Arsip:

Artikel

Industri Kakao di Indonesia: Pudarnya Identitas Sebagai Penghasil Kakao Terbesar di Dunia

Industri Kakao di Indonesia: Pudarnya Identitas Sebagai Penghasil Kakao Terbesar di Dunia

Penulis:

Raevita Andriessa

SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Tanaman kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki prospek menjanjikan untuk negara-negara beriklim tropis seperti Indonesia. Berdasarkan data yang terpublikasi dalam Databoks, Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia pada tahun 2020 setelah Pantai Gading dan Ghana, disusul dengan Nigeria dan Kamerun di posisi ke-4 dan ke-5. Peringkat ini menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara dari Asia Tenggara dan di luar benua Afrika yang termasuk dalam kelima negara produsen cokelat terbesar di dunia. Pada tahun tersebut, produksi kakao di Indonesia telah mencapai 659,7 ribu ton dengan Pulau Sulawesi sebagai penyumbang tanaman kakao terbesar Indonesia yang mencapai 75% dari total produksi kakao Indonesia yakni 128,2 ribu ton.

Seperti yang dipaparkan Indonesia Investments, salah satu faktor yang mengantar Indonesia untuk menduduki posisi sebagai salah satu produsen terbesar kakao di dunia adalah ambisi pemerintah melakukan program revitalisasi untuk menggenjot produksi kakao pada tahun 2009. Program yang ditargetkan dalam jangka waktu lima tahun tersebut telah berhasil meningkatkan produksi kakao Indonesia secara drastis melalui kegiatan intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan tanaman kakao. Pada masa itu, pemerintah Indonesia juga telah berhasil memperluas lahan produksi kakao di seluruh Indonesia dengan luas total 450 ribu hektar.

Dengan tingginya angka produksi kakao pada tahun tersebut, Indonesia juga melakukan aktivitas ekspor kakao ke luar negeri. Berdasarkan Databoks, aktivitas ekspor kakao di Indonesia telah mencapai angka 358,48 ribu ton dengan nilai sebesar USD 1,2 miliar atau setara dengan IDR 17,2 triliun. Dari total jumlah ekspor kakao tersebut, Malaysia menjadi negara dengan importir kakao Indonesia terbesar dengan jumlah sebanyak 80,59 ribu ton atau 22,48% dari total ekspor dengan nilai USD 172,58 juta. Selanjutnya, Amerika Serikat menempati peringkat kedua importir kakao Indonesia sebanyak 17,23% dari total ekspor, disusul dengan ekspor kakao ke Tiongkok yang mencapai 6,58% dari total ekspor. Menurut Ipotnews, pada tahun 2019, keuntungan yang diperoleh dari aktivitas ekspor kakao Indonesia telah menyumbang devisa negara Indonesia sebesar USD 1,13 miliar atau setara dengan IDR 16,3 triliun.

Dilansir dari CNBC Indonesia, Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa Indonesia melakukan ekspor produk olahan kakao seperti pasta kakao, minyak kakao, dan bubuk kakao. Adapun jumlah ekspor kakao Indonesia dalam bentuk biji sebesar 6,1% dan sisanya 93,9% dalam bentuk olahan. Sementara itu, produk-produk olahan kakao hanya diekspor untuk memenuhi kebutuhan produksi merek-merek cokelat siap konsumsi di luar negeri. Akibatnya, hasil-hasil produksi kakao Indonesia nyaris tak terlihat dan tersamarkan oleh pamor perusahaan cokelat siap konsumsi di luar negeri.

Kebijakan Bea Keluar Terhadap Biji Kakao

Pada tahun 2010, pemerintah telah memberlakukan Bea Keluar (BK) terhadap ekspor biji kakao dalam PMK No.67/PMK.011/2010 yang berlaku sejak tanggal 1 April 2010. Dengan adanya kebijakan ini, eksportir kakao dari dalam negeri akan dikenakan biaya setiap kali mereka akan mendistribusikan biji kakao mentah ke luar negeri untuk mengontrol intensitas aktivitas ekspor biji kakao agar persediaan biji kakao di dalam negeri tetap terpenuhi. Berdasarkan kebijakan tersebut, besaran bea keluar kakao diterapkan sebesar 5% hingga 15%. Namun demikian, sebagaimana dikutip dari Kontan, seiring berjalannya waktu, penerapan kebijakan bea keluar terhadap Biji Kakao mengalami dinamika khususnya terkait penyesuaian tarif yang sempat direncanakan untuk dinaikkan di angka 10% hingga 30% sebagai respon dari kurangnya persediaan kakao di Indonesia akibat kegiatan ekspor kakao yang berlebih. 

Dalam perkembangannya kebijakan tersebut menuai berbagai pro dan kontra.  Klaim yang ada pada saat kebijakan BK biji kakao tersebut berlaku adalah kebijakan ini dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan baku industri di dalam negeri dan menyeimbangkan daya saing industri kakao. Selain itu dari sisi pemerintah, kebijakan bea keluar ini dimaksudkan untuk menambah persediaan kakao di Indonesia yang setiap tahunnya mengalami defisit sebesar 300 ribu ton. Sebuah penelitian mengungkapkan fakta bahwa, pemberlakuan BK atas ekspor kakao pada tahun 2010 membuat volume ekspor kakao mentah mengalami penurunan dan relatif konstan disebabkan oleh mulai meningkatnya ekspor produk olahan kakao setengah jadi setelah pemberlakuan bea keluar terhadap biji kakao. Kebijakan BK dinilai telah berdampak positif terhadap upaya pengembangan industri pengolahan kakao dalam negeri dengan adanya penurunan ekspor kakao yang cukup signifikan diikuti dengan jumlah perusahaan industri cocoa processing yang bertambah. 

Di satu sisi, Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) dan para petani kakao yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) menyoroti bahwa kebijakan bea keluar harus memperhatikan kesejahteraan para petani kakao. Dikutip dari Dinas Perkebunan Kalimantan Timur, Ketua Umum Askindo menyatakan bahwa kenaikan tarif bea keluar yang signifikan akan memberatkan petani kakao dan seharusnya pengenaan bea keluar harus tetap memperhatikan terjaminnya pasokan kakao di dalam negeri, terjaganya kelestarian lingkungan dan stabilitas harga kakao agar petani tidak dirugikan. Seperti apa yang tertulis dalam situs web resmi Kementerian Perindustrian, ketua APKAI juga menyampaikan bahwa adanya peningkatan tarif bea keluar dapat meningkatkan potensi terjadinya permainan harga oleh perusahaan pengolahan kakao. Hingga saat ini, kebijakan BK biji kakao ditetapkan melalui PMK No. 1/PMK.010/2022 yang menetapkan tarif bea keluar biji kakao sebesar 5-10% sesuai masing-masing kolom yang didasarkan pada tingkat harga referensi per ton. 

Adanya Ketergantungan Impor

Seiring dengan perkembangan industri pengolahan kakao dalam negeri, jumlah biji kakao dalam negeri tidak dapat mencukupi kebutuhan industri tersebut. Hal ini lantas membuka kran impor biji kakao dari luar negeri oleh Indonesia. Dilansir dari Bisnis.com, jumlah impor biji kakao di Indonesia pada tahun 2019 mencapai sekitar 234 ribu ton. Walaupun jumlahnya terus berkurang hingga mencapai angka 133 ribu ton di tahun 2021, angka impor kakao di Indonesia masih terbilang cukup besar. 

Dikutip dari artikel tersebut, kebutuhan pasokan biji kakao yang besar tidak bisa dipenuhi sepenuhnya karena semakin menurunnya kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola perkebunan kakao. Indonesia Investments menyatakan bahwa 90% produksi kakao Indonesia merupakan hasil produksi para petani yang memang memiliki kekurangan secara finansial dan memiliki peralatan yang serba terbatas. Ditambah lagi, sebagian besar tanaman kakao di Indonesia telah mengalami penuaan yang menyulitkan proses reproduksi kakao secara alami. Hal tersebut menyebabkan proses pemeliharaan tanaman kakao menjadi kurang maksimal sehingga rentan akan kerusakan oleh berbagai faktor. 

Sebagai konsekuensinya, kualitas tanaman-tanaman kakao Indonesia pun menurun dan jumlah produksi kakao di Indonesia menjadi semakin berkurang. Faktanya, angka produksi kakao sebesar 659,7 ribu ton di tahun 2020 bukanlah angka produksi kakao terbesar di Indonesia. Dikutip dari Tempo, jumlah produksi kakao tahun 2012 mencapai 740,5 ribu ton dan pada 2019 turun menjadi 659 ribu ton. Oleh sebab itu, kemampuan Indonesia untuk mengekspor biji kakao ke luar negeri pun berkurang dan sangat bergantung akan produk impor.

Memajukan Industri Kakao Indonesia

Upaya memajukan industri kakao di Indonesia dapat dimulai dari menaruh perhatian pada produksi kakao dalam negeri. Pengusaha perkebunan kakao perlu meningkatkan kualitas kakao yang mereka produksi. Salah satunya adalah dengan mendistribusikan bibit-bibit unggul kakao ke produsen-produsen kakao yang ada di Indonesia. Strategi ini telah diimplementasikan pada tahun 2020, tepatnya di Sulawesi Tenggara. Dilansir dari Badan Litbang Kementerian Pertanian, petani-petani kakao di Sulawesi Tenggara telah menerima benih-benih kakao varietas unggul untuk mereka budidayakan dan perdagangkan. 

Selain meningkatkan kualitas produk mereka, para pengusaha perkebunan kakao juga harus memperhatikan kualitas sumber daya manusia yang dikerahkan dalam proses produksi, salah satunya dengan mengadakan pelatihan kerja bagi para sumber daya manusia yang terlibat dalam kegiatan produksi. Selain itu, pemerintah juga harus lebih memperhatikan kesejahteraan para petani kakao yang memiliki masalah finansial agar mereka dapat lebih maksimal dalam memproduksi tanaman kakao. Kelengkapan peralatan serta sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan produksi kakao oleh para petani kecil juga harus disediakan.

Selanjutnya, perhatian pada industri pengolahan kakao juga perlu diberikan sejalan dengan terbukanya perkembangan industri pengolahan setelah pemberlakuan kebijakan BK. Para produsen dalam industri kakao harus didukung untuk lebih kreatif dan inovatif dalam memajukan industri kakao di Indonesia. Tak hanya mengekspor produk-produk kakao setengah jadi untuk kebutuhan produksi merek lain di luar negeri, produsen kakao Indonesia juga dapat melakukan ekspor untuk produk-produk kakao siap konsumsi dengan merek asli Indonesia untuk diperkenalkan ke pasar internasional. Dengan memproduksi produk-produk kakao siap konsumsi atas nama merek asli Indonesia, reputasi industri kakao di Indonesia akan semakin dikenal baik oleh pasar Internasional. Nantinya, Indonesia tak hanya akan dikenal sebagai pengekspor bahan baku setengah jadi untuk keperluan produksi perusahaan lain, tetapi juga dapat dikenal dengan merek produk asli Indonesia dengan kualitas yang dapat bersaing dengan produk lainnya di pasar Internasional.

Saat ini, sudah banyak bermunculan perusahaan kecil dan menengah yang menawarkan produk kakao siap konsumsi. Produk-produk kakao siap konsumsi khas lokal ini sangat potensial untuk dapat sukses di pasar internasional. Oleh karena itu, dukungan pemerintah untuk mengembangkan potensi perusahaan yang bergerak dalam industri kakao siap konsumsi sangat penting untuk memajukan industri kakao Indonesia. Tentunya, masyarakat juga perlu untuk mulai mengkonsumsi produk olahan kakao lokal alih-alih produk olahan kakao dari luar negeri sebagai bentuk dukungan mereka untuk kemajuan industri kakao di Indonesia.

Transportasi Maritim: Tulang Punggung dari Aktivitas Perdagangan Internasional

Transportasi Maritim: Tulang Punggung dari Aktivitas Perdagangan Internasional

Penulis:

Raevita Andriessa

SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Ameral Rizkovic

Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrator:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan berita terdamparnya kapal kargo di Teluk Chesapeake. Tepatnya pada 13 Maret 2022, kapal Ever Forward yang juga merupakan salah satu anggota armada Evergreen Marine Corp. dikabarkan tersangkut di Teluk Chesapeake. Dilansir oleh NPR, kapal Ever Forward pada saat itu berangkat dari Baltimore setelah memuat isian kargo mereka ketika para kru kapal membuat kesalahan dalam menavigasikan kapal tersebut. Pada akhirnya, kapal Ever Forward sampai di Teluk Chesapeake dan tersangkut di perairan dangkal yang sangat dekat dengan permukaan tanah selama empat minggu. Berbagai upaya telah dikerahkan untuk membebaskan kapal kargo ini agar dapat kembali berlayar dengan normal sesuai dengan jalur perdagangan yang harus dilalui. Namun, hingga saat ini belum ada tanda-tanda kapal tersebut dapat bebas dan masih tersangkut di Teluk Chesapeake. 

Meski tidak sampai membuat kerugian terhadap aktivitas distribusi yang dilakukan kapal-kapal lainnya, tetapi peristiwa ini menyebabkan tertundanya aktivitas suplai bahan baku dan produksi komoditas-komoditas esensial bagi kehidupan manusia dikarenakan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk penyelamatan kapal tersebut. Dilansir dari CBS News, kapal Ever Forward saat ini memuat sebanyak 5000 kontainer dan dengan terjebaknya mereka di posisi yang sama selama satu bulan, mereka telah menyebabkan kerugian sebanyak 1 Miliar USD per harinya. Untuk menghindari jumlah kerugian yang lebih besar, para kru kapal dan petugas keamanan pesisir Teluk Chesapeake berinisiatif untuk mengevakuasi kontainer-kontainer tersebut menggunakan kapal lain untuk segera didistribusikan ke para penerima.

Insiden yang menimpa Ever Forward ini kembali membuka mata bahwa transportasi maritim sangat krusial dalam mendukung kegiatan ekspor dan impor dalam perdagangan. Aktivitas ekspor dan impor merupakan proses yang krusial dalam perdagangan berskala internasional untuk menyalurkan komoditas yang telah diproduksi ke tangan para konsumen untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Untuk membuat aktivitas ekspor dan impor menjadi lebih efisien, dibutuhkan sarana transportasi, terutama sarana transportasi laut yang sudah sejak lama dipercaya sebagai transportasi yang efisien untuk mengangkut ragam jenis produk dalam waktu yang bersamaan. 

Dikutip dari rilis pers dalam situs resmi PBB, Mantan Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon menyampaikan betapa pentingnya transportasi maritim dalam ranah perdagangan internasional pada pidatonya tanggal 29 September 2016, bertepatan dengan Hari Maritim Sedunia. Ban Ki Moon menyatakan bahwa transportasi maritim merupakan tulang punggung dari aktivitas perdagangan global. Transportasi maritim membantu memastikan bahwa manfaat perdagangan lebih merata karena kapasitasnya yang besar dan biaya yang relatif lebih hemat dibandingkan angkutan-angkutan lainnya. Selain itu, industri pelayaran juga telah memainkan peran penting dalam peningkatan standar hidup global yang telah membawa jutaan orang keluar dari kemiskinan akut dalam beberapa tahun terakhir. Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai pentingnya transportasi maritim dalam dunia perdagangan internasional. 

Pentingnya Transportasi Maritim dalam Perdagangan

Nyaris tidak ada kegiatan ekonomi dan sektor industri di dunia yang dapat bertahan lama tanpa adanya keterlibatan transportasi laut dalam kegiatan ekspor dan impor mereka.  Pernyataan ini diperkuat oleh International Chamber of Shipping (ICS) yang memaparkan bahwa industri transportasi maritim internasional bertanggung jawab atas pengangkutan sekitar 90% komoditas hasil produksi dari aktivitas perdagangan dunia. Dalam angka tersebut, 80% nya merupakan komoditas yang diperuntukkan untuk kegiatan ekspor dan impor. Secara tidak langsung, pernyataan tersebut menyiratkan bahwa aktivitas perdagangan sepenuhnya bergantung pada transportasi laut yang menjadi komponen penting untuk menggerakkan kegiatan ekonomi mereka. 

ICS juga menyebutkan bahwa dari angka 90% tersebut, ada 11 miliar ton komoditas yang diangkut dengan kapal kargo setiap tahunnya, di mana 1,5 tonnya mewakili kebutuhan hidup setiap satu orang di dunia per tahun. Setiap tahun, industri perkapalan mengangkut hampir 2 miliar ton minyak mentah, 1 miliar ton bijih besi, dan 350 juta ton gandum, di mana bahan-bahan mentah ini merupakan bahan-bahan dasar dari hampir seluruh kebutuhan manusia, baik kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Hal ini membuktikan bahwa keberlangsungan hidup seseorang sangat bergantung pada aktivitas perdagangan dunia, terutama pada proses ekspor dan impor melalui transportasi maritim. 

Selain itu, ICS menyebutkan juga bahwa saat ini, sudah ada lebih dari 50.000 kapal kargo internasional yang mengangkut setiap jenis komoditas di dalam kapasitas kargonya. Terdapat 150 negara di dunia yang memiliki armada kapal kargo yang terdaftar sebagai alat distribusi komoditas dalam perekonomian. Ditambah lagi, setiap armada yang ada mempekerjakan lebih dari satu juta sumber daya manusia dari hampir setiap negara. Ini membuktikan bahwa industri transportasi maritim dalam kegiatan ekspedisi sangat didukung keberadaannya untuk menjaga aktivitas perdagangan dunia agar tetap hidup. 

Yang Terjadi Setahun Sebelumnya

Selama setahun ini, dunia perdagangan dan khalayak umum dihebohkan dengan berita-berita tentang kapal kargo yang tersangkut di perairan tempat mereka berlayar. Sebelum insiden terdamparnya kapal Ever Forward di Teluk Chesapeake, terdapat insiden yang menimpa kapal Evergreen lainnya, di mana insiden ini dinilai jauh lebih fatal. Dilansir dari The Washington Post, pada akhir Maret 2021 lalu, salah satu unit kapal Evergreen Marine Corp., yakni Ever Given, dikabarkan tersangkut di Terusan Suez yang menyebabkan blokade kanal tersebut selama 6 hari penuh. Blokade yang disebabkan oleh tersangkutnya kapal pengangkut raksasa tersebut berhasil mengacaukan aktivitas pelayaran lebih dari 300 kapal, sehingga beberapa kapal terpaksa mengambil jalur alternatif, mengharuskan mereka untuk mengitari Benua Afrika untuk mencapai Asia dan menambah waktu pelayaran mereka sebanyak tiga minggu.

Dilansir dari CNBC, jumlah kerugian yang ditanggung oleh pihak Evergreen Marine Corp. setelah mengalami insiden ini tentunya tak sedikit, sebab bukan hanya perusahaan mereka saja yang mengalami kerugian, tetapi juga perekonomian di seluruh dunia. Meski telah membayar denda yang mencakup kompensasi kerusakan dan hilangnya pendapatan Terusan Suez, juga biaya penyelamatan dengan total sebesar 916 juta USD, pihak Evergreen Marine Corp. tidak dapat langsung mengembalikan keadaan perdagangan dunia seperti sediakala. Kerugian yang ditimbulkan oleh peristiwa tersangkutnya Ever Given ke perekonomian dunia tidak hanya berlangsung sehari atau seminggu setelahnya saja, tetapi dampaknya terasa hingga berbulan-bulan lamanya. 

Menurut Business Insider, kerugian yang disebabkan setelah peristiwa tersangkutnya kapal Ever Given ditaksir mencapai 400 juta USD per jamnya. Lloyd's List, sebuah jurnal berita pelayaran yang berbasis di London, memperkirakan nilai barang kargo yang melewati kanal setiap hari rata-rata 9,7 miliar USD, dengan total 5,1 miliar USD yang bergerak ke belahan bumi barat  dan 4,6 miliar USD yang bergerak ke belahan bumi timur. Dikalikan 300 lebih kapal kargo lainnya, tentunya jumlah kerugian ini bukanlah sesuatu yang sepele. Peristiwa ini mempengaruhi rantai pasokan global yang sudah mengalami kesulitan besar berupa kekurangan dan penundaan pengiriman sejak pandemi dimulai pada 2020.

Transportasi maritim merupakan pilihan transportasi terbaik untuk aktivitas distribusi dalam perdagangan dunia ditinjau dari fungsinya. Sebagai penggerak utama aktivitas distribusi komoditas dalam perdagangan internasional, kebutuhan manusia nyaris sepenuhnya bergantung pada kelancaran prosesnya. Namun, jika aktivitas perdagangan yang melibatkan transportasi maritim mengalami gangguan saat menjalankan fungsinya, maka kerugian yang ditimbulkan pun akan sangat fantastis. Kedepannya, perusahaan-perusahaan transportasi laut harus lebih mempersiapkan diri lagi untuk menghadapi situasi yang dapat membahayakan arus perdagangan internasional.

Hentikan Impor Gas dari Rusia, Inilah yang Terjadi pada Lithuania Setelah Lancarkan Aksi Tersebut

Hentikan Impor Gas dari Rusia, Inilah yang Terjadi pada Lithuania Setelah Lancarkan Aksi Tersebut

Penulis:

Raevita Andriessa

SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrasi:

Narinda Marsha Paramastuti

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Terhitung sejak 2 April 2022, Lithuania tidak lagi akan mengimpor pasokan gas dari Rusia untuk memenuhi kebutuhan suplai energi negara mereka. Dikutip dari pernyataan Menteri Energi Lithuania, Dainius Kreivys dalam ABC News,  Lithuania merupakan negara Uni Eropa pertama dari 27 negara lainnya yang memberhentikan aktivitas impor gas dari Rusia secara total. Presiden Lithuania, Gitanas Nauseda, mengunggah pernyataannya melalui akun Twitter resminya bahwa ia mengkonfirmasi fakta tersebut dan menyatakan bahwa Lithuania telah memutuskan untuk menghentikan kerjasama dalam bidang energi dengan ‘agresor’. Langkah yang mereka ambil mengindikasikan bentuk solidaritas mereka terhadap Ukraina yang telah menerima serangan dari Rusia sejak akhir Februari 2022 lalu. Dalam pernyataan tersebut pula, Presiden Lithuania mengajak negara-negara Uni Eropa lainnya untuk mengambil langkah yang sama.

Di Balik Keputusan Lithuania

Dilansir melalui PBS, Lithuania merupakan negara dengan tingkat dependensi impor gas alam Rusia sebesar 100%. Bahkan, tercatat bahwa sebelum tahun 2014, Lithuania selalu berada di dalam daftar negara dengan total transaksi gas alam terbanyak di Uni Eropa. Setelah  tahun 2014, barulah mereka mulai membuka terminal produksi gas mereka sendiri di pelabuhan Klaipeda dengan kondisi saat itu mereka masih memiliki ketergantungan impor gas alam dari Rusia sebesar 26% di tahun 2021.

Hubungan kerjasama perdagangan gas antara Rusia dan Lithuania tetap berjalan baik hingga pada awal tahun 2022, Rusia memulai penyerangan terhadap Ukraina. Dilaporkan oleh Bloomberg, Presiden Vladimir Putin memberhentikan ekspor gas ke negara-negara yang memberi reaksi negatif terhadap penyerangan tersebut, termasuk Lithuania. Mulai pada tanggal 1 April 2022, berdasarkan maklumat Presiden Putin, Rusia juga mendesak negara-negara Uni Eropa untuk membayar biaya impor gas menggunakan mata uang rubel jika suplai gas mereka tidak ingin diputus. Lithuania mengecam keras serangan tersebut dan segera mengambil tindakan dengan memutus kerjasama perdagangan gas dengan Rusia.

Dampak Yang Akan Terjadi, Berkaca Dari Situasi

Tentunya, langkah yang diambil Lithuania sebagai respon mereka terhadap situasi menegangkan yang dihadapi oleh Ukraina dan Rusia ini akan memberi dampak yang besar pada perekonomian negara tersebut. Berdasarkan data dari Trading Economics, Lithuania sedang mengalami inflasi sebesar 14,2% sejak akhir Februari 2022, angka inflasi terbesar semenjak tahun 1996. Hal ini menyebabkan kenaikan harga bahan bakar secara drastis, termasuk gas alam. Gas untuk keperluan rumah tangga yang berbahan dasar gas alam mengalami kenaikan harga yang cukup fantastis, begitu juga dengan listrik yang dihasilkan dari pengolahan gas alam.

Dilansir dari Delfi, pada akhir tahun 2021, harga gas rumah tangga di Lithuania mengalami kenaikan sebesar 27-36% dari harga normalnya, sedangkan harga listrik turut naik sebesar 10%. Sampai sekarang, harga tersebut belum menunjukkan tanda-tanda akan turun. Kondisi ini dikhawatirkan akan semakin memburuk setelah Lithuania memutuskan  menghentikan kerjasama impor gas dengan Rusia. Dalam situasi yang menegangkan ini, pemerintah Lithuania tak bisa tinggal diam dan harus memastikan ketersediaan pasokan gas di negaranya mengingat Lithuania merupakan salah satu negara yang sangat bergantung akan suplai gas alam sebagai sumber energi untuk sumber listrik dan bahan bakar pengatur suhu bangunan mereka.

Tindakan yang Diambil Lithuania

Pemerintah Lithuania mengambil beberapa langkah untuk menjaga ketersediaan gas alam untuk mengantisipasi kelangkaan akibat berakhirnya impor gas alam dari Rusia. Berikut adalah upaya yang dilakukan Lithuania setelah memutus pasokan gas dari Rusia terhitung sejak tanggal 2 April 2022 lalu:

  1. Produksi Gas Alam Secara Mandiri

Dilaporkan dari Euronews, Kementerian Energi Lithuania telah menyatakan bahwa mulai 1 April 2022 mereka tidak akan lagi mengimpor gas Rusia dan akan meningkatkan produksi gas alam cair dari terminal produksi gas milik negara mereka sendiri sebagai alternatif dari kegiatan impor gas. Data dari operator sistem transmisi secara spesifik menunjukkan bahwa terhitung sejak 2 April 2022, impor gas Rusia untuk kebutuhan Lithuania melalui interkoneksi gas Lithuania-Belarus telah mencapai angka 0.  Kini, mereka secara mandiri mengandalkan produksi gas alam dari terminal gas milik negara mereka sendiri di daerah Klaipeda. Kedepannya, Lithuania akan meningkatkan produksi gas di Klaipeda untuk mencapai kemandirian suplai gas dalam negeri mereka sepenuhnya tanpa harus bergantung lagi akan impor gas dari negara lain, terutama Rusia.

        2. Kerjasama dengan Negara Tetangga

Sejalan dengan pernyataan Presiden Nauseda dalam akun Twitternya yang menggiatkan negara-negara Uni Eropa lainnya untuk memberhentikan impor gas dari Rusia, Pemerintah Lithuania pun menggalakkan kerjasama dengan negara-negara tetangga dalam perdagangan gas alam, salah satunya pembangunan pipa saluran gas ke sumber gas alam Polandia. Dilansir dari Reuters, interkoneksi Gas Polandia–Lithuania (GIPL) yang menghubungkan Polandia dan Lithuania akan resmi dibuka pada 1 Mei 2022 untuk melangsungkan kerjasama perdagangan gas alam dengan menyalurkan gas alam yang diproduksi Lithuania ke Polandia dan sebaliknya. Dengan dibangunnya pipa gas alam ini, kedua negara akan saling menjaga persediaan gas alam masing-masing agar tetap aman. Proses pembangunan telah dimulai sejak awal tahun 2019 dan sempat terkendala pembangunannya di tahun 2021, fasilitas ini diresmikan lebih awal dari yang dijadwalkan, yakni pada pertengahan tahun 2022 nanti.

        3. Penggunaan Sumber Energi Alternatif

Terbukanya kemungkinan penurunan suplai gas alam Lithuania setelah pemutusan kerjasama impor gas dari Rusia, mendorong pemerintah Lithuania untuk mencari sumber energi alternatif lain, salah satunya adalah sumber energi angin. Dilansir dari Offshore Wind Biz, pada tanggal 31 Maret 2022 lalu, Parlemen Lithuania telah menyetujui undang-undang untuk pengembangan energi angin lepas pantai di Laut Baltik. Pemberian izin operasi untuk mengembangkan ladang pemanen energi angin ini menandai awal dari pembangunan fasilitas pemanen energi angin lepas pantai pertama di Lithuania. 

Dengan segala usaha yang dilakukan, Lithuania dapat segera menjadi negara yang independen dalam produksi energi, terutama gas alam, dan juga menjadi sumber gas alam bagi negara-negara lainnya. Produksi gas secara mandiri dan distribusi gas ke negara-negara lain juga dapat meningkatkan hubungan diplomatis antara Lithuania  dengan negara-negara yang secara langsung mendapatkan benefit dari kegiatan ekspor gas tersebut. Kebijakan eksplorasi sumber daya alternatif juga menjadi kunci dependensi energi Lithuania setelah pemutusan kerja sama ekspor impor gas Rusia.

Kilas Balik: Kerjasama dalam Perdagangan Minyak, Sebuah Permulaan Hubungan Baik antara Venezuela dengan Afrika Selatan

Kilas Balik: Kerjasama dalam Perdagangan Minyak, Sebuah Permulaan Hubungan Baik antara Venezuela dengan Afrika Selatan

Penulis:

Raevita Andriessa

SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrasi:

Marsha

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Kerja sama antar negara baik secara bilateral maupun multilateral merupakan suatu langkah yang krusial untuk mendukung kemajuan dan perkembangan negara-negara yang saling bekerja sama, terlebih lagi dalam kerjasama di bidang ekonomi. Membangun kerjasama dengan negara maju  seringkali dinilai lebih menguntungkan dalam berbagai sektor  Di sisi lain, kerjasama antar negara berkembang, atau yang biasa dikenal dengan istilah “Kerjasama Selatan-Selatan”, untuk mendukung pembangunan negara Selatan satu sama lain juga menjadi suatu hal yang penting Dikutip dari situs web resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa, istilah “Kerjasama Selatan-Selatan” meliputi kerjasama teknis antara negara-negara berkembang untuk berkolaborasi dan berbagi pengetahuan, keterampilan, dan inisiatif sukses di bidang tertentu untuk mendukung perkembangan sektor tertentu dari negara-negara yang tergabung di dalam kerjasama tersebut. 

Venezuela dan Afrika Selatan merupakan salah satu bukti dari negara-negara berkembang yang telah sukses menjalin Kerjasama Selatan-Selatan. Kerjasama antar kedua negara tersebut bermula dari kerjasama dalam perdagangan minyak pada tahun 2008 silam, dimana saat itu dunia sedang dilanda krisis keuangan global. Sebagai negara-negara berkembang yang berjuang keras untuk tetap bertahan, Venezuela dan Afrika Selatan secara inisiatif membangun kerjasama di bidang perdagangan. Venezuela dengan keunggulan potensi minyak buminya dan Afrika yang kaya akan gas alam saling menawarkan  potensi sumber daya mereka dan bergantung satu sama lain di dalam perjanjian kerjasama. Selanjutnya, artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai permulaan hubungan baik Venezuela dan Afrika Selatan melalui kerja sama antar negara yang terus berlanjut hingga sekarang. 

Kerjasama dalam Perdagangan Minyak di Tahun 2008

Venezuela dan Afrika Selatan menandatangani surat perjanjian kerjasama sebagai bentuk aliansi dari kedua belah pihak pada tahun 2008 silam. Di dalam rencana kerjasama bilateral tersebut, kedua negara setuju untuk mengelola minyak bumi dan gas yang tersimpan di bawah permukaan lembah sungai Orinoco yang melintasi wilayah Venezuela. Dilansir melalui The Economic Times, Presiden Venezuela di periode tersebut, Hugo Chavez, secara terang-terangan mengundang perusahaan perminyakan Afrika Selatan untuk langsung datang ke Venezuela dan memulai kerjasama secepatnya. Dalam kerjasama ini, perusahaan Minyak dan Gas Bumi Afrika Selatan, atau PetroSA, bekerja sama dengan Petroleos de Venezuela SA, (PdVSA) di tanah Venezuela.

Sebagai balasannya, Presiden Afrika Selatan di periode tersebut, Thabo Mbeki, mempersilakan pihak Venezuela untuk mengeksplorasi sumber daya gas alam di negara tersebut. Afrika Selatan juga merupakan pelopor teknologi pengubah gas alam menjadi cairan dengan kepemilikan kapasitas penyimpanan stok komoditas tersebut sebanyak 45 juta barel. Hal ini yang kemudian turut membuat Venezuela semakin tertarik untuk bekerjasama dengan negara tersebut. Tujuan utama pengadaan kerjasama bilateral di bidang ekonomi kedua negara ini adalah untuk membantu mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk mengimpor minyak bumi dan gas alam dan berinisiatif melakukan ‘barter’ untuk sumber daya yang dibutuhkan negara masing-masing. 

Momen kerjasama ekonomi antara Venezuela dan Afrika Selatan menandai dimulainya hubungan yang erat antara keduanya. Seperti yang terekam dalam transkrip konferensi pers antara Venezuela dan Afrika Selatan pada tanggal 2 September 2008 tentang pembentukan kerjasama bilateral dalam bidang ekonomi, Presiden Mbeki menyebut kerjasama yang mereka laksanakan sebagai ‘kemitraan strategis’ yang memiliki arti bahwa kedua negara tersebut akan belajar dari satu sama lain dan memanfaatkan kekuatan dan kelemahan masing-masing. Kerjasama ini diharapkan memberikan dampak positif bagi masyarakat kedua negara dan mendukung pembangunan.

Perkembangan Kerja Sama Keduanya, Masa Kini, dan Mendatang

Meski hubungan diplomatik Venezuela dan Afrika Selatan telah berjalan sejak tahun 1993 saat kedutaan di masing-masing negara sudah ditempatkan, perjanjian dalam komoditas minyak dan gas pada tahun 2008 merupakan sebuah batu loncatan bagi kedua negara untuk memperkuat hubungan baik mereka. Terhitung semenjak kerjasama di dalam sektor perdagangan minyak tahun 2008 yang saling menguntungkan kedua belah pihak, Venezuela dan Afrika Selatan terus gencar membangun kerjasama di berbagai sektor lainnya. 

Salah satu contoh kerjasama antar kedua negara tersebut yang dijalin setelah suksesnya kerjasama perdagangan minyak pada 2008 yakni kerjasama perdagangan hasil tambang berlian pada bulan Juli tahun 2017 silam. Dilansir dari The Diamond Loupe, kontrak kerjasama tersebut ditandatangani oleh Wakil Menteri Sumber Daya Mineral Afrika Selatan, Godfrey Oliphant, dan mitranya dari Venezuela, Víctor Cano. Masih dalam sektor perdagangan sumber daya alam, contoh kerjasama Venezuela Afrika Selatan lainnya adalah ekspor kopi besar-besaran ke perusahaan pengolahan kopi di Afrika Selatan sebanyak 200 ton pada tahun 2020. Tak hanya dalam sektor perdagangan sumber daya alam, Venezuela dan Afrika Selatan juga saling bekerjasama dalam bidang khususnya dalam menghadapi pandemi COVID-19 di awal penyebarannya pada tahun 2020 silam dengan cara berbagi analisis evolusi virus COVID-19 sebagai acuan untuk membangun kebijakan dalam menghadapi pandemi. Bahkan di tahun 2019 ketika Venezuela menghadapi krisis politik dan keuangan besar-besaran, Afrika Selatan membantu Venezuela dengan cara mendesak Dewan Keamanan PBB untuk turut serta membantu Venezuela kembali ke titik normal.

Dikutip dari situs resmi DIRCO, Afrika Selatan akan terus menjalin hubungan persaudaraan yang kuat dengan Venezuela. Venezuela tetap menjadi mitra strategis Afrika Selatan di Amerika Latin, terutama dalam konteks Kerjasama Selatan-Selatan serta potensi kemitraan ekonomi ke depan menimbang faktor cadangan minyak dan gasnya yang melimpah. Perkembangan terakhir, untuk memperkuat kerjasama bilateral antara kedua negara tersebut, Venezuela dan Afrika Selatan mengadakan pertemuan untuk membahas perjanjian-perjanjian kerjasama pada September 2021 lalu. Dilansir dari situs web resmi pemerintahan Venezuela, kedua belah pihak mengadakan pertemuan untuk meninjau agenda kerja sama bilateral dan membahas panorama geopolitik internasional. Dalam pertemuan itu juga, kedua negara tersebut menegaskan bahwa mereka akan terus memperkuat ikatan persaudaraan dan kerjasama bilateral mereka.

Berbagai perjanjian kerjasama terkait perdagangan bahan tambang seperti minyak dan gas menjadi faktor utama di balik ketahanan hubungan diplomatik kedua negara berkembang ini. Kerjasama dalam bidang perdagangan minyak dan gas menjadi pintu pembuka peluang kedua negara dalam membangun kerjasama di bidang perdagangan komoditas lainnya dan juga kerjasama dalam berbagai bidang seperti keamanan dan kesehatan. Venezuela dan Afrika Selatan terbukti telah menjalin kerjasama yang solid sebagai negara berkembang yang saling membutuhkan satu sama lain. Hubungan kerjasama antara Venezuela dan Afrika Selatan ini dapat dijadikan contoh untuk negara-negara berkembang lainnya agar dapat membangun hubungan kerjasama yang dapat bertahan lama. Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan, hubungan baik antara Venezuela dan Afrika Selatan diharapkan untuk terus dapat dilanjutkan kedepannya dan mampu meningkatkan perkembangan masing-masing negara.

Ilustrasi oleh Marsha, Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Minyak Goreng Langka? Ternyata Inilah Penyebabnya!

MINYAK GORENG LANGKA? TERNYATA INILAH PENYEBABNYA!

Penulis:

Raevita Andriessa

SEO Content Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Nabila Asysyfa Nur

Website Content Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Ilustrasi:

Marsha

Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.

Terhitung sejak awal Oktober 2021 lalu, harga minyak goreng di Indonesia naik secara signifikan. Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional dalam Katadata.id, harga minyak goreng pada pada 7 Oktober 2021 telah mencapai Rp15.550,- per kilogram. Mirisnya lagi, harga minyak goreng di awal Januari 2022 semakin melambung tinggi mencapai angka Rp18.550,- per kilogram nya. Harga minyak goreng kemasan bermerek pun tak mau kalah dan mencetak harga yang lebih tinggi lagi yakni seharga Rp21.150,- per kilogram.

Tingginya permintaan dan turunnya penawaran minyak goreng mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di sebagian besar daerah di Indonesia. Sementara itu, minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang paling dibutuhkan oleh masyarakat setiap harinya untuk mencukupi kebutuhan pangan. Oleh sebab itu, kelangkaan minyak goreng sangat meresahkan masyarakat Indonesia terutama untuk masyarakat dari kelas menengah ke bawah. Masyarakat mulai bertanya-tanya mengenai penyebab kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng di pasaran? Kira-kira apa saja yang menjadi faktor-faktor penyebabnya? Simak bahasannya di sini!

1. Kenaikan Harga Minyak Nabati Dunia

Rupanya, kenaikan harga minyak goreng nabati tak hanya terjadi di Indonesia tetapi terjadi juga di seluruh dunia. Saat ini, harga Crude Palm Oil (CPO) atau minyak nabati mentah telah melonjak menjadi US$ 1.340/mT atau setara dengan Rp19.291.243,-. Terjadinya kenaikan harga minyak mentah dalam skala global sangat berpengaruh terhadap kenaikan harga minyak nabati mentah termasuk minyak goreng di pasaran.

Dilansir dari CNBC Indonesia, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, membeberkan alasan mengapa harga minyak mentah di dunia melonjak tinggi. Beliau mengatakan bahwa permintaan minyak nabati semakin meningkat setelah kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan protokol kesehatan COVID-19 mulai longgar. Tetapi di sisi lain, produksi minyak nabati dunia anjlok 3,5% di tahun 2021 dan menyebabkan terganggunya suplai minyak mentah untuk olahan minyak lainnya.

2. Penerapan Kebijakan B30

Sejak kuartal pertama tahun 2020 silam, pemerintah telah menerapkan kebijakan B30. Kebijakan ini mewajibkan para perusahaan bahan bakar minyak di Indonesia untuk mencampur bahan bakar minyak jenis solar sebanyak 70% dengan biodiesel sebanyak 30%. Tujuan dari diadakannya kebijakan ini adalah untuk menghemat bahan bakar fosil yang serba terbatas dengan cara mencampur bahan bakar lain dalam proses pengolahan bahan bakar minyak. Kebijakan mencampurkan BBM jenis solar dengan biodiesel telah dilakukan oleh banyak negara lainnya, akan tetapi dengan kadar biodiesel dibawah 30% yakni tidak setinggi kebijakan B30 yang diterapkan oleh Indonesia.

Awalnya, pemerintah meluncurkan kebijakan B30 untuk mengurangi laju impor BBM sehingga meningkatkan devisa negara. Namun, kebijakan ini berdampak pada bertambahnya permintaan CPO di Indonesia yang kemudian turut berkontribusi sebagai penyebab kelangkaan bahan baku minyak goreng di Indonesia. Untuk menahan laju harga minyak goreng di pasaran, GIMNI mencoba untuk melakukan lobi pada pemerintah agar meringankan kebijakan B30 menjadi B20. Melalui usulan tersebut, harapannya kebijakan B20 dapat menekan jumlah permintaan minyak nabati mentah yang terus meningkat untuk mengurangi angka konsumsi hingga 3 juta ton yang dapat mencukupi jumlah kebutuhan minyak goreng di dalam negeri.

 3. Terganggunya Arus Logistik

Selain dari angka produksi minyak nabati mentah yang anjlok, arus logistik yang berperan dalam distribusi minyak nabati mentah pun ikut macet. Penyebabnya tak lain adalah pandemi COVID-19 yang masih belum kunjung teratasi. Banyak pekerja kasar pada sektor logistik terkena PHK karena dampak dari pandemi COVID-19 yang menyerang stabilitas perusahaan-perusahaan logistik. Selain itu, kondisi finansial perusahaan logistik yang tak kunjung membaik juga berdampak langsung pada jumlah unit transportasi yang mereka miliki untuk kegiatan distribusi bahan baku.

Macetnya arus logistik selama pandemi COVID-19 mengakibatkan biaya yang harus produsen keluarkan semakin banyak termasuk biaya ekspedisi. Ditambah lagi, biaya ekstra yang dikeluarkan untuk ekspedisi tidak dapat membuat produk mereka sampai dengan segera ke tangan konsumen karena faktor kurangnya tenaga kerja. Alhasil, minyak goreng menjadi semakin langka dan mahal di pasaran.

Terjadinya kelangkaan minyak goreng karena beberapa faktor diatas lantas mendorong pemerintah untuk memberlakukan kebijakan baru. Per tanggal 19 Januari 2022, Kementerian Perdagangan Indonesia telah menetapkan kebijakan yang mewajibkan perusahaan ritel dan pedagang sembako untuk menjual minyak goreng dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp.14.000,-. per liter. Pembelian minyak goreng dengan harga spesial ini dibarengi dengan ketentuan lainnya, yakni setiap orang hanya dapat membeli minyak goreng kemasan satu liter sebanyak dua bungkus dengan total sebanyak dua liter per orang. Tetapi apakah kebijakan ini ampuh untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng serta kenaikan harganya?

Kebijakan pemerintah untuk menetapkan harga yang sama untuk penjualan minyak goreng dan membatasi pembeliannya dapat menjadi sebuah pedang bermata dua karena implementasinya yang justru dapat memperparah kelangkaan minyak goreng di tengah masyarakat. Di satu sisi, kebijakan tersebut dapat mengundang masyarakat untuk menjadi penimbun dengan berbagai strategi. Salah satu strategi yang paling umum adalah dengan memanfaatkan anggota keluarga yang berada di satu tempat tinggal yang sama untuk membeli minyak goreng ke tempat yang berbeda-beda dan menimbunnya di rumah. Katakan satu pasang suami istri memiliki dua anak di rumahnya, berarti saat setiap orang membeli dua liter minyak, maka di rumah mereka akan terkumpul hingga delapan liter minyak. Bayangkan jika banyak oknum lain melakukan hal yang sama pada waktu yang bersamaan, hal ini tentu akan berakibat pada minyak goreng yang semakin langka.

Menimbang hal tersebut, formulasi kebijakan yang lebih efektif sangat diperlukan untuk mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng di Indonesia saat ini. Minyak goreng merupakan salah satu bahan pangan pokok yang masyarakat butuhkan sehari-hari dan kelangkaan komoditas tersebut akan berdampak pada tidak tercukupinya kebutuhan pangan dan industri masyarakat. Masyarakat juga harus turut kooperatif dalam melaksanakan kebijakan pemerintah dan diharapkan dapat menakar kebutuhan masing-masing demi kepentingan bersama. Edukasi terhadap diri sendiri sangatlah penting untuk menambah kepekaan terhadap kondisi perekonomian di dunia.