Added-value Chain Toward Indonesia Manufacture Industry: Case Study PT. MASPION
by Patria Nurhari
PT. MASPION is a biggest local manufacture company in Indonesia. The business that starts since 1962 was produce lampu teplok (torch lamp) with a limited amount every day. As it grows, MASPION were implemented many technology transfer and applied it within local resources. PT. Maspion could be one of the manufacture company pioneers that refuse the outsourced it workers from foreign country (especially from China which have been obviously offered the partnership to cut the workers budget). Added value process from each MASPION products based on six category; products, service, process, market, logistic, organizational) (Inovasi (Neely, 2001; Johannessen, 2002; Avermete, 2003; dalam Indarti, 2007). These categories then realized in 1980’s when MASPION tries to innovate the kitchenware product by adding new brand, MAXIM and PANDA. Furthermore, MASPION also reach electricity sector and building material, such as PVC pipe (plastic pipe work). In order to strengthen the image branding, MASPION utilize the ISO certification as a proof that MASPION has a high standard and ready to compete with other company. This kind of commitment was worth to try for any local company in Indonesia, as in the future, local consumers won’t choose foreign product which local can make. Strengthener local brand strategy was absolutely needed in order to grow new embryo in Indonesia manufacture producers.
The Development of Rattan Industry in Indonesia: Global Value Chain Analysis
by Dhani Akbar
Rattan industry is centralized in Cirebon, West Java. Rattan production in Indonesia has started in 1980’s and since 2004 it has improving in both manufacturing and market demand. Although, rattan industry is remain to faced a peculiar problems, especially in raw materials, technology and promotion. Rattan usually use to made chair, woven mat, and for decoration necessities. Those products basically used the same and standard designs which make another country got the opportunity to imitate them with different material (i.e. plastic). Another problem was human resource that haven’t meet a competent skill nor chance to get access of data and information that could decrease rattan potentiality from it glorious in international market. Even to reach the stable demand point was far more difficult. The competition with another country that used the substitute-rattan products responded by Indonesia government within a regulation that consist of banning the exports of rattan raw materials. This regulation was made because of the big amount of rattan that exported to the foreign country causing local producers loose raw resource. In addition, the rattan that prohibited to export is a commodity that need to be preserved (raw rattan, medium rattan, and rotan W/S (Washed and Sulphurized) ).
Manding: Center of Leather Industry
by Stanislaus Risadi Apresian
The center of leather industry that quite famous in Yogyakarta is located in Manding, whicah has begun since 1957’s. The core sales or product distribution that time was centralized in Beringharjo Market as a tourists first destination. The variant product that produce from leather from past to present wasn’t really change, all were based on it functional value. Therefore, when Japanese products came into Indonesia market in 1960’s, it is also impacts the local leather products because of the price gap. This is eventually led to the uncertainty within leather business in Manding. Problems continue to be experienced by crafters, even when leather export licensing was passed in the 1990s, local producers seem to have a difficult for collecting raw materials. In order to prevent the uncertainty of business, the seller tries to open their own showroom in 2002 in order to create a district or an area which hereafter called the central of leather craft. These upgrading steps basically divide in two process, static upgrading and dynamic upgrading. Static upgrading consists of providing website to facilitate consumer/buyer from foreign country or different town who wants to order product without coming to Manding. Meanwhile, dynamic upgrading consist of product upgrading (garments product), functional upgrading (opening showroom), chain upgrading (provide tourist with home stay, cultural tourism package, and short course in making leather craft).
Text/translated by Neily Cholida
Photo by Dimas Wijanarko
Mata Rantai Pertambahan Nilai pada Industri Manufaktur Indonesia: Studi Kasus PT. Maspion
oleh Patria Nurhari
PT. MASPION merupakan sebuah perusahaan manufaktur lokal terbesar di Indonesia. Usaha yang dirintis sejak tahun 1962 ini pada awalnya hanya memproduksi lampu teplok dengan jumlah terbatas setiap harinya. Seiring berjalannya waktu, MASPION menerapkan banyak transfer teknologi dan mengaplikasikannya untuk memproduksi barang-barang kebutuhan masyarakat dengan sumber daya lokal. PT. MASPION bisa jadi satu-satunya perintis perusahaan manufaktur di Indonesia yang menolak outsourcing tenaga kerja dari negara lain (khususnya China yang terang-terangan menawarkan kerjasama untuk memangkas biaya tenaga kerja). Proses penambahan nilai dari setiap produk MASPION didasarkan pada enam hal; Produk, Layanan, Proses, Pasar, Logistik, Organisasional) (Inovasi (Neely, 2001; Johannessen, 2002; Avermete, 2003; dalam Indarti, 2007). Hal tersebut direalisasikan pada tahun 1980-an ketika MASPION mulai melakukan inovasi pada produk kitchenware dengan menambah brand Maxim dan Panda. Selain itu, produk MASPION juga merambah sektor elektronik dan bahan bangunan, seperti pipa PVC. Untuk memperkuat brand image, MASPION memanfaatkan sertifikasi ISO sebagai bukti bahwa MASPION memiliki standar tinggi untuk berkompetisi dengan produk lain. Komitmen semacam ini layak untuk ditiru oleh segenap perusahaan lokal di Indonesia, agar di masa mendatang, konsumen tidak lagi mengutamakan produk dari luar yang notabene perusahaan Indonesia juga telah mampu memproduksinya. Strategi penguatan merek lokal mutlak dibutuhkan untuk menumbuhkan embrio baru bagi produsen manufaktur Indonesia.
Perkembangan Industri Rotan di Indonesia: Analisis Global Value Chain
oleh Dhani Akbar
Industri rotan di Indonesia berpusat di Cirebon, Jawa Barat. Produksi rotan di Indonesia telah dimulai pada tahun 1980-an dan sampai pada tahun 2004 telah terdapat peningkatan yang cukup tinggi baik di bidang pengolahan maupun permintaan pasar. Meskipun demikian, industri rotan tetap memiliki permasalahan yang cukup pelik, terutama dari sisi bahan baku, teknologi dan pemasaran. Produk rotan biasanya diolah menjadi kursi, tikar dan pajangan. Desain yag digunakan untuk produk tersebut sangatlah standar dan membuat banyak negara lain untuk menirunya dengan bahan selain rotan. Problem sumber daya manusia yang belum memiliki skill kompeten juga menjadi masalah lain di industri rotan Indonesia, kurangnya data dan informasi menurunkan potensi rotan Indonesia untuk berjaya di pasar internasional. Bahkan, untuk mencapai titik permintaan yang stabil pun masih sulit. Persaingan dengan negara lain mengenai produk rotan substitusi ditindaklanjuti pemerintah dengan mengeluarkan regulasi berupa Larangan Ekspor Bahan Baku Rotan. Hal ini dilakukan karena banyak rotan yang diekspor ke luar negeri dan membuat produsen lokal kehilangan resource untuk bisa berkembang. Ditambah lagi rotan yang dilarang ekspor seperti rotan mentah, rotan asalan, rotan W/S (Washed and Sulphurized), dan rotan setengah jadi adalah komoditas yang perlu dilestarikan.
Sentra Industri Kerajinan Kulit Manding
oleh Stanislaus Risadi Apresian
Pusat kerajinan kulit di Yogyakarta yang cukup dikenal masyarakat berada di daerah Manding. Sentra kerajinan kulit Manding telah memulai aktivitas usahanya pada tahun 1957-an. Titik penjualan atau distribusi produk pada masa itu dipusatkan di daerah Beringharjo sebagai pusat kunjungan turis. Aneka produk yang dihasilkan dari kulit pada masa itu dan saat ini pada dasarnya tidak banyak berubah, semua didasarkan pada nilai fungsionalnya. Karena itu, ketika produk dari Jepang mulai membanjiri pasar Indonesia tahun 1960-an, kerajinan kulit menjadi sangat mudah tersaingi. Terlebih ketika barang-barang dari Jepang tersebut memproduksi produk yang sama dari bahan bukan kulit, sehingga harganya pun lebih murah. Inilah yang akhirnya menimbulkan ketidakpastian dalam bisnis kerajinan kulit di Manding. Permasalahan terus dialami oleh para perajin, bahkan ketika perizinan ekspor kulit telah disahkan tahun 1990-an, perajin lokal cukup kesulitan untuk mendapat bahan baku. Untuk menghindari iklim bisnis yang tidak menentu, para pedagang di Manding mencoba membuka showroom sendiri tahun 2000-an guna menciptakan sebuah daerah yang kelak dikenal sebagai pusat kerajinan kulit. Langkah upgrading tersebut pada dasarnya bisa dibagi menjadi dua, yaitu upgrading statis dan upgrading dinamis. Upgrading statis dilakukan dengan membuat website untuk memudahkan pembeli dari luar daerah/negeri melakukan pemesanan tanpa harus datang ke Manding. Sedangkan upgrading dinamis meliputi product upgrading (memproduksi produk sandang), functional upgrading (showroom), chain upgrading (homestay, wisata budaya, kursus kerajinan kulit).
Keterangan foto: Pembicara diskusi (ki-ka), Stanislaus Risadi Apresian, Dhani Akbar, dan Patria Nurhari
Teks: Neily Cholida
Foto: Dimas Wijanarko