Pelatihan Teknis WTO Dispute Settlement

Pada minggu kedua bulan Mei ini, PSPD UGM mengirimkan salah satu penelitinya untuk mengikuti pelatihan atau training yang diselenggarakan oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia di Jakarta. Pelatihan tersebut bertemakan “WTO Dispute Settlement Mechanism” yang diisi oleh pengacara senior di bidang dispute settlement WTO, Duane W. Layton dari Mayer Brown. Layton adalah pengacara yang mewakili Indonesia pada saat terjadi kasus sengketa tembakau antara Indonesia melawan Amerika Serikat di tahun 2011-2012. Saat ini, Layton kembali mewakili Indonesia dalam kasus sengketa tembakau “plain package” antara Indonesia melawan Australia yang juga diklaim sebagai kasus terbesar dalam sejarah dispute settlement WTO.

Layton mengawali pemaparannya dengan menjelaskan keberadaan Dispute Settlement Body WTO yang membuat WTO menjadi lebih lengkap ketimbang pendahulunya yakni GATT. Selanjutnya Layton membahas mengenai penerapan hukum WTO di tiap-tiap negara. Hal ini tidaklah sederhana, mengingat setiap negara memiliki cara ratifikasi yang berbeda-beda. Di Indonesia misalnya, hukum WTO yang sudah diratifikasi tetap perlu diterjemahkan dalam UU terlebih dahulu sebelum berlaku secara efektif. Perbedaan penerapan hukum WTO di tiap-tiap negara ini berkontribusi pada masifnya proses dispute settlement di WTO. Oleh karena itu, dalam dispute settlement, yang perlu diperiksa pertama kali adalah sejauh mana tahap ratifikasi hukum WTO di tiap-tiap negara bersengketa.

Pada sesi selanjutnya, Layton mulai memberikan penjelasan teknis mengenai proses submission atau pengumpulan berkas-berkas. Urutan proses teknis itu diawali oleh first written submission. Dalam kasus tembakau Indonesia melawan Amerika di tahun 2011-2012, Layton menyebutkan bahwa tebal dokumen first written submission mencapai 500 halaman. Isinya didominasi oleh penjelasan teknis tentang komoditas yang disengketakan seperti apa itu clove, menthol, dst. Lalu disertai dengan argumen-argumen defensif yang menunjukkan bahwa Amerika betul melakukan pelanggaran. First written submission ini, menurut Layton, merupakan dokumen yang paling menentukan dalam proses dispute settlement. Selanjutnya sekretariat akan menerima submission tersebut dan mengedarkannya ke negara-negara anggota WTO

First written submission kemudian dipresentasikan oleh tiap-tiap negara yang bersengketa serta pihak ketiganya di hadapan panel. Setelah itu panel akan memberikan beberapa pertanyaan diikuti pertanyaan dari pihak lawan, di mana pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab secara langsung. Namun jawaban versi tertulisnya perlu di-submit dengan jangka waktu beberapa hari kemudian. Proses rebuttal ini terus berlangsung hingga kedua pihak mengirimkan second written submission-nya. Dengan demikian, second written submission berisikan rebuttal atas first written submission yang telah dikirimkan oleh lawannya sebelumnya. Second written submission ini dipresentasikan pada pertemuan kedua. Pada beberapa kasus, diperlukan juga pertemuan ketiga di mana ada ahli-ahli yang diundang untuk menyampaikan pendapat sesuai bidang keahliannya.

Selama menjelaskan kiat-kiat dalam menjalani setiap proses teknis tersebut, Layton kerap memberi penjelasan trivial. Di antaranya adalah Layton kurang yakin bahwa saat ini sudah ada pengacara Indonesia yang sanggup menulis submission dengan cukup baik. Menurutnya, saat ini Amerika Serikat adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak menggunakan pengacara dari negara lain. Jumlah bayaran yang diterima Layton tentunya besar, namun ditambahkannya bahwa hal tersebut didapat dengan catatan “mistakes do not happen in my work.” Pada kesempatan yang berbeda, diplomat senior Kemenlu, Abdul Kadir Jailani, mengungkapkan bahwa jumlah bayaran untuk pengacara asing seperti Layton mencapai 50 sampai 70 miliar rupiah per kasus sengketa. “Orang Indonesia masih cenderung berpikir terlalu abstrak dan sulit untuk mengerjakan hal-hal teknis,” jawab Jailani saat ditanya mengenai mengapa Indonesia memilih menggunakan pengacara asing.

Dalam pelatihan yang diikuti oleh beberapa firma hukum serta staf kementerian tersebut, Layton mendapat pertanyaan yang relevan dengan perundingan perdagangan Indonesia. Kasus-kasus yang perlu mendapat perhatian misalnya adalah e-commerce serta smartphone. Kasus-kasus tersebut diprediksi akan banyak mewarnai upaya dispute settlement Indonesia ke depannya.

Teks/Foto: Dodi Iswandi

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*

Comment (1)

  1. santo 9 years ago

    semoga saja PSPD ugm bisa ngadain training dispute settlement wto..