Kementerian Koordinator Bid. Perekonomian bekerjasama dengan Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Sosialisasi Hasil-Hasil Kerjasama Ekonomi Asia pada tanggal 15 Maret 2018 di Ruang Seminar Timur Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Acara diharapkan dapat menjadi jaring masukan kebijakan-kebijakan bilateral ke depan, terutama terkait peningkatan kualitas kerjasama ekonomi Indonesia dengan negara-negara di Asia, sebagaimana dikemukakan bapak Bobby Chriss Siagian, M.B.A selaku Asisten Deputi Kerjasama Ekonomi Asia, Kementerian Koordinator Bid. Perekonomian dalam Opening Remark.
Meninjau ulang perkembangan investasi antara RI – Singapura
Acara menghadirkan 3 narasumber dari berbagai instansi terkait. Narasumber pertama, bapak Michael Gautama, Ketua KADIN Indonesia Komite Singapura memaparkan perkembangan tantangan dan peluang investasi bilateral Indonesia-Singapura. Dalam paparan termaksud, narasumber membuka dengan membahas signifikansi Singapura sebagai Global Regional Hub dan implikasinya terhadap perkembangan persaingan Indonesia dan Singapura. Narasumber, lebih lanjut, mengemukakan perlunya peningkatan daya saing Indonesia di berbagai sektor, terutama Digital Economy. “Negara-negara seperti RRT memanfaatkan perubahan dunia yang seiring dengan kemajuan teknologi. Bagaimana dengan Indonesia?,” ujar bapak Michael. Narasumber melanjutkan dengan membahas potensi Batam yang dikenal sebagai regional hub terlebih dahulu sebelum Singapura, dengan mengacu kepada data BPKP bahwa sejak 2010 kontribusi Batam terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mengalami trend penurunan, Narasumber menutup paparan dengan 2 point penting: Pertama, Narasumber memandang perlunya ada tindaklanjut realisasi investasi mengingat terdapat rasio antara rencana dan realisasi antara kedua negara sebanyak 3:1. Kedua, narasumber juga memandang perlunya identifikasi final shareholders atas investasi-investasi asing di Indonesia, khususnya dengan Singapura.
Kerjasama Ekonomi RI – Republik Rakyat Tiongkok: Peluang dan Tantangan
Narasumber selanjutnya, bapak Arifianto selaku Kasubdit I di Direktorat Asia Timur dan Pasifik, Kementerian Luar Negeri memulai paparan dengan menjelaskan signifikansi RRT sebagai mitra dagang terbesar, investor asing terbesar, negara asal wisatawan asing terbesar dan mitra infrastruktur terbesar Indonesia. Hubungan Bilateral antara Republik Indonesia dan RRT sudah berjalan sejak 1990, dan mengalami peningkatan intensitas, terutama setelah dibentuk Comprehensive Strategic Partnership pada tahun 2005.
Narasumber melanjutkan dengan membahas prospek dan tantangan kerjasama bilateral RI dan RRT. Prospek kerjasama RI dan RRT antara lain di sektor infrastruktur, yang mana merupakan prospek paling potensial yang sejalan dengan arahan Presiden RI Joko Widodo untuk meningkatkan kualitas dan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah di Indonesia, sektor Digital Economy yang meliputi E-Commerce Hub dan Fintech, serta sektor industri, terutama industri pengolahan. Di samping itu, narasumber juga menitikberatkan inisiatif sinergi Global Maritime Fulcrum (GMF) dengan Belt and Road Initiative.
Untuk tantangan kerjasama ekonomi kedua negara, narasumber memaparkan sejumlah faktor. Pertama, narasi sebagian media Indonesia terkait RRT, yang masih sarat akan dampak peristiwa di masa lalu menciptakan tumbuhnya persepsi negatif dan pemahaman publik Indonesia yang belum dalam secara umum tentang RRT. Disamping itu, terdapat persepsi publik akan rendahnya kualitas produk-produk buatan RRT. Kedua, faktor-faktor eksternal seperti isu ketenagakerjaan WNA dari RRT dan IUU Fishing menjadi tantangan tambahan untuk kerjasama ekonomi bilateral kedua negara ke depan.
Hubungan Bilateral RI dan RRT dalam konteks Belt and Road Initiative.
Narasumber terakhir adalah bapak Dr. Nur Rachmat Yuliantoro selaku Ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Paparan dimulai dengan penjelasan singkat mengenai Belt and Road Initiative. Dalam paparannya, bapak Rachmat mengemukakan posisi RRT yang sekarang “menggeser” hegemoni Amerika Serikat di berbagai isu, terutama perdagangan dan isu lingkungan. Belt and Road Initiative yang menurut beliau, adalah Jalur Sutera pada abad ke-21 semakin memperkuat pengaruh RRT di Asia Tenggara karena rute inisiatif yang dimaksud melewati kawasan tersebut.
Masih terkait dengan paparan sebelumnya, keterlibatan RRT dalam berbagai proyek infrastruktur di Indonesia dapat dikatakan sebagai upaya menggeser pengaruh negara investor infrastruktur lainnya yang lebih dulu menancapkan kukunya di Indonesia sejak jaman Orde Baru, yaitu Jepang: 35 proyek infrastruktur yang ada di Indonesia sekarang dibiayai oleh kerangka Belt and Road Initiative. Beliau juga memaparkan bahwa di masa silam, RRT menjadi mitra kerjasama Indonesia terutama di bidang Liquid Natural Gas melalui LNG Tangguh, menggeser Australia dan Rusia setelah kunjungan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri – yang dianggap terlaksana setelah melakukan “Diplomasi Dansa:” mengamini tawaran presiden Jiang Zemin untuk berdansa di pertemuan kedua kepala negara pada tahun 2002 silam. Bapak Rachmat menutup paparannya dengan perhatian khusus terhadap kasus pembangunan pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, yang menjadi masalah karena RRT akhirnya mengakuisisi kepemilikan pelabuhan yang dibangun lewat bantuan infrastukturnya karena Sri Lanka mengalami krisis ekonomi. “Jangan sampai bantuan infrastruktur RRT ke kita akan mengalami nasib serupa dengan Hambantota.” tutup beliau.