Strategi Pengembangan Sentra Kerajinan dan Pariwisata:
Dari Kasongan ke Seto City
Diskusi mingguan PSPD UGM pada hari Jum’at tanggal 4 Februari 2011 diisi oleh Muhammad Rum, asisten peneliti Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM, yang mempresentasikan riset beliau mengenai Strategi Pengembangan Sentra Kerajinan dan Pariwisata: Dari Kasongan ke Seto City.
Kasongan (Bantul, Provinsi DIY) dan Seto City (Prefektur Aichi, Jepang) memiliki beberapa persamaan utama terkait situasi sentra kerajinan dan pariwisata. Pertama, Kasongan dan Seto City sama-sama mudah dicapai dari ibukota, dekat dengan daerah utama pariwisata (Yogyakarta dan Nagoya), serta adanya kemudahan akses transportasi (terutama dekat dengan bandara). Artinya, mereka sama-sama memiliki potensi pariwisata yang cukup baik. Kedua, budaya membuat kerajinan telah ada di dalam masyarakat sejak ratusan tahun, dan memiliki nilai sejarah karena berkembang pada peristiwa bersejarah. Industri kerajinan di Kasongan mulai terkenal sejak digunakan untuk membantu pasukan Diponegoro saat melawan Belanda, sedangkan industri di Seto City mulai terkenal saat digunakan untuk membantu pasukan Oda Nobunaga pada zaman Edo. Artinya, sentra kerajinan memiliki potensi karena di dalam masyarakat pun telah ada budaya membuat kerajinan serta ditambah dengan nilai sejarah yang dapat dioptimalkan sebagai nilai tambah bagi produk kerajinan yang dihasilkan.
Dari persamaan potensi tersebut, saudara Rum lalu menyoroti mengenai perbedaan sentra kerajinan dan pariwisata Kasongan dibandingkan Seto City. Beliau menggunakan teori ”Value Chain Types of Governance” (Gereffi, Humprey & Sturgeon, 2003). Melalui teori tersebut, saudara Rum menilai bahwa Kasongan termasuk dalam tipe “Captive Value Chain” karena terdapat kompleksitas transaksi barang yang tinggi, sedangkan kapabilitas dalam penyediaan hasil produksi rendah. Untuk mengembangkan sentra kerajinan dan pariwisata Kasongan, kondisi tersebut perlu diubah menjadi tipe “Markets Value Chain” dimana kompleksitas transaksi rendah, sedangkan kapabilitas dalam penyediaan hasil produksi tinggi. Strategi untuk mencapai hal tersebut dapat dipelajari dari kondisi yang ada pada sentra kerajinan dan industri di Seto City.
Strategi pertama adalah memperbaiki kapabilitas melalui perkembangan teknologi. Sebagai perbandingan, teknologi yang kini dipakai di Kasongan telah ditinggalkan oleh masyarakat Seto City sejak abad 12. Masyarakat Seto City kini memakai teknologi Climbing Kiln dan Modern Kiln yang dapat menghasilkan barang lebih banyak dan kualitas lebih bagus. Kedua, meningkatkan kapabilitas dari segi inovasi desain. Perbedaan mendasar dari masyarakat Seto City dan Kasongan adalah: masyarakat Seto City mendasari aktivitas sentra kerajinan mereka pada nilai seni (arts), sedangkan aktivitas sentra kerajinan Kasongan didasari oleh profit. Akibatnya, masyarakat Kasongan meninggalkan desain tradisional yang sebenarnya memiliki nilai tambah (nilai sejarah), dan tidak berani melakukan inovasi desain (karena hanya berkutat pada desain yang disenangi pasar). Ketiga, mengurangi kompleksitas transaksi dengan melakukan integrasi antara pusat birokrasi, akses pasar, dan informasi. Selain itu hal ini juga dapat dilakukan dengan membuat layanan informasi yang lebih informatif melalui peta pariwisata, informasi website, dan sebagainya.
Strategi Pengembangan Sentra Kerajinan dan Pariwisata:
Dari Kasongan ke Seto City
Diskusi mingguan PSPD UGM pada hari Jum’at tanggal 4 Februari 2011 diisi oleh Muhammad Rum, asisten peneliti Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM, yang mempresentasikan riset beliau mengenai Strategi Pengembangan Sentra Kerajinan dan Pariwisata: Dari Kasongan ke Seto City.
Kasongan (Bantul, Provinsi DIY) dan Seto City (Prefektur Aichi, Jepang) memiliki beberapa persamaan utama terkait situasi sentra kerajinan dan pariwisata. Pertama, Kasongan dan Seto City sama-sama mudah dicapai dari ibukota, dekat dengan daerah utama pariwisata (Yogyakarta dan Nagoya), serta adanya kemudahan akses transportasi (terutama dekat dengan bandara). Artinya, mereka sama-sama memiliki potensi pariwisata yang cukup baik. Kedua, budaya membuat kerajinan telah ada di dalam masyarakat sejak ratusan tahun, dan memiliki nilai sejarah karena berkembang pada peristiwa bersejarah. Industri kerajinan di Kasongan mulai terkenal sejak digunakan untuk membantu pasukan Diponegoro saat melawan Belanda, sedangkan industri di Seto City mulai terkenal saat digunakan untuk membantu pasukan Oda Nobunaga pada zaman Edo. Artinya, sentra kerajinan memiliki potensi karena di dalam masyarakat pun telah ada budaya membuat kerajinan serta ditambah dengan nilai sejarah yang dapat dioptimalkan sebagai nilai tambah bagi produk kerajinan yang dihasilkan.
Dari persamaan potensi tersebut, saudara Rum lalu menyoroti mengenai perbedaan sentra kerajinan dan pariwisata Kasongan dibandingkan Seto City. Beliau menggunakan teori ”Value Chain Types of Governance” (Gereffi, Humprey & Sturgeon, 2003). Melalui teori tersebut, saudara Rum menilai bahwa Kasongan termasuk dalam tipe “Captive Value Chain” karena terdapat kompleksitas transaksi barang yang tinggi, sedangkan kapabilitas dalam penyediaan hasil produksi rendah. Untuk mengembangkan sentra kerajinan dan pariwisata Kasongan, kondisi tersebut perlu diubah menjadi tipe “Markets Value Chain” dimana kompleksitas transaksi rendah, sedangkan kapabilitas dalam penyediaan hasil produksi tinggi. Strategi untuk mencapai hal tersebut dapat dipelajari dari kondisi yang ada pada sentra kerajinan dan industri di Seto City.
Strategi pertama adalah memperbaiki kapabilitas melalui perkembangan teknologi. Sebagai perbandingan, teknologi yang kini dipakai di Kasongan telah ditinggalkan oleh masyarakat Seto City sejak abad 12. Masyarakat Seto City kini memakai teknologi Climbing Kiln dan Modern Kiln yang dapat menghasilkan barang lebih banyak dan kualitas lebih bagus. Kedua, meningkatkan kapabilitas dari segi inovasi desain. Perbedaan mendasar dari masyarakat Seto City dan Kasongan adalah: masyarakat Seto City mendasari aktivitas sentra kerajinan mereka pada nilai seni (arts), sedangkan aktivitas sentra kerajinan Kasongan didasari oleh profit. Akibatnya, masyarakat Kasongan meninggalkan desain tradisional yang sebenarnya memiliki nilai tambah (nilai sejarah), dan tidak berani melakukan inovasi desain (karena hanya berkutat pada desain yang disenangi pasar). Ketiga, mengurangi kompleksitas transaksi dengan melakukan integrasi antara pusat birokrasi, akses pasar, dan informasi. Selain itu hal ini juga dapat dilakukan dengan membuat layanan informasi yang lebih informatif melalui peta pariwisata, informasi website, dan sebagainya.