Garam telah menjadi konsumsi masyarakat Indonesia sehari-hari. Garam dapur terutama, telah menjadi bahan makanan yang paling dibutuhkan di semua lapisan masyarakat. Akan tetapi tahukah kita bahwa Indonesia mengimpor garam dalam jumlah yang sangat besar. Inilah fakta yang terjadi. Produksi garam lokal pada kenyataannya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan garam domestik yang kemudian memaksa pemerintah untuk mengimpor garam dari negara lain.
Ironis tampaknya ketika Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang ke-4 di dunia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan garam dalam negerinya. Garam yang bersumber dari air laut masih mengalami kelangkaan pada waktu-waktu tertentu. Terlebih lagi kebutuhan garam masyarakat Indonesia terus meningkat setiap tahunnya.
Dalam menganalisis kebijakan impor garam yang dilakukan pemerintah maka tentunya poin utama yang patut diperhatikan adalah proses pengambilan kebijakan itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam tiap pengambilan kebijakan suatu negara terdapat pertarungan antara kelompok-kelompok kepentingan baik dalam pemerintahan maupun yang bertindak sebagai kelompok penekan. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian menjadi representasi kepentingan nasional. Di sisi lain ada asosiasi petani garam dan PT Cheetam yang mewakili kepentingan mereka masing-masing. Kompleksnya hubungan dan kepentingan tentunya menciptakan pro dan kontra dalam kebijakan impor garam.
Impor garam banyak dikritik oleh sejumlah kalangan karena dianggap melibatkan artikulasi kepentingan korporasi yang akan mematikan insdustri garam lokal dan mencabut pencaharian para petani garam. Isu ini pernah menjadi topik hangat yang kemudian dikaitkan dengan pemecatan Fadel Muhammad sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang pernah menolak kebijakan impor garam. Dengan melihat hal terebut maka tentunya tidak dapat dinafikkan bahwa motivasi ekonomi dan politik menjadi landasan dalam diambilnya kebijakan impor garam. Pemerintah dianggap telah bekerja sama dengan perusahaan pengimpor garam dalam melolosakan kebijakan tersebut.
Hal menarik yang patut diperhatikan adalah tidak ada sinkronitas antara data yang disajikan oleh kementerian-kementerian terkait. Secara stratistik tidak ada kesesuaian antara data-data yang disajikan terkait kemampuan produksi garam lokal. Angka yang tertera ini tentunya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya kebijakan impor garam yang seharusnya didasarkan pada alokasi kebutuhan garam lokal juga tidak mempunyai kejelasan.
Terkait impor tersebut, pemerintah yang mengimpor garam dari Australia mengemukakan alasan bahwa pada dasarnya produksi garam lokal memang tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga harus impor. Hal ini terutama disebabkan beberapa hal antara lain keterbatasan teknologi dan kondisi alam. Di Australia contohnya, telah ada teknologi yang dapat menyuling air laut sehingga bisa memperoleh garam dengan kualitas baik. Di samping itu musim hujan juga memengaruhi tingkat penurunan produksi garam yang sangat drastis. Iklim dengan curah hujan yang besar sangat tidak kondusif dalam pengolahan garam yang sangat membutuhkan sinar matahari. Untuk itu walaupun perairan Indonesia sangat luas, tetapi pengolahan garam yang masih sangat tradisional pada kenyatannya menjadi penghambat efisiensi, kualitas dan kuantitas produksi garam lokal.
Akan tetapi jika mengamati argumentasi yang dikemukakan pemerintah poin yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauh mana langkah pemerintah untuk mengembangkan teknologi pengolahan garam di Indonesia secara mendiri. Bukankah dengan penerapan teknologi yang lebih mutakhir akan memperbesar kouta produksi dalam negeri dan melipatgandakan keuntungan bagi negara yang nantinya akan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat terutama para petani garam. Namun sepertinya motivasi pemerintah tidak lagi didasarkan pada kesejahteraan rakyat. Keuntungan materi yang sebesar-besarnya bagi kelompok-kelompok kepentingan tertentu telah menjadi landasan dalam pengambilan kebijakan. Hingga saat ini belum ada upaya signifikan dari pemerintah untuk meng-upgrade teknologi pengolahan garam. Bahkan tidak ada insentif bagi petani garam sehingga mereka sebagian besar tidak mampu lagi berproduksi.
Ada beberapa hal yang patut untuk dievaluasi kembali dari kebijakan pemerintah mengimpor garam. Pertama, harus ada kejelasan mengenai kapasistas produksi dalam negeri dan sinergitas antara semua lembaga pemerintah yang terkait. Hal ini guna mengetahui kondisi garam domestik dan besar kuota garam yang dapat diimpor. Kedua, harus ada pelibatan perwakilan petani garam dalam pengambilan kebijakan impor garam tersebut. Hal ini agar kebijakan yang diambil nantinya mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat. Ketiga, kalaupun pemerintah harus mengimpor garam akibat permintaan domestik yang sangat besar maka kebijakan impor tersebut harus diiringi dengan upaya pengembangan teknologi jangka panjang. Hal ini agar impor garam tidak menjadi ketergantungan dalam waktu yang lama dan ada peluang bagi indonesia untuk swasembada garam di masa yang akan datang. Selanjutnya pemerintah juga harus memperhatikan dan mengatur waktu dalam mengimpor garam. Waktu impor yang baik adalah jauh dari musim panen. Ketika pemerintah mengimpor saat panen garam akan berimplikasi pada turunnya harga garam di pasaran yang secara otomatis akan menurunkan tingkat pendapatan petani garam.
Beberapa hal di atas menjadi rekomendasi bagi pengambil kebijakan terkait impor garam. Perlu partisipasi aktif dari semua pihak dalam mengawasi dan mengkaji kembali setiap kebijakan pemerintah. Hal ini tentunya untuk mewujudkan kebijakan yang adil bagi kesejahteraan masyarakat.
Pemakalah: Lukman Baihaki
Disadur oleh: Tika Marzaman
Foto: Dimas
Catatan: CwtsPspd UGM tiap Senin seminggu sekali mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Siapa saja dapat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, terutama yang mengangkat tema perdagangan internasional. Silakan menghubungi Vinie untuk informasi lebih detil. Pemikiran dan/atau pemaparan pembicara diskusi hanya mewakili pendapat individu pembicara dan tidak serta merta mewakili sikap/opini CwtsPspd UGM.
Banyak peneliti di negara ini tapi peneliti seharusnya dapat berpihak kepada rakyat/petambak garam.makalah yg ingin disampaikan adalah permasalahan impor garam.Garam impor adalah lawan dari Garam Lokal ,jadi keinginan Importir/Pemerintah utk impor garam sama dengan mencabut nyawa hasil petambak garam terbukti harga garam tertekan rendah dibawah HPP standar dr pemerintah K1 Rp.750/kG dan K2 Rp.550/Kg.Kami Ketua Gabungan Kelompok Petambak Garam Banyu Laut Kabupaten Indramayu sangat terpukul dengan kebijakn impor dr Menteri Perdagangan dirujuk oleh Menteri Perindustrian karena stock garam rakyat saat ini yg belum terjual sebanyak 102.000 Ton ,yang perlu disoroti adalah sarat yang dilanggar importir yaitu Importir belum melakukan pembelian garam rakyat sebanyak 50% dari importasinya,stock garam impor milik importir garam tahun 2012 masih banyak tersimpan digudang-gudang melebihi quota impor dan garam impor tersebut sangat sulit dibedakan garam konsumsi NHCL 94,7% dan garam industri NHCL 97%.
JIKA KITA TETAP MENGIMPOR GARAM MAKA AKAN MEMBERIKAN DAMPAK NEGTIF BAGI PARA NELAYAN INDONESIA. INDONESIA SEBAGAI NEGARA MARITIM DAN AGRARIS HARUS TERUS MEMPERTAHANKAN KEDAULATANNYA.PENELITIAN TERUTAMA DALAM HAL PENINGKATAN KUALITAS GARAM KITA HARUS TERUS DLAKUKAN
To : Ketua Cwts
Peneliti kebanyakan didunia membela peranan pasar global karena negara produsen kaya dengan uang/membela yang bayar, beda halnya diglobal rakyat yang ada permohonan bantuan saja,sehingga terdapat banyak hal yang berbeda.Hati peneliti jarang sekali berpihak pada rakyatnya sendiri bisa juga terdampak exploitasi global yang kurang berimbang.Contoh sederhana Impor daging Sapi/Impor Bawang P/M /Impor Ikan tidak lepas dari muatan KKN ,apalagi di Garam (salt) rawan mafianya dan belum menjadi isue negara Indonesia.
apakah saya bs dapat paper dan alamat email penulisnya?
Guswandi