Perdebatan mengenai urgensi atas kapasitas air telah semakin meningkat seiring dengan semaikin tingginya permintaan akan air bersih. Perdebatan ini pada kenyataannya telah meminculkan dua standpoint. Di satu sisi menganggap air sebagai barang ekonomi (komoditas). Air merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomis. Dalam hal ini setiap orang dapat memetik manfaat dari air melalui penetapan harga berdasarkan upaya-upaya yang dilakukan. Implikasinya pengelolaan air didasarkan pada mekanisme pasar, di mana harga ditentukan oleh permintaan dan ketersediaan barang.
Sementara itu di sisi lain air dilihat sebagai barang publik. Air harus ditempatkan pada posisi sebagai sebagai kebutuhan untuk kebaikan bersama. Tidak seorang pun boleh mengklaim kepemilikan atas air dan menafikkan hak orang lain untuk memanfaatkannya. Untuk itu air harus dikelola sebesar-besarnya untuk kepentingan masyrakat dimana negara mempunyai tanggung jawab dalam hal ini.
Semakin terbukanya pasar dan arus modal telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap fungsi air dalam masyarakat. Saat ini air lebih dilihat sebagai komoditas yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomis baik bagi negara maupun perusahaan perseorangan. Akan semakin banyak pihak swasta yang terlibat dalam pengelolaan air. Hal ini kemudian diperparah dengan ketidakmampuan PDAM selaku yang badan usaha pemerintah yang bertanggung jawab mengelola air, dalam maksimalisasi peran dan fungsinya. Salah satu jalan yang kemudian diupayakan adalah dengan menarik investasi swasta atau dengan kata lain melakukan privatisasi.
Privatisasi air di Indonesia mulai diwacanakan tahun 1980-an sebagai reaksi pemerintah terhadap krisis. Proyek pertama di Umbulan, Pasuruan, namun gagal terealisasi akibat kendala negosiasi. Selanjutnya dilakukan privatisasi terhadap Aditya Tirta Batam dan PAM Jaya. Sampai saat ini, terdapat kurang lebih 30 proyek privatiasai air di Indonesia. Hal ini tentunya masih terbilang kecil mengingat terdapat lebih dari 300 PDAM di seluruh Indonesia. Akan tetapi jumlah proyek privatisasi air diprediksi akan terus mengalami peningkatan. Salah satu yang paling menonjol adalah diimplementasikannya proyek WATSAL senilai US $ 300 juta. ADB, mitra Bank Dunia juga menjanjikan bantuan Reform of Water Enterprises senilai US$ 600 juta. Dampak dari kebiajakan ini akhirnya berujung pada inisiatif Pemerintah Indonesia dalam mendorong privatisasi sektor air minum.
Proyek privatisasi air pada umumnya menyasar kota-kota besar di Indonesia, salah satunya Kota Makassar. Dorongan Privatisasi air di PDAM Kota Makassar diidentifikasi karena adanya dua sebab, yang pertama adanya desakan struktural. Desakan struktural tidak hanya berasal dari pemerintah Indonesia yang telah mengamini proyek liberalisasi air, akan tetapi juga datang dari lembaga finansial global yakni Bank Dunia. Pemerintah Indonesia mengadopsi aturan privatisasi air melalui UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pasal 9 aturan ini menjelaskan bahwa “Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.” Selanjutnya, pada skala global, dalam mengucurkan dana pinjaman Bank Dunia tentunya menerapkan mekanisme yang harus dipatuhi oleh peminjam dana dimana privatisasi adalah salah satu syarat utama. Bank Dunia menetapkan persyaratan pokok bagi pencairan pinjaman untuk sektor air bagi sebuah negara sebagai jaminan pengembalian yang lancar serta efisiensi dan manajemen yang sehat. Selain itu lembaga keuangan juga menetapkan bahwa target jangkauan layanan perusahaan air minum adalah 80% dari total penduduk. Artinya perusahaan air minum yang mendapat pinjaman harus mampu menyediakan fasilitas air minum bagi 80% masyarakat yang tentunya akan berimplikasi pada keuntungan yang diperoleh.
Faktor kedua adalah kebutuhan untuk pengembangan PDAM itu sendiri. Diakui bahwa dana yang dikucurkan pemerintah Kota Makassar untuk mengembangkan infrastruktur dan suprastruktur PDAM tidak memadai sehingga memaksa membuka keran investasi. Target penambahan kapasitas produksi keseluruhan instalasi sebesar 2.500 l/detik dalam 15 tahun dimana dibutuhkan dana minimal sebesar Rp. 500 miliar untuk merealisaikan proyek tersebut.
PDAM Kota Makassar sendiri pada kenyataannya masih mengalami kesulitan dalam menarik investasi luar negeri. Pinjaman yang susah untuk diperoleh dikarenakan kondisi PDAM yang tidak sehat dan tidak efisien menurut pendonor. Untuk itu dijalankan skema ROUT. Skema ini dipilih sebagai langkah jangka pendek dengan melibatkan mitra swasta lokal dalam tugas Rehabilitation, Uprating, Operate, and Transfer. Melalui ini mekanisme ini diharapkan dapat menciptakan citra baik PDAM Makassar bagi investor luar negeri sehingga meningkatkan minat mereka untuk menanamkan investasi. Sejauh ini upaya menginisiasi privatisasi dengan melibatkan pihak swasta lokal berhasil menarik perhatian investor multinasional, yaitu N.V. Waterleiding Maatschappij Drenthe asal Belanda dan Moya Asia Limited/Moya Dayen Limited dari Timur Tengah.
Untuk menjamin kebijakan privatisasi dan menarik lebih banyak investor multinasional, maka PDAM Kota Makassar mengambil langkah komodifikasi yang diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan berikut:
- Menjamin trend laba positif
Upaya yang dilakukan dalam menjamin trend laba posistif adalah dengan merubah fungsi atau nilai barang publik menjadi barang ekonomi (public goods to economic goods). Ini secara otomatis akan menempatkan air sebagai komoditas yang tergantung dari sisi permintaan dan penawaran sehingga fungsinya sebagai barang publik dengan sendirinya akan hilang. PDAM juga harus menetapkan harga (tarif) air yang lebih tinggi. Tarif air yang semakin tinggi merupakan dampak dari semakin tingginya biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi air bersih dan pemerintah yang tidak mampu melakukan efisiensi. Di samping itu adanya pengurangan subsidi pemerintah terhadap air minum yang dikomodifikasi menjadikan harga air menjulang semakin tinggi.
- Pengurangan campur tangan pemerintah
Penerapan kebijakan ini berkaitan erat dengan kepentingan pihak investor maupun PDAM sendiri dalam menjamin proses produksi dan penentuan harga. Pihak investor ingin mengontrol secara penuh manajemen dan keseluruhan infrastruktur yang disepakati dalam kontrak dengan PDAM selama durasi kontrak konsesi. Penerapan kebijakan ini berdampak terhadap terlepasnya kontrol masyarakat (lost of public control) terhadap jasa dan pelayanan hak dasar yang diterimanya dari pemerintah (negara).
- Permohonan restrukturisasi terhadap utang PDAM Kota Makassar.
Kebijakan ini berkaitan dengan keengganan pihak investor untuk menanggung utang PDAM. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 120 tahun 2008 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penelusuran Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi, dan Rekening Pembangunan Daerah pada PDAM. Persyaratan yang harus dipenuhi terkait aturan ini adalah harus ada perbaikan kinerja perusahaan dan kinerja keuangan serta menaikkan tarif air yang melampaui harga produksi air.
Keterangan Foto: Syaharuddin Idris (kanan) sedang menyampaikan presentasi
Pemakalah: Syaharuddin Idris
Disadur oleh: Tika Marzaman
Foto: Dimas
Catatan: CwtsPspd UGM tiap Senin seminggu sekali mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Siapa saja dapat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, terutama yang mengangkat tema perdagangan internasional. Silakan menghubungi Vinie untuk informasi lebih detil. Pemikiran dan/atau pemaparan pembicara diskusi hanya mewakili pendapat individu pembicara dan tidak serta merta mewakili sikap/opini CwtsPspd UGM.