Trend thrifting buruk bagi keberlanjutan lingkungan

Penulis :

Annisa Aqila Azza

Pemagang

Editor :

Lukas Andri, S.I.P

Manajer Luaran Riset

Tren belanja barang bekas (thrifting) di bidang pakaian, semakin meningkat akhir-akhir ini dikalangan muda mudi. Thrifting merupakan salah satu cara untuk mengurangi dampak buruk industri fashion terhadap lingkungan. Dengan memperpanjang umur pakai pakaian, kita dapat mengurangi produksi limbah tekstil yang semakin menggunung. Namun, kita perlu memastikan bahwa praktik thrifting tidak memicu peningkatan konsumsi yang justru menghasilkan sampah baru yang akan berdampak sama seperti industri fast fashion. Industri fashion telah lama dikenal sebagai salah satu penyumbang polusi terbesar di dunia. Sekitar 10% emisi karbon dioksida global tahunan dihasilkan dari proses produksi, distribusi, dan pembuangan pakaian. Industri Fast fashion, dengan model bisnisnya yang mengutamakan produksi massal dengan harga murah, menjadi kontributor utama dalam permasalahan ini. Produksi massal pakaian baru membutuhkan sumber daya alam yang besar sehingga menghasilkan limbah tekstil yang lebih besar pula.

Thrifting telah menjadi tren yang populer di kalangan generasi muda. Menjelajahi tumpukan pakaian bekas bagaikan berburu harta karun, di mana kita bisa menemukan potongan-potongan unik yang tidak akan ditemukan di toko biasa. Selain itu, thrifting juga memacu kreativitas dalam memadukan dan menata pakaian, sehingga gaya berpakaian menjadi lebih unik. Thrifting hadir sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan. Fashion berkelanjutan (sustainable fashion) merupakan upaya untuk menciptakan industri mode yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga ramah lingkungan. Ini berarti mencari cara untuk meminimalkan dampak negatif dari produksi dan konsumsi pakaian terhadap lingkungan dan masyarakat. Dengan membeli pakaian bekas, kita mengurangi permintaan terhadap produksi pakaian baru, sehingga secara tidak langsung mengurangi emisi karbon dan limbah tekstil. Selain itu, thrifting juga memperpanjang siklus hidup pakaian. Setiap pakaian yang kita selamatkan dari tempat pembuangan sampah berarti mengurangi satu item yang harus diproduksi ulang. Hal ini sejalan dengan prinsip sustainable fashion yang bertujuan untuk meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan. Thrifting merupakan langkah sederhana dari gerakan sustainable fashion yang memberikan banyak manfaat bagi lingkungan. Dengan kata lain gaya hidup ini sangat ramah lingkungan.

Dengan beragam keuntungan yang ditawarkan, thrifting menjadi semakin populer dan diminati oleh banyak orang. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan lonjakan signifikan impor pakaian bekas ke Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, dengan puncaknya pada tahun 2019 dengan angka 392 ton. Menurut temuan VOA News, pada tahun 2023 saja, pemerintah telah memusnahkan 1,3 juta pakaian bekas impor yang disita. Negara-negara seperti Jepang, Australia, dan beberapa negara Asia Tenggara menjadi sumber utama pasokan pakaian bekas ini. Peningkatan drastis ini mengindikasikan adanya jaringan bisnis ilegal yang memanfaatkan popularitas thrifting untuk meraup keuntungan yang tentunya merugikan negara. Padahal, impor pakaian bekas telah dilarang di Indonesia melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Maraknya impor pakaian bekas ilegal telah memperparah masalah limbah fashion. Banyak di antara pakaian-pakaian tersebut yang kondisinya sudah tidak layak pakai, sehingga hanya akan menambah tumpukan sampah tekstil. Data dari BBC menunjukkan bahwa 35% pakaian dalam setiap bal impor tidak layak pakai dan harus berakhir di tempat pembungan akhir sehingga menjadi sumber limbah fashion. Selain itu, harga yang murah justru mendorong konsumerisme yang berlebihan pada pembeli, di mana orang cenderung membeli pakaian secara impulsif tanpa mempertimbangkan kebutuhan. Akibatnya, banyak pakaian bekas yang tidak terpakai dan berakhir di tempat pembuangan sampah yang ironisnya menambah tumpukan limbah pakaian.

Tren thrifting yang semakin populer di kalangan generasi muda menawarkan alternatif yang lebih berkelanjutan dalam industri fashion. Dengan memperpanjang siklus hidup pakaian dan mengurangi produksi pakaian baru, thrifting berkontribusi pada pengurangan limbah tekstil dan emisi karbon. Namun, di balik popularitasnya, terdapat sisi gelap dari praktik thrifting yang perlu diperhatikan. Maraknya impor pakaian bekas ilegal telah merusak semangat awal dari thrifting yang berkelanjutan. Pakaian bekas impor yang masuk secara ilegal seringkali dalam kondisi tidak layak pakai, sehingga justru menambah beban limbah fashion. Selain itu, harga yang murah dari pakaian bekas impor mendorong konsumerisme yang berlebihan, di mana orang cenderung membeli pakaian secara impulsif tanpa mempertimbangkan kebutuhan. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar dari thrifting yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran bersama untuk menjalankan praktik thrifting secara bertanggung jawab. Konsumen perlu lebih selektif dalam memilih pakaian bekas dan menghindari perilaku konsumerisme. Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat pengawasan terhadap impor pakaian bekas ilegal dan memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku pelanggaran. Dengan demikian, thrifting dapat benar-benar menjadi solusi yang efektif dalam mengatasi masalah limbah fashion dan mewujudkan industri fashion yang lebih berkelanjutan.