Pasca Uruguay Round tahun 1995 terdapat perubahan signifikan GATT menjadi WTO. WTO dianggap sebagai lembaga internasional yang cukup mapan yang mempunyai aturan yang mengikat dan tidak lagi berbasis pada power dan interest. Salah satu implikasi konkrit dari perubahan tersebut adalah diadopsinya Dispute Settlement Mechanism. Mekanisme penyelesaian sengketa ini tidak lagi mengandalkan proses negosiasi akan tetapi lebih kepada pembentukan panel dalam menegakkan aturan. Hal ini tentunya mendapat sambutan positif terutama dari negara berkembang. Mekanisme penyelesaian sengketa ini akan membawa keuntungan bagi negara berkembang yang mayoritas tidak memiliki bargaining dan power yang kuat jika disandingkan dengan negara-negara maju dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional.
DSB (Dispute Settlement Body) WTO mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa dagang melalui proses litigasi antar negara anggota yang bersengketa. Terdapat empat fase prosedur penyelesaian sengketa WTO, yaitu konsultasi, prosedur panel, prosedur appelate, serta implementasi. Adapun yang menjadi masalah kemudian adalah dalam tahap implementasi keputusan. Keputusan DSB akan sulit untuk diimplementasikan apabila negara penuntut adalah negara berkembang sementara negara pelanggar adalah negara maju. Untuk itu kemudian DSB WTO menyusun mekanisme retaliasi sebagai instrumen penekan negara pelanggar untuk menaati dan mengimplemntasikan hasil keputusan DSB.
Mekanisme retaliasi WTO ini menerapkan instrumen sanksi dengan memberikan hak bagi negara penuntut untuk melanggar konsesinya pada negara pelanggar dalam perjanjian WTO. Retaliasi termasuk dalam fase keempat dalam penyelesaian sengketa ini, yaitu fase implementasi. Ketika suatu sengketa telah diputuskan oleh Panel dan Appelate Body WTO, maka negara pelanggar diperintahkan untuk memperbaiki atau mengubah pelanggarannya terhadap prinsip WTO. Negara penuntut berhak untuk meminta dibentuknya compliance panel untuk menilai apakah negara pelanggar telah memenuhi keputusan Panel dan Appelate Body. Jika Compliance Panel memutuskan bahwa negara pelanggar belum mengubah praktik dagangnya sesuai keputusan, maka negara penuntut berhak untuk meminta hak retaliasi pada Panel Arbitrasi.
Berdasarkan Pasal 22.3 dari DSU yang mendeskripsikan retaliasi, secara sederhana retaliasi dapat dibagi menjadi 3 jenis (Spadano 2008), yaitu:
- Parallel Retaliation: negara penuntut harus melakukan retaliasi pada negara pelanggar dalam sektor perdagangan yang sama di mana pelanggaran terjadi.
- Cross‐sector Retaliation: Negara penuntut dapat melakukan retaliasi pada negara pelanggar dalam sektor berbeda di bawah perjanjian yang sama, jika retaliasi dalam sektor yang sama terbukti tidak efektif.
- Cross‐Agreement Retaliation: Jika situasi dianggap cukup serius dan retaliasi beda sektor dianggap tidak efektif, maka negara penuntut dapat melakukan retaliasi pada negara pelanggar dalam perjanjian perdagangan yang berbeda.
Akan tetapi pada kenyataannya sanksi atau retaliasi ini juga kemudian jarang digunakan oleh negara berkembang karena implementasinya terkadang justru memberatkan negara berkembang. Untuk ini dalam beberapa kasus retaliasi silang lebih banyak digunakan sebagai solusi yang memungkinkan dilakukannya retaliasi pada perjanjian perdagangan yang berbeda. Misalnya negara pelanggar yang tidak menaati aturan dalam GATT dapat diberikan sanksi oleh negara penuntut melalui perjanjian dalam TRIPS. Hal ini dikarenakan negara berkembang tidak memiliki kekuatan dalam GATT dan TRIPS dianggap sebagai aspek perdagangan yang sangat penting bagi negara maju yang memiliki banyak lisensi dan hak paten. Terkait dengan hal itu, banyak pihak yang menilai retaliasi silang ini merupakan instrumen yang berpotensi untuk digunakan oleh negara berkembang dalam penyelesaikan sengketa dagang di WTO. Otorisasi retaliasi silang ini sendiri baru dapat diberikan kepada negara penuntut apabila mereka telah terbukti tidak mampu melakukan realiasi paralel atau cross-sector.
Sengketa dagang yang pertama kali menerapkan model retaliasi silang adalah sengketa antara Uni Eropa dan Ekoador. Pada dasarnya sengketa impor pisang merupakan sengketa dagang yang berlangsung hampir 20 tahun dan melibatkan banyak negara Amerika Latin (Ekuador, Panama, Guatemala, Colombia, Costa Rica, Nicaragua, Venezuela, dll.), negara‐negara Uni Eropa, serta Amerika Serikat. Sengketa ini dimulai pada tahun 1993 dengan dibentuknya COMB (Common Organisation of the Market for Bananas) yang dianggap melanggar prinsip MFN WTO dengan memberikan kuota tarif preferensial pada negara‐negara ACP (Afrika, Karibia, dan Pasifik) yang merupakan negara koloni Prancis dan Inggris. Sebelum terbentuknya WTO tahun 1995, beberapa negara Amerika Latin telah mengajukan tuntutan pada UE (yang dulu dikenal sebagai European Community) melalui GATT. Hasil sengketa yang tidak memuaskan membuat negara Amerika Latin lain kembali menuntut UE melalui WTO setelah tahun 1995, termasuk Ekuador.
Setelah dimenangkan oleh Appelate Body WTO, Ekuador merupakan satu‐satunya negara Amerika Latin yang mendapatkan otorisasi retaliasi silang dari WTO sejumlah US$ 201,6 juta per tahunnya. Walapun Ekuador tidak mengimplementasikan hak retaliasi silangnya, UE mengubah rezim impor pisangnya dengan menghilangkan kuota pada negara ACP secara gradual. Sepanjang tahun 2002-2006 merupakan transisi perubahan rezim dan hingga tahun 2012 penetapan kouta bagi negara ACP telah dihilangkan.
Perubahan dalam rezim pisang Uni Eropa tentunya menguntungkan bagi sejumlah negara eksportif pisang, termasuk Amerika Serikat dan Ekuador. Dalam hal ini kemudian dapat dianalisis beberapa hal yang menjadi faktor pendorong UE mengubah rezim pisangnya. Adanya Amerika Serikat yang juga mendapatkan otorisasi retaliasi silang akan memberikan tekanan bagi Uni Eropa. Amerika Serikat berupaya untuk melindungi perusahaan asal AS yang menjadi eksportir pisang ke Uni Eropa. Sebagai negara maju AS tentunya menjadi ancaman yang besar bagi Uni Eropa dimana AS menjadi pasar negara-negara Uni Eropa terhadap sejumlah komoditas. Dalam hal ini ancaman retaliasi yang diberikan AS tentunya akan lebih berdampak bagi Uni Eropa. Selain itu perlu dilihat pula Uni Eropa sebagai unit supra nasional yang melingkupi kepentingan negara-negara anggotanya yang tidak dapat menghindarkan benturan kepentingan. Terkait rezim pisang ini sendiri terdapat perpecahan dalam Uni Eropa dimana Inggris dan Prancis tetap mendukung rezim pisang sementara Jerman dan Belanda berada di pihak Ekuador untuk mereformasi rezim pisang Uni Eropa.
Terkait beberapa faktor tersebut terlihat bahwa walaupun tidak menggunakan hak retaliasinya Ekuador dapat menikmati hasil perubahan rezim pisang Uni Eropa karena adanya faktor pendorong lain. Dari kasus ini dapat kita lihat bahwa pada kenyataannya, walaupun telah ada mekanisme retaliasi silang akan tetapi masih sulit diterapkan jika sengketa tersebut melibatkan negara maju dan negara berkembang. Salah satu langkah kemudian yang dapat ditempuh adalah dengan membentuk koalisi antara beberapa negara dengan membawa kasus yang sama, sehingga efek menekan negara pelanggar dapat lebih besar. Banyak kalangan yang juga kemudian pesimis dengan keefektifan mekanisme retaliasi ini sehingga selayaknya harus dirumuskan mekanisme yang dapat lebih menguntungkan negara berkembang dalam sistem perdagangan internasional.
Keterangan Foto: Catur (kanan) sedang memaparkan presentasinya
Pemakalah: I.G.K. Catur Bimantara Suberata
Disadur oleh: Tika Marzaman
Foto: Dimas
Catatan: CwtsPspd UGM tiap Senin seminggu sekali mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Siapa saja dapat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, terutama yang mengangkat tema perdagangan internasional. Silakan menghubungi Vinie untuk informasi lebih detil. Pemikiran dan/atau pemaparan pembicara diskusi hanya mewakili pendapat individu pembicara dan tidak serta merta mewakili sikap/opini CwtsPspd UGM.
wah seru belajar Hukum Ekonomi Internasional disini.
Siip, makasih infonya 😀