The Sovereignty and Reformation of National Oil and Gas PolicyKedaulatan Migas dan Reformasi Kebijakan Migas Nasional

The title above being the critical notes in our weekly discussion that has been conducted in 13 April 2012. This time, CwtsPspd UGM invited Mr. Ahmad Rizky Mardhatillah Umar as the speaker whom presenting his paper titled The Increasing of Oil Price: An Overview of Economy Politics. The discussion was related to the government of Indonesia plan which intent to increase the gas price per 1st April. This is one of the “tense” issues in recent Indonesia domestic news.

Rizky Umar started his explanation with designated the government reason behind the increasing of gas price, in which the inefficient subsidy needs to be relocate into the more productive / prospective sector. At this point, oil subsidy considered as a cause of the swelling of national budget of Indonesia. Meanwhile, there is also the increasing of global oil price beyond the 2012 national budget prediction. Rizky Umar also explain the rejection arguments that come from any lines of society, including; the huge social effect, inefficient “tight-budget” policy, the distinction of infrastructure tackling policy to the social effect and the ‘fait accompli’ towards the national energy endurance.

In the beginning of his presentation, Rizky Umar also presumed that the rise of oil price plan becoming the commodity between political parties in the legislative forum. This is reflect within the compromise of Section 7 Article 6A which cite that the government could adjust the oil price if the average price of Indonesia crude oil (Indonesia Crude Price/ ICP) increase/ decrease surpassing 15% within 6 month and depend on international market ICP. Whereas, according to Rizky Umar, speaking of international market, the relation among international actors were influences with the global oil price. Thus, it also relevant related to the neoliberal prescription in 10 point of Washington Consensus, amongst is the reconstruction of nation role into the “rule of law” aiming to market liberalization, budget-cut, structural adjustment, institution arrangement (privatization, deregulation) and strengthening the guarantee of economic freedom from political cooptation.

Rizky Umar took the case studies from 4 Africa country (Ghana, Kenya, Mali and Uganda), thus, as neoliberal claim, those prescriptions could strengthen national energy security, promote regional equality within oil and gas management, protecting consumer from malpractice/ monopolistic oil and gas and increasing efficiency. Yet, Rizky Umar also state that this is would reap critics from Neo-Marx perspective. Neo Marxism underlined the capital exploiting by the power of developed country becomes very strong and create the unequal advantages from international trade.

Liberalization of Upstream and Downstream Sector of Oil and Gas in Indonesia

In Indonesia context, the rise of oil price- which never apart from the constellation of international trade- could be read through the hypothesis that the increasing of oil price were affected by the liberalization of upstream and downstream sector. Also liberalization legitimated the absorbing of resources from Third World Country through the unequal exchange process from international oil trade.

In upstream sector, liberalization reflects within four model of oil and gas management, starting from concession, Product Contract (1963-1966), Product Sharing Contract (1966-present) yet Cooperation Contract. As a legal form, it is consist on UU No.11/1967 and UU No.22/2001 about Oil and Natural Gas. In UU No. 22/2001, Rizky Umar underlined any of them, in which the BP MIGAS (the authority committee to manage the activity of Oil and Gas sector) could refer the trader of petroleum and/or gas which can produce the maximal benefit for the country. It implies to three ways, first of all, in upstream sector, PERTAMINA only being “actor” just like the others MNC’s in 12,2 % operational area from 275 working area in Indonesia. Second, the trading of oil must through the brokers that referred from BP MIGAS. Third, exploration and exploitation are unrestrained without the intervention from the government.

While in downstream sector, including processing, transporting, storing and commerce of oil and gas, liberalization seen from the existence of 40 foreign companies which hold the permit of building the gas station and the opportunities to businessmen for competing in downstream sector without the necessity to invest in upstream sector. Besides, when Oil and Gas subsidy are withdrawn, it will cause the racing of oil price in the domestic market and global market.

Politic of Global Oil Market

After Indonesia leaving the membership of OPEC in 2009, it is becoming an indirect remark that Indonesia becoming an oil importer. As a result, the price of domestic oil and gas depending on global oil price which is also controlled by OPEC Reference Basket, New York Mercantile Exchange, Intercontinental Exchange, the oil producer’s country(Dubai, Oman, etc) and ICP. Thus, as Rizky Umar analysis, market will relent on the cartel of OPEC members, which also control the international oil price and trade.

At the end of discussion, Rizky Umar also believed that the signing of Letter of Intent (LOI) between IMF and Indonesia in Januari, 20, 2000, was the part of international interest representation and the entry point of liberalization towards Indonesia’s oil and gas sector. The LOI also mentioned that the government must change the rule within oil and gas management, restructure and reforming PERTAMINA, enactive that the rule and regulation are supporting the interest of international market, domestic oil price are reflects the global oil price and create the efficient public policy in line with sustainable development principle.

As a respon for the situation mention above, Rizky Umar sated the urge to “steal-back” the Oil and Gas sovereignty and reform the national policy by reconsider UU No. 22/2001, reforming and strengthen PERTAMINA, renegotiate oil and gas cooperation contract and reinforce the energy diplomacy.

Rewrite by: Dewa Mahendra S, Dimas Wijanarko
Translated by: Neily Cholida

 

*) Note: CwtsPspd UGM is conduct public weekly discussion every Friday. Every one whom interest on international trade issue shall be our guest speaker. Please contact Neily Cholida for further information. The arguments of speaker in the discussion remain as each individual opinion and not entirely represent CwtsPspd UGM opinion. Judul di atas menjadi catatan kritis dari diskusi yang bertajuk “Kajian Ekonomi Politik Kenaikan Harga BBM” pada 13 April 2012 lalu. Diskusi yang menghadirkan Ahmad Rizky M. Umar (Mahasiswa HI UGM, Menteri Kajian Strategis BEM KM UGM) sebagai pembicara tunggal, digagas oleh KoMaHI (Korps Mahasiswa HI UGM) bekerjasama dengan CwtsPspd UGM. Diskusi ini diselenggarakan berkaitan dengan rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM per 1 April lalu.

Rizky Umar mengawali pemaparannya dengan mengangkat alasan pemerintah dalam menaikkan harga BBM, yaitu subsidi yang tidak tepat sasaran perlu dialihkan ke sektor yang lebih produktif, subsidi BBM menyebabkan pembengkakkan APBN, terjadi kenaikan harga minyak dunia melebihi asumsi yang tertera pada APBN 2012, mendorong pembatasan konsumsi BBM dan untuk memutus arus penyelundupan dan penyelewengan harga. Rizky Umar juga memaparkan argumen-argumen penolakan terhadap kenaikan harga BBM, yaitu dampak sosial yang besar, alasan “pengetatan subsidi” yang tidak tepat, ketidakjelasan infrastruktur kebijakan penanggulangan dampak sosial serta ‘fait accomplii’ terhadap ketahanan energi nasional.

Di awal presentasinya Rizky Umar juga menyinggung rencana kenaikan harga BBM menjadi sebuah komoditas politik antarpartai di legislatif yang tercermin dalam kompromi Pasal 7 Ayat 6A. Pasal tersebut menyebutkan bahwa pemerintah dapat menyesuaikan harga BBM jika harga rata-rata minyak mentah di Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) naik/turun melebihi 15% dalam kurun waktu enam bulan dan tergantung harga ICP di pasar Internasional. Padahal, menurut Rizky Umar, jika berbicara tentang pasar internasional, relasi aktor-aktor internasional sangat berpengaruh terhadap harga minyak dunia. Sehingga hal tersebut sangat relevan apabila dikaitkan dengan preskripsi neoliberal yang termaktub dalam 10 poin konsensus Washington, di antaranya rekonstruksi peran negara menjadi sebuah ‘rule of law’ yang  mengarah pada liberalisasi pasar, pemangkasan subsidi, penyesuaian struktural, penataan kelembagaan (privatisasi, deregulasi) dan menguatkan jaminan kebebasan ekonomi dari kooptasi politik.

Rizky Umar kemudian mengambil contoh kasus empat negara Afrika (Ghana, Kenya, Mali, dan Uganda), di mana menurut klaim Neoliberal, preskripsi tersebut dapat memperkuat ketahanan energi nasional, mempromosikan kesetaraan regional dalam pengelolaan migas, memproteksi konsumen dari malpraktik/monopolistik pasar migas hingga meningkatkan efisiensi. Namun, lebih lanjut Rizky Umar mengungkapkan bahwa hal tersebut menuai kritik dari Neo-Marx: justru penghisapan kapital oleh negara-negara maju dengan instrumen kekuasaannya menjadi sangat kental dan menciptakan keuntungan yang tidak seimbang dari perdagangan internasional.

Liberalisasi Sektor Hulu dan Hilir Migas di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, kenaikan harga BBM—yang tidak dapat terpisah dari konstelasi perdagangan internasional—dapat dibaca melalui hipotesis bahwa kenaikan harga BBM dipengaruhi oleh liberalisasi sektor hulu dan hilir migas, liberalisasi melegitimasi penghisapan sumberdaya dari negara Dunia Ketiga oleh negara maju melalui proses exchange yang unequal dari perdagangan minyak internasional.

Di sektor hulu, liberalisasi tercermin dalam empat model pengelolaan migas, mulai dari konsesi, kontrak karya (1963-1966), Product Sharing Contract (1966-sekarang) sampai dengan kontrak kerjasama. Sebagai payung hukumnya adalah UU No.11/1967 dan UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pada UU No.22/2001, Rizky Umar menggarisbawahi salah satunya yaitu wewenang BP Migas yang dapat menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Implikasinya, pertama, di sektor hulu Pertamina hanya menjadi ‘pemain’ sama seperti perusahaan multinasional lain yang terbatas pada wilayah operasional sebesar 12,2% dari 275 wilayah kerja migas di Indonesia (sisanya dikuasai asing). Kedua, penjualan minyak harus melalui broker yang ditunjuk BP Migas. Ketiga, eksplorasi dan eksploitasi bebas dilakukan tanpa campur tangan pemerintah.

Sedangkan di sektor hilir, yang mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga migas, liberalisasi dapat terlihat dari adanya 40 perusahaan asing yang memegang izin prinsip pendirian stasiun pengisin bahan bakar umum (SPBU), dan terbuka kesempatan bagi pelaku usaha untuk berkompetisi di hilir tanpa harus berinvestasi di sektor hulu. Di samping itu, ketika subsidi BBM ditarik, maka harga BBM di pasar akan terus mengejar harga minyak dunia.

Politik Harga Minyak Dunia

Selepas Indonesia keluar dari keanggotaan OPEC pada 2009 lalu, secara tidak langsung Indonesia telah mengukuhkan dirinya sebagai negara importir minyak. Imbasnya, acuan harga minyak yang digunakan pemerintah amat bergantung pada harga minyak dunia yang dikendalikan oleh OPEC Reference Basket, New York Mercantile Exchange, Intercontinental Exhange, negara produsen minyak terbesar (Dubai, Oman, dll) serta ICP. Hanya saja harga ICP juga sangat tergantung pada kontraktor yang menjadi rekan Pertamina. Dengan demikian, menurut analisis Rizky Umar, pasar tunduk pada kartel negara-negara anggota OPEC yang mengatur harga minyak internasional dan struktur perdagangan minyak internasional menjadi oligopolistik.

Pada kesempatan terakhir Rizky Umar juga meyakini bahwa penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara IMF dan Indonesia pada 20 Januari 2000, adalah bagian dari representasi kepentingan internasional terhadap sektor minyak dan gas bumi Indonesia dan titik masuk liberalisasi migas Indonesia. LoI itu menyebutkan bahwa pemerintah harus mengganti aturan main yang baru dalam pengelolaan migas, restrukturisasi dan reformasi pertamina, memastikan aturan dan undang-undang memperhatikan kepentingan pasar internasional, harga minyak domestik mencerminkan harga minyak dunia dan membuat kebijakan yang efisien dan sesuai prinsip sustainable development.

Menghadapi hal yang demikian itu, Rizky Umar menyatakan perlunya ‘merebut’ kembali kedaulatan migas dan mereformasi kebijakan migas nasional dengan melakukan peninjauan ulang UU No.22/2001, reformasi dan penguatan Pertamina, renegosiasi kontrak kerjasama migas dan menguatkan doplomasi energi.

Disadur oleh: Dewa Mahendra S., Dimas Wijanarko

Catatan: CwtsPspd UGM tiap Jumat seminggu sekali mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Siapa saja dapat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, terutama yang mengangkat tema perdagangan internasional. Silakan menghubungi Neily Cholida untuk informasi lebih detil. Pemikiran dan/atau pemaparan pembicara diskusi hanya mewakili pendapat individu pembicara dan tidak serta merta mewakili sikap/opini CwtsPspd UGM.

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*