Daya Saing Tenaga Kerja Indonesia: Sebuah Tinjauan Komparatif dalam AEC

Pada hari Jumat 28 Maret 2014 kemarin WTMC bersama dengan PSPD telah menyelenggarakan kajian pekanan yang ke-5. Masih dalam tema menyambut AEC atau ASEAN Economy Community yang akan dimulai tahun depan, sub-tema dalam kajian pekanan tersebut adalah perihal daya saing tenaga kerja Indonesia. Adalah Awe Tsamma, perwakilan dari ASC atau ASEAN Studies Center UGM yang menjadi pembicara, dengan membawakan makalah berjudul “Kajian Komparatif dalam Komunitas Ekonomi ASEAN: Daya Saing Tenaga Kerja Indonesia.” Kegiatan yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam tersebut diikuti oleh hampir 30 orang peserta yang umumnya mahasiswa S1/S2 dan memiliki minat atau perhatian khusus terhadap ilmu perdagangan dunia.

Pembicara mengawali pembahasan dengan menjelaskan informasi umum perihal AEC, yakni penandatanganannya pada saat Bali Concord II serta 4 pilar. Dari ke-4 pilar, pilar yang perlu diprioritaskan adalah pilar perihal single market & production base. Tercakup dalam pilar ini ada hal – hal seperti free flow of goods, services, investment, capital dan skiled labor. Poin terakhir yakni labor atau tenaga kerja merupakan sorotan utama dalam kajian ini. Menurut Ball (Ball, 2004), labor dapat dinilai berdasarkan attitude, education dan skill. Kita dapat menggolongkan tenaga kerja di Indonesia menjadi dua yakni tenaga kerja terdidik dan tenaga kerja tidak terdidik. Tolak ukur yang digunakan dalam hal ini adalah pendidikan minimal 9 tahun di tingkat SD dan SMP.

Dalam rangka menghadapi AEC, tenaga kerja terdidik memiliki isu MRA, atau Mutual Recognition Agreement dimana akan ada sertifikasi bagi 7 profesi yang dapat dikatakan merupakan praktisi profesional. Dengan adanya sertifikasi tersebut, para tenaga kerja terdidik terbukti bahwa memiliki standar yang diperlukan. Sedangkan untuk tenaga kerja tidak terdidik, pemateri mengajukan tesis bahwa perlu adanya upaya untuk mengubah tenaga kerja tidak terdidik ini menjadi tenaga kerja terlatih. Caranya adalah melalui intensifikasi pelatihan hingga yang lebih fundamental seperti mengubah kurikulum pendidikan agar lebih menjurus ke arah vokasi.

Seiring berjalannya diskusi yang begitu aktif, muncul isu – isu lain yang ikut dibahas. Pada dasarnya dalam kajian tersebut, forum menyadari bahwa AEC bukanlah hal yang dapat dihindari lagi karena sudah di depan mata. Perlu penanganan segera guna, tidak cukup dengan program yang prosesnya panjang. Forum mengkritik program – program pemerintah seperti MP3EI, namun ada juga pandangan lain bahwa pemerintah akan sulit bekerja karena berbenturan kepentingan dengan pihak swasta. Pada akhirnya, ide praktis yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan meningkatkan jumlah wirausahawan, khususnya wirausahawan muda, guna membuka lapangan kerja seluas – luasnya.

 

Keterangan foto: Pemateri,  Awe Tsamma (kanan) sedang memberikan materi diskusi WTMC PSPD UGM
Disadur oleh: Dody Mauliawan
Foto: Elio Diaz

Catatan: WTMC (World Trade Model Community) dan CwtsPspd UGM tiap Jumat seminggu sekali mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Siapa saja dapat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, terutama yang mengangkat tema perdagangan internasional. Silakan menghubungi WTMC untuk informasi lebih detil. Pemikiran dan/atau pemaparan pembicara diskusi hanya mewakili pendapat individu pembicara dan tidak serta merta mewakili sikap/opini CwtsPspd UGM.

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*