Pertumbuhan ekonomi kawasan Asia, khususnya bagi beberapa negara seperti Cina dan India dalam beberapa dekade terakhir mengindikasikan kebangkitan ekonomi yang berkelanjutan. Indikasi tersebut dapat dilihat dari beberapa kalkulasi dengan basis ukur kemampuan ekonomi seperti kenaikan pendapatan per kapita yang menembus level di atas $ 15.000 pada tahun 2025 (Maddison, 2010) serta dominasi pertumbuhan world output sebesar 60% oleh Asia pada tahun yang sama (IMF, 2012c).
Kebangkitan ekonomi Asia tersebut di atas mendorong perubahan dalam pemetaan pasar global yang ditandai dengan bangkitnya industrialisasi dan urbanisasi Asia. Bahkan, industrialisasi yang memicu pada penguatan sektor manufaktur telah memicu peningkatan permintaan terhadap bahan baku yang menciptakan ledakan sumber daya atau “Resource Boom”. Munculnya Resource Boom telah dirasakan oleh beberapa negara pemasok bahan baku, dimana Australia menjadi negara yang paling merasakan dampak positif fenomena tersebut. Kemunculan Resource Boom dalam beberapa tahun terakhir bahkan telah merekonstruksi komposisi 10 produk eskpor terbesar Australia, dari dominasi sektor non-pertambangan pada dekade 1970-an menuju dominasi sektor pertambangan pada dekade 2000an dengan pertumbuhan volume ekspor lebih dari 100 kali lipat pada periode yang sama (Conley, 2009). Komoditas
ekspor teratas dari pertumbuhan tersebut didominasi oleh batubara dan biji besi yang juga merupakan ekspor utama Australia ke Cina.
Lebih lanjut, fenomena Resource Boom juga berdampak terhadap dinamika struktur ekonomi Australia, dimana sektor pertambangan mengalami kenaikan yang cukup signifikan, dengan distribusi GDP terbesar sejak tahun 1920 (Dyster & Meredith, 2012). Dalam konteks ini, perubahan struktur ekonomi Australia kemudian tidak hanya dipahami sebagai sebuah fenomena yang disebabkan oleh kebijakan domestik seperti liberalisasi ekonomi pada masa kepemimpinan Bob Hawke, namun juga dipengaruhi oleh industrialisasi di Asia pada beberapa dekade terakhir. Resource Boom yang dianggap sebagai “penyelamat” perekonomian Australia pada masa krisis finansial global dinilai telah membawa dampak positif bagi negara tersebut, dengan indikasi peningkatan volume ekspor yang mendorong penguatan ekonomi.
Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa dampak positif Resource Boom pada dasarnya hanya menjadi dampak temporal bila pemerintah Australia hanya bergantung pada pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh permintaan ekspor. Dengan kata lain, Resource Boom dapat membawa beberapa masalah besar bagi Australia. Pertama, deindustrialisasi dan munculnya divisi sosial. Menguatnya permintaan bahan baku maupun sumber daya sebagai komoditas ekspor di saat yang sama mendorong terjadinya pelemahan sektor industry manufaktur Australia (Mitchell & Bill, 2006). Resource Boom dinilai sebagai sebab utama terjadinya kenaikan investasi di sektor pertambangan Australia yang justru mendorong terjadinya two-speed economy, sebuah kondisi dimana negara-negara bagian yang mengandalkan ekonomi pada sektor pertambangan, seperti Australia Barat, cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih cepat, dibanding negara bagian lain yang mengandalkan sektor manufaktur yang justru mengalami kelesuan ekonomi. Selain itu, realitas bahwa sektor pertambangan Australia dioperasikan di daerah yang jauh dari kawasan
metropolitan memunculkan konflik sosial antara operator dengan masyarakat Aborigin terkait dengan hak tanah.
Kedua, tergesernya kepentingan publik dan risiko keamanan energi nasional. Dalam konteks ini, Australia merupakan salah satu dari sedikit negara yang tidak melakukan nasionalisasi terhadap industri pertambangan. Dengan tarif pajak pertambangan yang relatif rendah, Resource Boom beresiko menjadi pintu masuk munculnya eksploitasi sektor swasta terhadap kepentingan publik. Hasilnya, keuntungan dari hasil eksplorasi sebagian besar masuk ke kantong swasta dan pemerintah Australia belum memiliki instrumen hukum untuk mengatur risiko tersebut. Selain itu, Resource Boom juga mendorong diwujudkannya diplomasi transaksional Australia yang
berbasis pada pengamanan pasar ekspor pertambangan, sebagaimana terjadi antara Australia dengan Cina pada APEC 2007. Ketiga, kerusakan lingkungan. Australia merupakan negara yang cukup rentan terhadap dampak perubahan iklim. Resource Boom sebagai industry “non-renewable” bila tidak dikendalikan akan menghambat upaya mitigasi perubahan iklim yang selama ini menjadi prioritas kebijakan Australia. Lebih lanjut, Pajak Karbon yang digunakan pemerintah Australia sebagai instrumen pengendalian emisi hingga saat ini masih belum mampu menjadi solusi (Goodman & Worth, 2011).
Dengan keyakinan bahwa Resource Boom akan lebih banyak memberikan dampak positif bagi Australia, pemerintah Australia di bawah kepemimpinan Partai Buruh telah mengambil beberapa solusi untuk memastikan bahwa Resource Boom akan tetap berdampak positif terhadap perekonomian negara tersebut. Beberapa diantaranya adalah diversifikasi produk ekspor, revitalisasi sektor manufaktur, diplomasi yang berbasis pada kepentingan sumber daya alam, diplomasi perdagangan serta pendekatan regional dengan kawasan Asia. Meskipun demikian, beberapa upaya tersebut dinilai belum mampu menjamin daya tahan ekonomi Australia, khususnya dalam
menghadapi dinamika permintaan ekspor, yang dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan penurunan. Di balik kondisi makroekonomi yang kuat, Australia kini menghadapi resiko kerentanan ekonomi akibat lemahnya pengelolaan masalah-masalah terkait ekonomi politik. Pada kenyataannya, Australia kini masih bergantung pada dinamika pertumbuhan kawasan serta menghadapi beberapa masalah yang memperburuk resiko kerentanan, seperti tingginya angka utang dalam negeri (household debt), defisit neraca pembayaran, meluasnya ketimpangan sosial akibat arus globalisasi serta potensi perubahan struktural lebih lanjut akibat dampak perubahan iklim. Dengan resiko tersebut, jika pemerintah Julia Gillard tidak segera membuat kebijakan yang menjamin keberlanjutan ekonomi, besar kemungkinan Partai Buruh akan kehilangan banyak kursi pada pemilu September mendatang.
Keterangan foto: Pemakalah sedang menjelaskan resource boom kepada peserta diskusi
Pemakalah: Hangga Fathana
Dosen Hubungan Internasional
Universitas Islam Indonesia
hangga.fathana@uii.ac.id
Foto: Dimas
Catatan: CwtsPspd UGM tiap Senin seminggu sekali mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Siapa saja dapat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, terutama yang mengangkat tema perdagangan internasional. Silakan menghubungi Vinie untuk informasi lebih detil. Pemikiran dan/atau pemaparan pembicara diskusi hanya mewakili pendapat individu pembicara dan tidak serta merta mewakili sikap/opini CwtsPspd UGM.