Kebijakan Liberalisasi Pendidikan Tinggi: Perbandingan Pengalaman Tiongkok dan Indonesia

PSPD bekerjasama dengan WTMC menyelenggarakan Kajian Pekanan pada tanggal 10 April 2015 dengan Ferdiyansyah Rifa’i, S.IP., M.A. sebagai pembicara. Pembicara merupakan dosen Universitas Sriwijaya yang sebelumnya pernah menulis tesis dengan topik serupa, mengenai keterkaitan kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi dengan membandingkan penerapannya di Tiongkok dan Indonesia. Diskusi dimulai dengan pemaparan kondisi Indonesia yang status quo dalam menyambut adanya bonus demografi, yaitu kondisi di mana mayoritas penduduk suatu negara berusia produktif. Menghadapi hal tersebut, Ferdiyansyah menawarkan suatu gagasan berupa pemberlakuan liberalisasi di bidang jasa pendidikan di Indonesia.

Liberalisasi pendidikan itu sendiri tidak dimaknai sebatas adanya universitas asing yang berdiri di suatu negara, lebih jauh pendidikan akan dijadikan bidang jasa yang bisa dikomersialkan untuk nantinya diharapkan dapat meningkatkan perekonomian negara. Tentunya hal ini akan sejalan dengan regulasi WTO dalam meliberalisasi jasa di bidang pendidikan tinggi, di mana prinsip National Treatment dan Market Access berlaku juga terhadapnya. Yang perlu diperhatikan pula adalah bahwa suatu negara yang memberikan komitmennya dalam meliberalisasi pendidikan dapat memberikan syarat dan pembatasan dalam pemberlakuannya.

Ferdiyansyah melihat bahwa liberalisasi adalah jalan yang tepat untuk menghadapi bonus demografi ini dengan berkaca pada penerapan liberalisasi jasa pendidikan di Tiongkok. Lebih lanjut, pembicara melakukan beberapa perbandingan antara Indonesia dan Tiongkok. Kedua negara disebutnya memiliki kesamaan dari sisi jumlah penduduk, kebudayaan serta kondisi negara di mata komunitas internasional. Ferdiyansyah berpendapat bahwa jika Indonesia meliberalisasi pendidikannya, maka akan sangat mungkin jika memperoleh hasil yang sama baiknya seperti Tiongkok, mengingat kesamaan antara kedua belah negara. Tiongkok sendiri telah meliberalisasi pendidikannya jauh sebelum keikutsertaannya dalam WTO, sedangkan Indonesia yang telah lama bergabung dengan WTO hingga saat ini belum menunjukan keseriusannya dalam meliberalisasi pendidikan.

Contohnya saja ketika Indonesia berusaha melakukan proses liberalisasi pendidikan melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, muncul respon negatif dari berbagai kalangan termasuk perguruan tinggi negeri yang pada pokoknya mengutarakan ketidaksepihakan dengan pemerintah terkait dengan kebijakan tersebut.

Seiring berjalannya waktu, diskusi yang dipandu oleh Heriyana S.Pd, tersebut mulai dihujani pertanyaan, pernyataan dan kritikan dari para peserta. Beberapa di antaranya mempertanyakan kesiapan Indonesia untuk melakukan liberalisasi pendidikan dengan kondisi sekarang ini yang dirasa belum cukup siap. Terdapat juga kritikan yang menyatakan bahwa sebenarnya tidaklah bijak dalam menghadapi permasalahan pendidikan di Indonesia, pemerintah mengutamakan peran perusahaan jasa pendidikan asing untuk memenuhi permintaan domestik. Hal tersebut perlu dipertimbangkan mengingat dalam konstitusi Indonesia secara eksplisit menyatakan bahwa yang seharusnya berkontribusi terhadap kondisi pendidikan adalah Indonesia itu sendiri.

Terhadap respon dari peserta, Ferdiyansyah menyatakan setuju, bahwa hal tersebut sewajarnya dan seharusnya memang dilakukan oleh pemerintah. Namun demikian, Ferdiyansyah berusaha meluruskan bahwa ide liberalisasi pendidikan muncul hanya terbatas pada konteks karena adanya bonus demografi. Lebih lanjut, Ferdiyansyah menambahkan bahwa kekhawatiran terhadap dampak liberalisasi jasa pendidikan juga dapat diatasi dengan mengalokasikan subsidi perguruan tinggi negeri yang sudah besar di Indonesia ke perguruan tinggi negeri yang masih kecil dan berkembang agar tidak kalah saing dengan perusahaan jasa pendidikan luar negeri.

 

Keterangan foto: Ferdiyansyah Rifa’i (kiri) sedang memaparkan materi diskusi WTMC PSPD UGM
Disadur oleh: Annisa Fathima Zahra & Hendra Wijaya

Catatan: WTMC (World Trade Model Community) dan CwtsPspd UGM tiap jumat seminggu sekali mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Siapa saja dapat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, terutama yang menyangkut tema perdagangan internasional. Silahkan menghubungi WTMC untuk informasi lebih detail. Pemikiran dan/atau pemaparan pembicara diskusi hanya mewakili pendapat individu pembicara tidak serta merta mewakili sikap/opini CwtsPspd UGM

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*