Industri Kakao di Indonesia: Pudarnya Identitas Sebagai Penghasil Kakao Terbesar di Dunia
Penulis:
Raevita Andriessa
SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.
Editor:
Ameral Rizkovic
Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.
Editor:
Nabila Asysyfa Nur
Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.
Ilustrator:
Narinda Marsha Paramastuti
Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.
Tanaman kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki prospek menjanjikan untuk negara-negara beriklim tropis seperti Indonesia. Berdasarkan data yang terpublikasi dalam Databoks, Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia pada tahun 2020 setelah Pantai Gading dan Ghana, disusul dengan Nigeria dan Kamerun di posisi ke-4 dan ke-5. Peringkat ini menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara dari Asia Tenggara dan di luar benua Afrika yang termasuk dalam kelima negara produsen cokelat terbesar di dunia. Pada tahun tersebut, produksi kakao di Indonesia telah mencapai 659,7 ribu ton dengan Pulau Sulawesi sebagai penyumbang tanaman kakao terbesar Indonesia yang mencapai 75% dari total produksi kakao Indonesia yakni 128,2 ribu ton.
Seperti yang dipaparkan Indonesia Investments, salah satu faktor yang mengantar Indonesia untuk menduduki posisi sebagai salah satu produsen terbesar kakao di dunia adalah ambisi pemerintah melakukan program revitalisasi untuk menggenjot produksi kakao pada tahun 2009. Program yang ditargetkan dalam jangka waktu lima tahun tersebut telah berhasil meningkatkan produksi kakao Indonesia secara drastis melalui kegiatan intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan tanaman kakao. Pada masa itu, pemerintah Indonesia juga telah berhasil memperluas lahan produksi kakao di seluruh Indonesia dengan luas total 450 ribu hektar.
Dengan tingginya angka produksi kakao pada tahun tersebut, Indonesia juga melakukan aktivitas ekspor kakao ke luar negeri. Berdasarkan Databoks, aktivitas ekspor kakao di Indonesia telah mencapai angka 358,48 ribu ton dengan nilai sebesar USD 1,2 miliar atau setara dengan IDR 17,2 triliun. Dari total jumlah ekspor kakao tersebut, Malaysia menjadi negara dengan importir kakao Indonesia terbesar dengan jumlah sebanyak 80,59 ribu ton atau 22,48% dari total ekspor dengan nilai USD 172,58 juta. Selanjutnya, Amerika Serikat menempati peringkat kedua importir kakao Indonesia sebanyak 17,23% dari total ekspor, disusul dengan ekspor kakao ke Tiongkok yang mencapai 6,58% dari total ekspor. Menurut Ipotnews, pada tahun 2019, keuntungan yang diperoleh dari aktivitas ekspor kakao Indonesia telah menyumbang devisa negara Indonesia sebesar USD 1,13 miliar atau setara dengan IDR 16,3 triliun.
Dilansir dari CNBC Indonesia, Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa Indonesia melakukan ekspor produk olahan kakao seperti pasta kakao, minyak kakao, dan bubuk kakao. Adapun jumlah ekspor kakao Indonesia dalam bentuk biji sebesar 6,1% dan sisanya 93,9% dalam bentuk olahan. Sementara itu, produk-produk olahan kakao hanya diekspor untuk memenuhi kebutuhan produksi merek-merek cokelat siap konsumsi di luar negeri. Akibatnya, hasil-hasil produksi kakao Indonesia nyaris tak terlihat dan tersamarkan oleh pamor perusahaan cokelat siap konsumsi di luar negeri.
Kebijakan Bea Keluar Terhadap Biji Kakao
Pada tahun 2010, pemerintah telah memberlakukan Bea Keluar (BK) terhadap ekspor biji kakao dalam PMK No.67/PMK.011/2010 yang berlaku sejak tanggal 1 April 2010. Dengan adanya kebijakan ini, eksportir kakao dari dalam negeri akan dikenakan biaya setiap kali mereka akan mendistribusikan biji kakao mentah ke luar negeri untuk mengontrol intensitas aktivitas ekspor biji kakao agar persediaan biji kakao di dalam negeri tetap terpenuhi. Berdasarkan kebijakan tersebut, besaran bea keluar kakao diterapkan sebesar 5% hingga 15%. Namun demikian, sebagaimana dikutip dari Kontan, seiring berjalannya waktu, penerapan kebijakan bea keluar terhadap Biji Kakao mengalami dinamika khususnya terkait penyesuaian tarif yang sempat direncanakan untuk dinaikkan di angka 10% hingga 30% sebagai respon dari kurangnya persediaan kakao di Indonesia akibat kegiatan ekspor kakao yang berlebih.
Dalam perkembangannya kebijakan tersebut menuai berbagai pro dan kontra. Klaim yang ada pada saat kebijakan BK biji kakao tersebut berlaku adalah kebijakan ini dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan baku industri di dalam negeri dan menyeimbangkan daya saing industri kakao. Selain itu dari sisi pemerintah, kebijakan bea keluar ini dimaksudkan untuk menambah persediaan kakao di Indonesia yang setiap tahunnya mengalami defisit sebesar 300 ribu ton. Sebuah penelitian mengungkapkan fakta bahwa, pemberlakuan BK atas ekspor kakao pada tahun 2010 membuat volume ekspor kakao mentah mengalami penurunan dan relatif konstan disebabkan oleh mulai meningkatnya ekspor produk olahan kakao setengah jadi setelah pemberlakuan bea keluar terhadap biji kakao. Kebijakan BK dinilai telah berdampak positif terhadap upaya pengembangan industri pengolahan kakao dalam negeri dengan adanya penurunan ekspor kakao yang cukup signifikan diikuti dengan jumlah perusahaan industri cocoa processing yang bertambah.
Di satu sisi, Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) dan para petani kakao yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) menyoroti bahwa kebijakan bea keluar harus memperhatikan kesejahteraan para petani kakao. Dikutip dari Dinas Perkebunan Kalimantan Timur, Ketua Umum Askindo menyatakan bahwa kenaikan tarif bea keluar yang signifikan akan memberatkan petani kakao dan seharusnya pengenaan bea keluar harus tetap memperhatikan terjaminnya pasokan kakao di dalam negeri, terjaganya kelestarian lingkungan dan stabilitas harga kakao agar petani tidak dirugikan. Seperti apa yang tertulis dalam situs web resmi Kementerian Perindustrian, ketua APKAI juga menyampaikan bahwa adanya peningkatan tarif bea keluar dapat meningkatkan potensi terjadinya permainan harga oleh perusahaan pengolahan kakao. Hingga saat ini, kebijakan BK biji kakao ditetapkan melalui PMK No. 1/PMK.010/2022 yang menetapkan tarif bea keluar biji kakao sebesar 5-10% sesuai masing-masing kolom yang didasarkan pada tingkat harga referensi per ton.
Adanya Ketergantungan Impor
Seiring dengan perkembangan industri pengolahan kakao dalam negeri, jumlah biji kakao dalam negeri tidak dapat mencukupi kebutuhan industri tersebut. Hal ini lantas membuka kran impor biji kakao dari luar negeri oleh Indonesia. Dilansir dari Bisnis.com, jumlah impor biji kakao di Indonesia pada tahun 2019 mencapai sekitar 234 ribu ton. Walaupun jumlahnya terus berkurang hingga mencapai angka 133 ribu ton di tahun 2021, angka impor kakao di Indonesia masih terbilang cukup besar.
Dikutip dari artikel tersebut, kebutuhan pasokan biji kakao yang besar tidak bisa dipenuhi sepenuhnya karena semakin menurunnya kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola perkebunan kakao. Indonesia Investments menyatakan bahwa 90% produksi kakao Indonesia merupakan hasil produksi para petani yang memang memiliki kekurangan secara finansial dan memiliki peralatan yang serba terbatas. Ditambah lagi, sebagian besar tanaman kakao di Indonesia telah mengalami penuaan yang menyulitkan proses reproduksi kakao secara alami. Hal tersebut menyebabkan proses pemeliharaan tanaman kakao menjadi kurang maksimal sehingga rentan akan kerusakan oleh berbagai faktor.
Sebagai konsekuensinya, kualitas tanaman-tanaman kakao Indonesia pun menurun dan jumlah produksi kakao di Indonesia menjadi semakin berkurang. Faktanya, angka produksi kakao sebesar 659,7 ribu ton di tahun 2020 bukanlah angka produksi kakao terbesar di Indonesia. Dikutip dari Tempo, jumlah produksi kakao tahun 2012 mencapai 740,5 ribu ton dan pada 2019 turun menjadi 659 ribu ton. Oleh sebab itu, kemampuan Indonesia untuk mengekspor biji kakao ke luar negeri pun berkurang dan sangat bergantung akan produk impor.
Memajukan Industri Kakao Indonesia
Upaya memajukan industri kakao di Indonesia dapat dimulai dari menaruh perhatian pada produksi kakao dalam negeri. Pengusaha perkebunan kakao perlu meningkatkan kualitas kakao yang mereka produksi. Salah satunya adalah dengan mendistribusikan bibit-bibit unggul kakao ke produsen-produsen kakao yang ada di Indonesia. Strategi ini telah diimplementasikan pada tahun 2020, tepatnya di Sulawesi Tenggara. Dilansir dari Badan Litbang Kementerian Pertanian, petani-petani kakao di Sulawesi Tenggara telah menerima benih-benih kakao varietas unggul untuk mereka budidayakan dan perdagangkan.
Selain meningkatkan kualitas produk mereka, para pengusaha perkebunan kakao juga harus memperhatikan kualitas sumber daya manusia yang dikerahkan dalam proses produksi, salah satunya dengan mengadakan pelatihan kerja bagi para sumber daya manusia yang terlibat dalam kegiatan produksi. Selain itu, pemerintah juga harus lebih memperhatikan kesejahteraan para petani kakao yang memiliki masalah finansial agar mereka dapat lebih maksimal dalam memproduksi tanaman kakao. Kelengkapan peralatan serta sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan produksi kakao oleh para petani kecil juga harus disediakan.
Selanjutnya, perhatian pada industri pengolahan kakao juga perlu diberikan sejalan dengan terbukanya perkembangan industri pengolahan setelah pemberlakuan kebijakan BK. Para produsen dalam industri kakao harus didukung untuk lebih kreatif dan inovatif dalam memajukan industri kakao di Indonesia. Tak hanya mengekspor produk-produk kakao setengah jadi untuk kebutuhan produksi merek lain di luar negeri, produsen kakao Indonesia juga dapat melakukan ekspor untuk produk-produk kakao siap konsumsi dengan merek asli Indonesia untuk diperkenalkan ke pasar internasional. Dengan memproduksi produk-produk kakao siap konsumsi atas nama merek asli Indonesia, reputasi industri kakao di Indonesia akan semakin dikenal baik oleh pasar Internasional. Nantinya, Indonesia tak hanya akan dikenal sebagai pengekspor bahan baku setengah jadi untuk keperluan produksi perusahaan lain, tetapi juga dapat dikenal dengan merek produk asli Indonesia dengan kualitas yang dapat bersaing dengan produk lainnya di pasar Internasional.
Saat ini, sudah banyak bermunculan perusahaan kecil dan menengah yang menawarkan produk kakao siap konsumsi. Produk-produk kakao siap konsumsi khas lokal ini sangat potensial untuk dapat sukses di pasar internasional. Oleh karena itu, dukungan pemerintah untuk mengembangkan potensi perusahaan yang bergerak dalam industri kakao siap konsumsi sangat penting untuk memajukan industri kakao Indonesia. Tentunya, masyarakat juga perlu untuk mulai mengkonsumsi produk olahan kakao lokal alih-alih produk olahan kakao dari luar negeri sebagai bentuk dukungan mereka untuk kemajuan industri kakao di Indonesia.