Industri Nikel Indonesia Pasca Sengketa Perdagangan dengan Uni Eropa
Penulis :
Christina Vania Winona
Writer, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.
Editor :
Lukas Andri Surya Singarimbun
Website Manager, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.
Editor:
Maria Angela Koes Sarwendah
Kepala Divisi Diseminasi, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.
Ilustrator:
Narinda Marsha Paramastuti
Desainer Grafis, Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada.
Sengketa larangan ekspor nikel di WTO (World Trade Organization) antara Indonesia dengan Uni Eropa tinggal menunggu keputusan. Pada 22 November 2019, Uni Eropa mengajukan gugatan kepada WTO terkait larangan ekspor bijih nikel Indonesia yang dianggap merugikan industri nikel negara-negara Uni Eropa. Gugatan Uni Eropa mencakup lima bahasan pokok, yakni: (a) pembatasan ekspor nikel, termasuk larangan ekspor yang sebenarnya; (b) kebutuhan pengolahan dalam negeri untuk nikel, bijih besi, kromium, dan batubara; (c) kewajiban pemasaran dalam negeri untuk produk nikel dan batubara; (d) persyaratan perizinan ekspor nikel, dan; (e) skema subsidi yang dilarang.
Dalam perkembangan terbaru, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan Indonesia berpeluang kalah dalam sengketa perdagangan dengan Uni Eropa di WTO. Terlepas dari keputusan WTO, Indonesia tetap bersikeras melarang ekspor nikel dan menerapkan aturan serupa pada komoditas mentah lainnya seperti batubara, bauksit, tembaga, dan emas. "Sepertinya kita akan kalah di WTO, tapi tidak apa-apa, industrinya sudah dibangun," kata Jokowi.
Tulisan ini akan mengulas mengenai potensi industri nikel di Indonesia, alasan di balik dikeluarkannya kebijakan pelarangan ekspor nikel, dan isu-isu lain terkait industri nikel di Indonesia. Secara singkat, kebijakan pelarangan ekspor nikel mengindikasikan proteksionisme terhadap industri nikel dalam negeri. Pemerintah Indonesia perlu memperhatikan beberapa risiko yang eksis jika kebijakan hendak terus dipertahankan. Artikel ini akan membahas poin-poin tersebut secara mendalam.
Potensi Industri Nikel Indonesia
Indonesia merupakan negara pengekspor nikel yang menguasai total 20% ekspor nikel dunia sebelum larangan ekspor bijih nikel diberlakukan dua tahun lalu. Indonesia memproduksi 1 juta metrik ton per tahun dan menyumbang 37% dari total produksi nikel dunia pada tahun 2021, yakni sekitar 2,7 juta metrik ton. Namun, terlepas dari adanya larangan ekspor, Indonesia tetap mampu meraup keuntungan dari ekspor produk berbasis nikel sebesar $20,9 miliar pada tahun 2021. Nilai ini meningkat drastis, mengingat pendapatan ekspor produk berbasis nikel Indonesia 7 tahun lalu hanya berada di angka $1 miliar. Jokowi berpendapat bahwa konsistensi Indonesia pada kebijakan ini akan mengantarkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai $3 triliun pada tahun 2030.
Alasan Larangan Ekspor Indonesia
Setidaknya ada dua alasan utama yang menjadi landasan pemerintah Indonesia dalam mengambil kebijakan pelarangan ekspor nikel:
- Perkembangan teknologi smelter di Indonesia berpeluang memicu naiknya kebutuhan nikel domestik. Indonesia kini memiliki 21 smelter yang direncanakan bertambah hingga 53 smelter pada tahun 2024. Kebutuhan nikel domestik sebagai bahan baku pengolahan smelter diprediksi mencapai 100 juta ton pada tahun 2022 dan akan terus meningkat. Nikel hasil olahan smelter memiliki kualitas lebih tinggi dan harga jual yang tidak rendah sehingga keuntungan ekspornya lebih besar daripada bijih nikel semata. Alih-alih dijual ke luar negeri, pemerintah bertujuan mengamankan stok bijih nikel domestik untuk kebutuhan smelter.
- Kebijakan larangan ekspor nikel dipandang mampu mengembangkan industri hilir dalam negeri yang berkaitan dengan komoditas nikel. Pemerintah Indonesia menargetkan lebih banyak investasi di industri hilir nikel, utamanya pengembangan industri baterai listrik. Saat ini, Indonesia hanya bisa memproduksi produk turunan nikel kelas 2 yang dibutuhkan untuk memproduksi baja nirkarat. Sementara itu, produk turunan nikel kelas 1 dibutuhkan dalam pembuatan baterai listrik. Dalam pernyataannya, Presiden Jokowi ingin nikel Indonesia diolah menjadi produk nikel tingkat 1 dan bahan baku baterai litium untuk memproduksi kendaraan listrik. Industri pengolahan nikel tingkat 1 dinilai menjanjikan bagi Indonesia di masa depan.
Dari alasan-alasan tersebut, kebijakan larangan ekspor nikel yang diimplementasikan pemerintah Indonesia nampak berorientasi pada pengembangan industri domestik. Industri pengolahan nikel yang masih belum siap bersaing dengan industri besar lain membutuhkan bantuan investasi dan proteksi dari pemerintah. Kebijakan proteksionisme, layaknya larangan ekspor, dilakukan suatu negara agar industri pemula memiliki skala ekonomi dan kapasitas yang cukup kuat untuk bersaing di kancah internasional.
Dalam konteks yang lebih luas, tidak berubahnya sikap Indonesia didasarkan pada keinginan Indonesia untuk beralih peran dari eksportir bahan mentah menjadi produsen olahan nikel bernilai ekonomi tinggi. Sikap demikian dipertegas dengan pernyataan Jokowi, di mana “Indonesia selalu mengekspor bahan mentah, sementara lebih baik mengolah dan mengkonsumsinya melalui industri hilir atau di dalam negeri”. Nilai ekspor bijih nikel saat ini berkisar pada angka $30 per ton, sedangkan nilai tersebut akan meningkat menjadi $100 per ton apabila dikonversikan menjadi feronikel – logam paduan antara besi dan nikel yang digunakan sebagai bahan pemadu dalam pembuatan baja. Dengan mengandalkan pengembangan industri hilir nikel, Indonesia mengekspektasikan keuntungan bagi sektor ini melalui penambahan nilai produk olahan nikel, penciptaan lapangan kerja, serta pengurangan mengurangi emisi karbon.
Isu-isu terkait Industri Nikel
Di samping melihat potensi yang dapat dikapitalisasi Indonesia, pemerintah perlu memperhatikan sejumlah isu penting yang menyertai kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel. Isu yang dimaksud meliputi: (a) kerugian pendapatan negara; (b) transfer nilai tambah, dan; (c) ketenagakerjaan.
Pertama, Indonesia perlu mempertimbangkan potensi kerugian dalam pendapatan negara. Pelarangan ekspor nikel berisiko menurunkan penerimaan pajak negara dari perusahaan dan bea keluar sehingga hilirisasi industri nikel harus dapat menutup kerugian tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah menciptakan insentif untuk menarik investor. Insentif dapat berupa tax holiday atau cuti pajak bagi investor, yakni pengurangan hingga pembebasan pajak penghasilan (PPh) badan dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, dukungan pemerintah dalam bentuk kemudahan perizinan untuk mempersingkat pengurusan izin investasi juga dapat meminimalisasi kerugian dari berkurangnya pendapatan ekspor.
Adapun beberapa investor asing telah menunjukkan minatnya untuk berinvestasi dalam pemurnian dan pemrosesan nikel di Indonesia. Perusahaan asal Tiongkok, GEM Co, memiliki komitmen investasi $30 miliar dan bersedia terlibat dalam kemitraan proyek pengembangan industri nikel Indonesia. Pada pertengahan April 2022, raksasa baterai China CATL juga mulai menjajaki investasi di Indonesia untuk penambangan nikel dan produksi baterai kendaraan listrik.
Isu kedua adalah transfer nilai tambah dari perusahaan tambang ke smelter. Sektor pertambangan lokal perlu berhadapan dengan permasalahan harga jual nikel dalam negeri dan sistem penilaian kadar uji logam. Larangan ekspor memaksa perusahaan tambang menjual bijih nikelnya ke perusahaan peleburan dalam negeri dengan harga yang lebih rendah di tengah tingginya harga nikel dunia saat ini. Selain itu, terdapat pula ketidakadilan dalam sistem penilaian kadar uji logam nikel yang dirasakan pengusaha nasional. Ketidakadilan tersebut terlihat ketika para pengusaha yang memiliki izin usaha pertambangan nikel diwajibkan menggunakan surveyor yang ditunjuk pemerintah, sementara investor smelter asing boleh menunjuk surveyor sendiri. Hal ini berdampak pada perbedaan hasil analisis kandungan nikel, di mana hasil analisis surveyor pembeli seringkali jauh di bawah hasil analisis surveyor penambang. Walau pemerintah perlu memberi kemudahan bagi investor asing, pemerintah tetap harus memastikan kebijakannya tidak merugikan pengusaha dalam negeri.
Isu ketiga berkaitan dengan ketenagakerjaan. Meskipun larangan ekspor bijih nikel diklaim berpeluang meningkatkan penyerapan tenaga kerja, terutama di sektor peleburan, pemerintah juga perlu memikirkan dampak perampingan sektor pertambangan. Terlepas dari belum adanya data yang cukup kredibel menggambarkan penyerapan tenaga kerja Indonesia di sektor pertambangan nikel, data BPS menyebutkan proporsi angkatan kerja industri manufaktur Indonesia tahun 2018-2020 belum meningkat signifikan. Dampaknya, pelarangan ekspor belum dapat dipastikan akan menguntungkan masyarakat dalam aspek ini.
Langkah Indonesia untuk melakukan pelarangan ekspor bijih nikel bukanlah langkah yang bebas dari risiko. Kegigihan Indonesia hanya akan membawa keuntungan apabila diimbangi dengan pemberian perhatian khusus dan penanggulangan risiko dari pemerintah Indonesia terhadap isu-isu pajak, kemudahan berinvestasi, transfer nilai tambah dari perusahaan tambang ke smelter, dan peningkatan tenaga kerja secara nyata. Dibutuhkan sinergi dalam kerjasama untuk menanggulangi risiko dan memanfaatkan potensi terkait kebijakan larangan ekspor nikel Indonesia.