Review Seri Diskusi GVC: Kelas KPI (Bagian 1)


Pengantar

The Global Value Chain (GVC) telah menjadi instrumen penting dalam menganalisis perdagangan global. Keterbukaan pasar yang telah mempermudah lalu lintas produk dari satu negara ke negara lainnya tentunya akan berimplikasi negatif jika negara tidak mampu meningkatkan daya saing dan nilai tambah produknya. Nilai tambah (value added) produk merupakan penekanan utama dalam GVC. Peningkatan value added dalam komoditas perdagangan menjadi indikator berhasil atau tidaknya suatu negara memamfaatkan keterbukaan pasar.

Gereffi (1995) menyebutkan ada empat hal dasar yang bisa digunakan dalam metodologi untuk menjelaskan GVC, antara lain:

  1. An input-output structure, which describes the process of transforming raw materials into final products;
  2. A geographical consideration;
  3. A governance structure, which explains how the value chain controlled; and
  4. An institutional context in which the industry value chain is embedded.

Dalam rangka memperluas dan mengembangkan kajian mengenai GVC, PSPD UGM bersama Program Pascasarjana HI UGM konsentrasi studi KPI (Kerjasama Pembangunan Internasional) mengadakan seri diskusi GVC dengan tema-tema yang relevan. Diskusi diadakan empat seri pada 14, 21, 26 Juni, dan 3 Juli lalu dengan masing-masing seri menghadirkan dua pemateri dari mahasiswa kelas KPI. Dan tulisan ini adalah bagian pertama dari empat tulisan tentang review masing-masing seri.

Pada bagian pertama akan memuat review tentang kajian GVC industri nikel Indonesia dan GVC sentra industri dan perdagangan di Bandung. Bagian kedua memuat kajian GVC kerajinan kulit Manding dan kerajinan perak Kotagede. Bagian ketiga memuat kajian GVC indutri jamu nasional dan GVC perikanan darat Indonesia. Sedangkan bagian keempat memuat kajian GVC jasa pendidikan tinggi dan analisis GVC produk kesenian topeng desa Bobung.

Diskusi ini diharapkan akan mampu membuat kajian GVC menjadi familiar baik di kalangan akademisi, pengusaha dan pemerintah.

 

GVC Industri Nikel Indonesia
Oleh: Naota Parongko

Persaingan dalam perdagangan global telah menempatkan negara berkembang pada posisi yang dilematis. Sebagai late comer, negara berkembang pada umumnya, seperti Indonesia kaya akan sumber daya alam (SDA), namun di satu sisi dihadapkan pada kondisi lack of technology, lack of market dan lack of capital untuk mengolah SDA menjadi barang jadi bernilai tinggi. Kondisi ini kemudian berimplikasi pada ketidakmampuan sejumlah produk dari negara berkembang untuk bersaing di pasar global.

Di Indonesia, barang tambang masih merupakan komoditas unggulan. Nikel, salah satunya, merupakan salah jenis kekayaan SDA Indonesia yang merupakan bahan galian strategis. Berdasarkan UU No. 11 Tahun 1967, Nikel digolongkan sebagai bahan galian strategis karena penting bagi pertahanan, keamanan dan strategis untuk menjamin perekonomian negara. Berdasarkan Metal Bulletin Research (MBR), logam nikel digunakan untuk beragam barang yaitu: staintless steel (65%), other steels alloys including casting (10%) non-ferous alloys (12%), electroplating (8%), others including chemicals (5%). Kemudian sebagai pengguna akhir dari staintless steel adalah: electronics & appliance (18%), chemical process (16%), automotive (15%), food and beverages (13%), energy (10%), architecture (9%), water (2%) dan lainnya (17%).

Berdasarkan data yang diperoleh dari PT. Antam (Aneka Tambang) bahwa terdapat added value yang cukup signifikan pada nikel bila komoditas ini bisa dikembangkan hingga ke produk turunannya. Diungkapkan bahwa bentuk nikel ore yang diekspor seharga US $25 per ton, ketika di ekspor dalam bentuk FeNi (Feronickel / produk turunan kedua) nilainya akan menjadi tujuh kali lipat atau sebesar US $2574 per ton. Sedangkan bila berhasil dikembangkan menjadi produk turunan ketiga menjadi stainless steel nilainya akan meningkat menjadi 19 kali lipat atau sebesar US $ 2627 per ton.

Akan tetapi sayangnya, sebagai produsen, Indonesia hanya memperoleh 0,57% dari total added value tersebut. Sebagian besarnya dikuasai oleh perusahaan besar dalam industri tersebut yang berasal dari Jepang. Sekitar 99% dari nilai tambah dalam produksi nikel diperoleh oleh perusahaan Jepang. Pendapatan riil pemerintah Indonesia hanya diperoleh dari bea keluar komoditi tersebut dan pajak.

Rendahnya ability to codify transactions mengingat bahwa perusahaan-perusahaan yang berbasis di Indonesia hanya berperan sebagai pemasok raw materials dengan tingkat kepemilikan dan kecanggihan teknologi yang rendah. Kurangnya penguasaan terhadap teknologi ini, yang juga kemudian didukung oleh minimnya modal berimplikasi pada sulitnya mengembangkan pabrik pengolahan nikel. Di samping itu kebijakan perdagangan juga pada kenyatannya tidak mendukung upaya hilirisasi nikel, dimana perdagangan bahan mentah dibuka seluas-luasnya.

GVC Sentra Industri dan Perdagangan di Bandung
Oleh: Asrie Karwanti

Posisi Industri Kecil Menengah (UKM) menjadi semakin signifikan selama beberapa tahun terakhir. Hal ini dibuktikan dengan peran UKM dalam memulihkan keadaan perekonomian indonesia pasca terjadinya krisis. Dalam prakteknya UKM membentuk sentra industri di mana sentra industri ini merupakan, pedagangan yang berada dalam satu geografis membentuk kelompok dengan anggota sedikitnya ada 20 perusahaan yang serupa.

Sentra industri mulai banyak bermunculan di beberapa kota di Indonesia, terutama yang mempunyai potensi besar sebagai daerah wisata, Kota Bandung salah satunya. BPS mencatat wisatawan mancanegara yang mengunjungi kota Bandung sebanyak 146.736 selama tahun 2012, atau sebanyak 27% dari keseluruhan wisatawan yang masuk ke Indonesia. Wisatawan mancanegara berasal dari Malaysia, Singapura, Jepang, Jerman, dan Belanda. Selain itu, posisi Bandung yang dekat dengan ibu kota membuat Bandung mudah terhubung dengan pasar internasional. Dua sentra industri yang akan dibahas lebih lanjut adalah Sentra Industri Sepatu Cibaduyut dan Sentra Industri Kaor Surapati.

Upgrading dari produk sepatu kulit Cibaduyut bisa dilakukan dengan cara variasi desain, variasi bahan baku, pemberian branding, dan peningkatan kualitas. Maka dari itu perlu standar dalam pembuatan sepatu Cibaduyut, sebagai acuan para pengrajin dalam membuat produk yang berkualitas. Merk dari sentra industri dan perdagangan sepatu Cibaduyut antara lain Baricco, Garsel Shoes, JK Collection, dan Garucci. Selain itu juga upgrading dalam aspek produk bisa dilakukan dengan garansi pada sepatu, jadi pembeli merasa terjamin dan tidak ragu untuk membeli produk sepatu Cibaduyut. Pada proses pembuatan sepatu Cibaduyut sendiri masih manual dengan sedikit pembagian kerja yang spesifik. Sehingga dalam proses produksi bisa dikatakan masih handmade.

Tabel 1. Product Upgrading pada Sentra industri dan perdagangan sepatu Cibaduyut

Komponen Produk Upgrading
Desain Inovasi Desain Sepatu
Bahan Baku High Quality Leaather, Motive Leather, Fabric
Branding Merk yang Menjual
Kualitas Mengikuti SNI dan standard internasional
Market International Market, Departement Store
Service Guarantee

Di samping industri sepatu, industri pakaian juga mengalami perkembangan yang pesat di Kota Bandung. Salah satunya adalah Sentra industri kaos Surapati yang mulai tumbuh pada tahun 2000, ditandai dengan berkembangnya jaringan distribution store dan pembuatan brand produk untuk dipasarkan di distro yang tersebar di berbagai pusat perbelanjaan di Bandung. Beberapa brand tersebut antara lain C59, 347, Ouval, Skaters, Airplane, Evile, dan Eat, yang ternyata memperoleh pasar dikalangan anak muda. Jaringan distribution store ini terus berkembang ke berbagai kota besar di Indonesia, seperti Medan, Jakarta, Yogyakarta, Balikpapan, Bali, dan sebagainya. Kaos asal Bandung mulai dikenal dunia karena promosinya sangat unik, yaitu dengan menjadi sponsor pada kostum acara musik, baik on air seperti MTV Asia, TV kabel HBO, maupun off air. Hal ini tentunya menarik pasar global sehingga perkembangan pemasaran kaos bisa mencapai pasar internasional, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Polandia, dan Jerman.

Upgrading dalam produk kaos bisa dilakukan pada tahap desain yaitu dengan adanya inovasi dan penggunaan teknologi. Dilakukan pula upgrading dari segi bahan baku utama yaitu kaos dan tinta yang lebih ditingkatkan kualitasnya. Langkah selanjutnya adalah dengan memberikan merek yang “menjual” dan mudah diingat sehingga produk akan lebih dikenal oleh pasar global. Di samping itu kualitas keseluruhan produk dan pengemasannya pun harus diperhatikan sehingga konsumen global tidak merasa kecewa mengeluarkan uang untuk membelanjakan produk kaos. Lalu dari segi marketnya pun dapat di upgrade dengan cara didistribusikan pada departement store global, seperti Walmart ataupun Amazon.com. Dalam aspek service dapat ditingkatkan dengan memberikan jaminan jahitan atau sablon untuk meningkatkan kepercayaan pembeli.

Tabel 2. Product Upgrading of Sentra Industri Kaos Surapati

Komponen Produk Upgrading
Desain Inovasi Desain Kaos
Kaos Peningkatan Kualitas Pemilihan Bahan Baku, Variasi Bahan Kaos
Branding Merk yang Menjual
Kualitas Quality Check, mengikut standard internasional
Market Export, Departement Store (Local & International)
Service Guarantee

Keterangan foto: Pemateri, Asrie Karwanti (kiri) dan Naota Parongko (kanan)
Disadur oleh: Tika Marzaman
Foto: Dimas

Catatan: CwtsPspd UGM tiap Senin seminggu sekali mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Siapa saja dapat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, terutama yang mengangkat tema perdagangan internasional. Silakan menghubungi Vinie untuk informasi lebih detil. Pemikiran dan/atau pemaparan pembicara diskusi hanya mewakili pendapat individu pembicara dan tidak serta merta mewakili sikap/opini CwtsPspd UGM.

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*