang lebih atau bahkan menjadi pemimpin dari rezim perdagangan internasional yang didukung bukan hanya dengan percepatan ekonominya namun juga dengan peran yang semakin terlihat dalam setiap forum kerja sama multilateral baik regional maupun internasional.
Meskipun dapat memenuhi ketentuan untuk menjadi anggota yang diajukan oleh pihak dari CPTPP, sebagian pengamat berpandangan bahwa Tiongkok akan kesulitan untuk bergabung dengan CPTPP (Solís, 2021). Politisasi yang kerap dilakukan Tiongkok dalam sektor ekonomi demi mencapai kepentingan nasional dalam aspek yang terkadang tidak berkaitan dengan ekonomi juga memberikan kekhawatiran tersendiri bagi negara-negara yang telah bergabung dengan CPTPP sebelumnya. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan adanya sanksi bagi Australia dalam hal barang-barang ekspor karena memberikan dukungan terhadap Amerika Serikat dalam mengungkap asal dari virus COVID-19. Utilisasi strategis keterikatan perdagangan dengan Tiongkok karenanya memberikan kekhawatiran tersendiri bagi beberapa negara-negara di dalam CPTPP, bahkan pada saat akses ke Tiongkok menguntungkan perdagangan ketika bergabung dengan CPTPP. Menjadi kekhawatiran tersendiri bagi beberapa negara dengan peningkatan ketergantungan ekonomi dan perdagangan dengan China. Ketergantungan ekonomi dengan Tiongkok akan semakin menurunkan nilai daya tawar dari beberapa negara yang menjadi sekutu dekat dari Amerika Serikat
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Peterson Institute for International Economics, pada tahun 2030, kerja sama dalam CPTPP akan memberikan keuntungan sebesar 147 miliar US$ setiap tahunnya dan akan menjadi 617 miliar US$ jika Tiongkok dapat bergabung di dalam CPTPP (Petri & Plummer, 2019) Lebih lanjut, bergabungnya Tiongkok dalam CPTPP akan menjadikan CPTPP sebagai kesepakatan perjanjian kerja sama perdagangan yang sedikit lebih besar pangsa pasarnya daripada RCEP. Akses pasar dan kemudahan perdagangan dengan Tiongkok dapat meningkatkan efisiensi biaya dalam kerja sama perdagangan CPTPP.
Di tengah potensi ekonomi yang cukup besar baik bagi Tiongkok maupun negara-negara anggota CPTPP lainnya, akan sulit bagi Tiongkok untuk bergabung dengan melihat relasi Beijing dengan Tokyo, Canberra, dan Ottawa yang dalam beberapa tahun terakhir semakin tidak bersahabat. Setidaknya, ketiga negara tersebut akan memberikan perhatian yang lebih terutama ketika Beijing menggunakan aspek perdagangan dalam mencapai kepentingan nasional di aspek yang lainnya seperti keamanan dan geopolitik.
Menarik kemudian untuk melihat proses masuknya Tiongkok ke dalam CPTPP dalam beberapa tahun mendatangJelas dari aspek perdagangan internasional, aksesi Tiongkok masuk ke dalam CPTPP menjadi peluang yang sangat penting terutama untuk memperluas pasar dalam perjanjian kerja sama. Namun pada saat yang bersamaan, proses masuknya Tiongkok ke dalam CPTPP tidak juga terlepas dari adanya faktor ketegangan antara beberapa negara Barat dan Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir terutama yang memiliki kedekatan dengan Amerika Serikat.
Oleh karena itu, alih-alih memperhatikan aspek keuntungan dari ekonomi dan perdagangan internasional, diskusi dan pembahasan proposal Tiongkok terhadap keanggotaan di CPTPP berkisar di seputaran persaingan politik dan perimbangan kekuatan serta persaingan antara negara-negara yang memiliki kedekatan dengan Amerika Serikat vis-à-vis Tiongkok. Dominasi kalkulasi strategis perimbangan kekuatan dari berbagai negara lebih jelas daripada kalkulasi potensi kerja sama ekonomi terutama untuk mendapatkan keuntungan dari bergabungnya Tiongkok ke dalam CPTPP.
Referensi
Akita, H. (2021, October 30). Can the CPTPP change China, or will Tiongkok change it? Nikkei Asia.https://asia.nikkei.com/Spotlight/Comment/Can-the-CPTPP-change-China-or-will-China-change-it
Hopewell, K. (2021, September 27). Analysis | Would China’s move to join this transpacific trade pact push the U.S. to rejoin? It’s complicated. Washington Post.
Jiang, H., & Yu, M. (2021). Understanding RCEP and CPTPP: From the perspective China’s dual circulation economic strategy. Tiongkok Economic Journal, 14(2), 144–161. https://doi.org/10.1080/17538963.2021.1933055
Narine, S. (2018). US Domestic Politics and America’s Withdrawal from the Trans-Pacific Partnership: Implications for Southeast Asia. Contemporary Southeast Asia, 40(1), 50–76.
Petri, P. A., & Plummer, M. G. (2019, January 30). China Should Join the New Trans-Pacific Partnership. PIIE. https://www.piie.com/publications/policy-briefs/china-should-join-new-trans-pacific-partnership
Solís, M. (2021, September 23). China moves to join the CPTPP, but don’t expect a fast pass. Brookings.https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2021/09/23/china-moves-to-join-the-cptpp-but-dont-expect-a-fast-pass/