Pakar Namibia Bicara Perberasan di UGM
File dapat diunduh di sini
YOGYAKARTA-Namibia hingga saat ini terus berupaya untuk mengembangkan beberapa varietas padi karena negara ini masih mengimpor beras dari negara lain, seperti Afrika Selatan. Akibat keterbatasan stok dan produksi beras tersebut, masyarakat Namibia dalam mengonsumsi beras masih terbatas dan terkadang hanya pada even-even tertentu. “Sering kali masyarakat Namibia itu terbatas dalam mengonsumsi beras dan hanya untuk even-even tertentu, seperti Natal dan sebagainya. Sejauh ini, mereka banyak mengonsumsi umbi-umbian atau jagung,” ujar Prof. Luke Kanyomeka dari University of Namibia dalam diskusi di Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM, Senin (14/2).
Keterbatasan stok dan produksi beras mengakibatkan harga beras di Namibia juga relatif mahal. Dengan kondisi itu, Luke dan beberapa peneliti lain dari University of Namibia saat ini tengah mengembangkan beberapa varietas padi, seperti IR 30, WITA 1, dan WITA 2. Diakui Luke, konsep pengembangan tanaman padi di Indonesia hampir sama dengan Namibia, misalnya dalam penggunaan teknologi. “Teknologi moderat yang digunakan di Indonesia relatif cocok dengan Namibia. Lain misalnya ketika mengadopsi teknologi dari Jepang yang terlalu tinggi,” imbuh Luke.
Di samping tidak banyak petani Namibia yang belum mengupayakan teknologi perberasan, teknologi irigasi juga belum banyak dipahami oleh mereka. Luke menyebutkan karena hampir semua kebutuhan bahan pokok di Namibia berasal dari impor, dua fokus kegiatan yang dilakukan selain meningkatkan produksi beras, juga mengupayakan cara memperpendek jalur perdagangan yang selama ini harus melalui Afrika Selatan. “Yang juga membuat harga beras mahal karena jalur perdagangannya yang relatif panjang karena harus lewat Afrika Selatan dulu,” terangnya.
Sementara itu, Kepala PSPD UGM, Prof. Dr. Ir. Masyhuri, Ph.D., didampingi oleh Sekretaris PSPD, Drs. Riza Noer Arfani, M.A., dalam kesempatan itu mengatakan meskipun berpenduduk sekitar 2 juta orang, Namibia masih banyak belajar tentang konsep dan teknologi pengembangan pertanian, termasuk di Indonesia.
Indonesia dan Namibia, menurut Masyhuri, sebenarnya memiliki persamaan, yakni masih tetap mengimpor beras. Hanya saja, Indonesia masih sebagai salah satu negara produsen terbesar, sekaligus pengekspor beras. Khusus hubungan dengan Namibia, terdapat network antara PSPD dengan Fakultas Ekonomi dan Hukum University of Namibia terkait dengan WTO Chairs Programme (WCP). “Kebetulan kita ada kerja sama terkait WCP ini dengan University of Namibia,” kata Masyhuri. (Humas UGM/Satria AN)