This time, CWTS cooperate with The Graduate Program in International Relations UGM for conducting public discussion series. The discussion series will be held every Friday, and ended at June, 22 with various case studies. The first series were presenting automotive industries in three countries; Thailand, Malaysia and Indonesia. Considering that the final progress of the papers is still on the process, we will only publish the abstract of each paper.
1. The Chain of Thailand Automotive Production
Thailand is one of the biggest automotive producers in South East Asia. The national automotive industry supported by government policy known as LCR (Local Content Requirement). With LCR, Thailand automotive industry could provide local products for the investors, therefore, production process will directly affects others sector in Thailand industry. In order to support the export activity and strengthening capability of national industry from foreign intervention, Thailand government has three main strategies, in which “Direction and Creating Opportunity” Strategy, Enhancing standard, Research and Development” Strategy; “Human Resources and Manufactures’ Capability Upgrading” Strategy.
2. The Development of Malaysia Automotive Industry in Global Value Chain Perspective: Case Studies Proton and Its Potential to Enter International Automotive Market
Malaysia has going through the adjusting process of its national policy regarding to national car industry. In 1985, Malaysia initiates the development of national car called Proton, which most of the fund came from Japan. That way, the partnership will include the copyright of Mitsubishi product and technology to make Proton. The shade of technology transfer from Mitsubishi which was dominated the whole part of Malaysia’s national car made the government find the strategy to reduce the dependency by ended partnership with Mitsubishi so they could produce their own national car with local source.
Nevertheless, the national car production still used derivative technology from Mitsubishi with provision from local component and resource. As a result, Malaysia try to innovate the new product called Proton Waja, which claimed as an original product without any assistance from Mitsubishi. In 2004, Malaysia has fully owned Proton as the brand of its national car.
3. The Development of Indonesia Automotive Industry in Global Value Chain Perspective
Moving into domestic sector, right now Indonesia is the 11th biggest automotive market in world level and the 2nd for ASEAN level. The market and car industries in Indonesia are dominated by 5 Japan companies, in which, Toyota, Daihatsu, Mitsubishi, Honda and Suzuki, causing approximately 95% of the total sales are given into foreign company.
From the data above, it’s clearly shows the huge competition between foreign automotive company in Indonesia. It is also regretted, considering Indonesia’s position in those competitions not in the same level. On the contrary, Indonesia becoming a market objects that rely on the raise of consumption level.
This paradox trying to be analyzed by the speaker, Mr. Jamal, with underlined some perspective. The development of Indonesia automotive industry was stimulated by two factors. First, the government factor through local resource policy. Second, the private sector that builds its industrial network in another country. At this point, the developing of second factor was more dominates in Indonesia automotive industry. National automotive industry is the import based industry. In general, the nature activity is in manufacturing industry. The lack of capability of national automotives industry to make products that meet the international standard forced government to import.
The insignificant fulfilling of technology and incapability of human resource were the factor that causes huge dependency to import product. Numerous components that can’t be made by Indonesian national industry make import value always bigger than export value. Thus, in 1997, local car producer start to falling because technology transfer didn’t work and numbers of new brand weaken the economic scale (actors who interact with various producers), most of foreign principal prefer local partner as distributor, not manufacturer. Two main reasons behind the failure of national car project are market response and the wrong strategy. In the early of its initiation, local consumers are very few which lead to the second reason, inefficient strategy. Basically, the right way to introduce and promoting national car into society is not directly throw as public consumption, but can be used for institutional purposes.
Caption: Speakers (left-right), Enggar Furi Herdianto, Anak Agung Istri Diah Tricesaria, and Jamal.
Teks and translate by Neily Cholida
Photo by Dimas WijanarkoPada diskusi mingguan kali ini, PSPD bekerjasama dengan Program Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional UGM untuk mengadakan seri diskusi publik dengan tema Global Value Chain. Seri diskusi ini akan berjalan setiap Jumat sampai tanggal 22 Juni dan membahas beberapa studi kasus. Pada seri pertama, para presenter mengangkat tema industri otomotif di tiga negara, yakni Thailand, Malaysia dan Indonesia. Mengingat hasil final dari makalah para pemateri ini masih dalam proses pengerjaan, maka publikasi yang akan kami berikan hanya berupa abstrak.
1. Mata Rantai Produksi Otomotif Thailand (Enggar Furi Herdianto)
Thailand merupakan salah satu produsen otomotif terbesar di Asia Tenggara. Industri otomotif nasional negara ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang dikenal dengan nama Local Content Requirement (LCR). Dengan adanya LCR, industry otomotif Thailand bisa menyediakan produk lokal kepada para investor, sehingga, proses produksi yang terjadi secara langsung akan mempengaruhi sektor lain di Industri Thailand. Dalam rangka mendukung aktivitas ekspor dan memperkuat kapasitas industry nasional dari investor asing, pemerintah Thailand memiliki tiga strategi utama yaitu, menciptakan lingkungan yang kondusif, mendirikan badan riset untuk pengembangan industry otomotif, memberikan pelatihan untuk upgrading capability manufakturnya.
2. Pengembangan Industri Otomotif Malaysia Dalam Perspektif Global Value Chain: Studi Kasus Terhadap Proton dan Potensinya Memasuki Pasar Otomotif Internasional (A.A. Istri Diah Tricesaria)
Dalam usaha membangun industri mobil nasionalnya, Malaysia mengalami beberapa penyesuaian kebijakan yang berproses. Pada tahun 1985, Malaysia menginisiasi pengembangan mobil nasional yang dikenal dengan nama Proton, dimana sebesar 70% modal utamanya berasal dari Jepang. Selain itu, kerjasama juga berbentuk pemakaian hak cipta dari produk Mitsubishi untuk membuat Proton. Bayangan transfer teknologi dari Mitsubishi yang pernah mendominasi komponen mobil nasional Malaysia membuat pemerintah negara berusaha mengurangi ketergantungan tersebut dengan cara menghentikan kerjasama dengan Mitsubishi dan bisa dengan sepenuhnya memproduksi mobil nasional sendiri.
Meskipun demikian, produksi mobil nasional tetap memakai teknologi turunan Mitsubishi dengan berbekal komponen dan sumber daya lokal. Hasilnya, Malaysia kemudian mencoba berinovasi dengan mengembangkan produk Proton Waja yang diklaim sebagai produk asli tanpa menggunakan bantuan dari Mitsubishi. Pada akhirnya, di tahun 2004, Proton sepenuhnya menjadi milik Malaysia.
3. Pengembangan Industri Otomotif Indonesia dalam Perspektif GVC (Jamal)
Beralih ke dalam negeri, saat ini Indonesia menjadi pasar otomotif terbesar ke-11 untuk tingkat dunia dan ke-2 untuk tingkat ASEAN. Pasar dan industri mobil di Indonesia dikuasai oleh lima perusahaan Jepang, yaitu Toyota, Daihatsu, Mitsubishi, Honda, dan Suzuki. Sehingga, total kontribusi kelimanya tercatat mencapai 95 persen.
Dari beberapa data diatas, sangat jelas terlihat persaingan produk otomotif asing yang sangat besar di wilayah Indonesia. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat dalam kompetisi tersebut posisi Indonesia tidak berada di level yang sama, melainkan menjadi objek pasar yang mengandalkan tingginya tingkat konsumsi. Padahal, jika pemerintah Indonesia bisa serius menjalankan proyek industri otomotif nasional, bisa jadi negara ini memiliki mobil nasional yang dipakai oleh rakyatnya sendiri.
Beberapa paradoks diatas kemudian dianalisa oleh presenter, Jamal, dengan menggarisbawahi beberapa sudut pandang. Perkembangan industri otomotif di Indonesia didorong oleh dua faktor. Pertama, faktor pemerintah melalui kebijakan kandungan lokal. Kedua, faktor asing melalui prinsipal asing yang membuat jejaring industrinya di negara tujuan. Perkembangan oleh faktor kedua lebih mendominasi industri otomotif di Indonesia.
Industri otomotif nasional merupakan industri yang berbasis pada impor. Secara umum, aktivitas alam industri otomotif nasional adalah industri perakitan. Kurangnya kemampuan industri otomotif nasional untuk membuat produk yang sesuai dengan standar internasional dan kebutuhan masyarakat global sekarang ini membuat perlunya mengimpor produk. Pemenuhan teknologi yang masih kecl dan kekurangmampuan sumber daya manusia Indonesia menjadi faktor yang mengakibatkan ketergantungan terhadap produk impor. Banyaknya komponen-komponen yang belum mampu dibuat oleh industri nasional Indonesia membuat nilai impor selalu lebih besar daripada nilai ekspor, karena upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan komponen tersebut dilakukan dengan mengimpor. Akibatnya, pada tahun 1997 produsen mobil lokal berguguran, transfer teknologi tidak berhasil di sini, banyaknya merek yang ada di sini menyebabkan economic scale lemah (pemain berinteraksi dengan banyaknya produsen), principal asing lebih suka mitra lokal berfungsi sebagai distributor, bukan manufacturer.
Terdapat beberapa alasan mengapa proyek mobil nasional Indonesia gagal. Pertama, respon pasar. Pada awal diinisiasi, konsumen lokal amat sedikit, namun sebenarnya bertumbuh dengan cepat. dimana sebenanrnya lama-lama bertumbuh amat cepat. Kedua, strategi yang tidak efektif. Pada dasarnya, cara tepat untuk memperkenalkan produk mobnas pada masyarakat yakni tidak langsung dijadikan konsumsi publik, namun bisa untuk keperluan mobil dinas, pertanian, sama seperti negara lain seperti Jerman yang awalnya untuk penggunaan militer.
Keterangan foto: Pembicara diskusi (ki-ka), Enggar Furi Herdianto, Anak Agung Istri Diah Tricesaria, dan Jamal.
Teks: Neily Cholida
Foto: Dimas Wijanarko
semoga otomotif di indonesia semakin berkembang