The Internationalization of Indonesia Tourism Culture
The implementation of added value into local product in Indonesia has reached cultural sector. The speakers of weekly discussion took Reog Ponorogo, Batik Indonesia and Ikat as their case studies. First case study explains how Indonesian culture being internationalized, especially Reog Ponorogo. Reog Ponorogo generally known by local society for the dance and complexity of accessories. In order to broaden promotion on international level, the artisans start to add the sale value of Reog. For example, in 2010, one of the Reog art studios held a performance in Washington D.C, USA which attended not only by Indonesian citizen but also Americans. That performances becoming a multiple media to introduce Indonesian traditional dance yet features that used in Reog dance, such as, masks, etc. These features could be a promising business for Reog artisans. They are use the adding value from Reog Ponorogo’s labeling as a traditional dance and place it in the products for selling it as a souvenir. For example, dadak merak is one of the most expensive products. This main instrument of Reog dance is using the real peacock feather which shows the originality of its beauty. These chains having a role to add the selling value into culture and the actors in each chain need to be run effectively, especially in upgrading and product space.
Global Value Chain Analysis toward Internationalization of Batik Indonesia
Nowadays, wearing Batik has becoming a common way to dressing up for Indonesian. Batik generally called when people wearing a cloth with particular pattern. However, now Batik is not only placed on fabric, but also in many different media, such as, wood, iron and pottery. Therefore, adding value seems to be convenient to be done. Thus, Batik has differences regarding to its pattern. Every pattern represents its origin. The speaker presents his paper with three origin place of Batik, Yogyakarta/Solo, Pekalongan and Lasem.
The role of local government has proved to be effective on supported the sales and promotion from every region in Yogyakarta/Solo and Pekalongan as Batik producer. Value adding aspects were seen from the spread of Batik industries among Java, Batik museum, etc. Meanwhile, this situation is different with Lasem Batik, where the upgrading activity still very few. Though, the Lasem Batik patterns are unique because it has the mixture of Javanese and Chinese culture.
Value-adding Efforts of Indonesia’s Traditional Cloth as a Latest Fashion Concept: Case Study IKAT Indonesia™
Ikat is a kind of traditional fabric which recently having a huge attention in domestic and international fashion enthusiasts. Ikat doesn’t specifically own by Indonesia, there are more South East Asia country’s which also had Ikat with different motives. The third speakers bring up the fashion side within Ikat Indonesia as added value element. Ikat Indonesia has perceived a prestigious fashion brand, which frequently presents an exhibition and fashion show in many countries. Ikat that was wore as a daily cloth of people with standard pattern and cutting, now have been upgraded with exclusive yet sophisticated design. Furthermore, the market opportunities for Indonesia’s textile were big enough because this country is in the 10th position between garment exporters in global market. Among three category in garment company ((full package; cut, make &Trim (CMT); subcontract); Indonesia’s company is in subcontract. That means Indonesia garment industry work as the sewing service seller. Therefore, from Global Value Chain analyzes, creative economy approach indeed required for creating innovation and creativity to create comparative advantages of a nation.
Caption: Speakers (left-right), Aprilia Restuning Tunggla, Roni Ahmad, and Ayu Saptaningtyas.
Text/Translated by Neily Cholida
Photo by Dimas WijanarkoInternasionalisasi Pariwisata Budaya Indonesia
Penerapan nilai tambah pada produk dalam negeri juga merambah sektor budaya. Kebudayaan Indonesia yang diangkat dalam studi kasus kali ini antara lain Reog Ponorogo, varian Batik Indonesia dan Kain Ikat. Pemateri pertama mengangkat isu internasionalisasi pariwisata budaya Indonesia, khususnya Reog Ponorogo. Kesenian Reog yang umum dikenal masyarakat adalah tarian dan aksesorisnya. Untuk memperluas pengenalan Reog Ponorogo di level internasional, para perajin telah mulai menambahkan nilai jual pada kesenian ini. Tahun, 2010, salah satu sanggar kesenian Reog Ponorogo menggelar pertunjukkan di Washington D.C, Amerika Serikat dan dihadiri tidak hanya oleh warga negara Indonesia tetapi juga warga lokal. Pertunjukkan itu tidak hanya menjadi media untuk mengenalkan tarian dari Indonesia, tetapi juga memperkenalkan fitur-fitur apa saja yang digunakan dalam tarian itu, seperti dadak merak, topeng para penari dan sebagainya. Hal ini kemudian menjadi salah satu potensi usaha yang cukup menjanjikan bagi para produsen peralatan Reog. Nilai tambah yang mereka gunakan berasal dari labelling tarian Reog Ponorogo dan disematkan pada produk-produk yang digunakan para penari Reog untuk dipasarkan secara terpisah. Salah satu produk yang memiliki nilai jual tinggi adalah dadak merak, ikon utama dari tarian reog ini memakai bulu merak asli sehingga memiliki sisi keindahan yang lebih menonjol. Rantai-rantai seperti inilah yang kemudian berperan dalam menambah nilai jual sebuah budaya dan jika para aktor di setiap rantai ini berperan efektif untuk melakukan upgrading dan product space, maka di tingkat global, Reog Ponorogo akan menjadi produk eksklusif dari Indonesia.
Analisis GVC terhadap Internasionalisasi Batik Indonesia
Batik saat ini telah menjadi bagian dari hampir seluruh masyarakat Indonesia. Sebutan batik yang awam terjadi adalah ketika seseorang mengenakan pakaian bermotif tertentu. Padahal, kini batik tidak hanya ditimpakan di atas kain, tetapi juga di banyak media, seperti kayu, besi, gerabah dan lainnya. Karena itu, penambahan nilai pada batik sebenarnya sangat mudah terlihat di berbagai kerajinan Indonesia. Namun, batik sendiri memiliki banyak perbedaan, motif batik melambangkan daerah pembuatannya. Dalam makalahnya, penulis mengangkat tiga jenis batik yang berasal dari Yogyakarta/Solo, Pekalongan dan Lasem.
Peran pemerinta daerah terbukti sangat efektof dalam membantu pemasaran dan promosi dari batik-batik di daerah Yogyakarta, Solo dan Pekalongan. Aspek penambahan nilai pun terlihat dari menjamurnya industri-indusri batik, museum batik dan kerajinan lain dengan menjadikan motif batik sebagai pelengkapnya. Hal tersebut berbeda dengan Batik Lasem, dimana upgrading produk ini masih sangat kecil, padahal motif batik Lasem bisa dikatakan cukup menarik karena merupakan campuran dari budaya Jawa dan Tionghoa.
Upaya Pertambahan Nilai Kain Tradisional Indonesia menjadi Konsep Fashion Masa Kini: Studi Kasus IKAT Indonesia™
Ikat merupakan sebuah jenis kain yang tengah mendapat sorotan di kalangan fashion domestik dan internasional. Kain Ikat sendiri tidak secara khusus dimiliki oleh Indonesia, karena banyak negara Asia Tenggara lain yang juga memiliki kain Ikat dengan motif yang berbeda. Studi kasus yang diangkat pemateri ketiga ini mengedepankan sisi fashion pada kain Ikat Indonesia sebagai unsur added value. Brand terkemuka yang menggunakan kain Ikat untuk produknya seringkali mengadakan pameran dan fashion show di berbagai negara dengan membawa merk Ikat Indonesia. Kain Ikat yang dulunya hanya dipakai sebagai pakaian sehari-hari masyarakat kini “naik kelas” dan memiliki sisi eksklusif dengan desain yang mewah. Ditambah lagi, peluang pasar bagi tekstil Indonesia cukup besar karena negara ini menduduki peringkat 10 besar di antara eksportir garmen di pasar global. Dari 3 kategori perusahaan di sektor pakaian jadi (full package; cut, make &Trim (CMT); subcontract, kebanyakan tipe perusahaan di Indonesia adalah subcontract. Dengan kata lain, selama ini, industri pakaian jadi Indonesia mengindikasikan posisi Indonesia sebagai penjual jasa jahit. Dari sisi Global Value Chain, pendekatan ekonomi kreatif mutlak dibutuhkan untuk menciptakan inovasi dan kreatifitas agar mengeluarkan keunggulan kompetitif suatu bangsa. Peta added Value Chain dari kain Ikat Indonesia: design, input, endorsement. Bentuk kampanye dari Ikat Indonesia yang sangat kuat dalam mengedepankan sisi klaim bahwa Ikat yang mereka pakai adalah dari Indonesia, sehingga secara tidak langsung, jika berhasil, persepsi dunia mengenai Ikat akan mengarah pada budaya Indonesia.
Keterangan foto: Pembicara diskusi (ki-ka), Aprilia Restuning Tunggla, Roni Ahmad, dan Ayu Saptaningtyas.
Teks: Neily Cholida
Foto: Dimas Wijanarko