Implikasi Pembentukan OJK terhadap Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga negara yang dibentuk pada tahun 2011 berdasarkan UU nomor 21 tahun 2011, dan beroperasi Januari 2013 (untuk pasar modal dan LKNB) dan 2014 (untuk perbankan). Aturan ini menjelaskan fungsi OJK dalam menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK sendiri didirikan untuk menggantikan peran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Dengan terbentuknya OJK maka secara otomatis pengaturan dan pengawasan Pasar Modal dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) beralih ke OJK.

Pembentukan OJK tentunya dengan mempertimbangkan beberapa alasan, salah satunya adalah terkait fungsi Bank Indonesia. Bank Indonesia yang dulunya diberi tugas mengawasi dan mengatur sektor perbankan pada kenyataannya dianggap belum mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal. Bank Indonesia juga dilihat mempunyai tugas yang sangat berat sehingga membutuhkan lembaga pembantu. Di samping itu, hingga saat ini, Bank Indonesia masih dianggap sangat rentan dengan intervensi dari berbagai pihak terutama pemerintah dan pengusaha. Kondisi ini menjadi dorongan untuk membentuk lembaga pengawas yang lebih independen. Lembaga pengawas perbankan harus bebas dari intervensi dan campur tangan pihak manapun sehingga mampu bekerja secara profesional.

Untuk itu dibentuklah OJK yang diharapkan dapat melakukan pembagian tugas dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia yang dulunya juga bertugas mengawasi perbankan, dengan terbentuknya OJK maka dengan sendirirnya tugas tersebut akan berpindah kepada OJK. OJK diberi tugas dalam hal mikro (micro-prudential supervision) yakni mengawasi bank-bank yang ada di Indoensia. Sementara Bank Indonesia sendiri akan lebih bertanggung jawab dalam menangani masalah yang lebih makro ( macro-prudential supervision) misalnya terkait dengan kebijakan moneter dan penanganan di saat krisis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, sebetulnya peran OJK sebagai lembaga pengawas keuangan ini tak benar-benar baru. Di dalamnya terdapat penyatuan wewenang dan kekuasaan beberapa institusi yang sudah ada.

Selain mengambil alih tugas Bapepam-LK dan Bank Indonesia, pembentukan OJK juga menjadi respon atas perkembangan sektor jasa keuangan. Sektor jasa keuangan telah mengalami perkembangan pesat seiring dengan globalisasi dan keterbukaan pasar. Semakin majunya sistem teknologi dan komunikasi dalam perbankan juga mendorong pemerintah untuk mereformasi sistem pengawasan perbankan. Sistem keuangan menjadi semakin kompleks, dinamis, hybrid, dan saling terkait. Untuk itu kemudian diperlukan OJK sebagai lembaga dengan fungsi dan sistem yang telah terintegrasi.

Dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 disebutkan, lembaga-lembaga yang akan  berada di bawah pengawasan OJK adalah perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan atau multifinance, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Lembaga jasa keuangan ini mencakup pergadaian (PT Pegadaian), lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, lembaga pembiayaan sekunder perumahan dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, yaitu penyelenggaraan program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan.

  • Adapun tujuan OJK adalah:
    – Mendorong kegiatan sektor jasa keuangan agar terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel.
    – Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.
    – Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
  • OJK memiliki tugas pokok dalam melaksanakan pengaturan dan pengawasan terhadap:
    – kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
    – kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;
    – kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.

Akan tetapi OKJ sebagai lembaga baru tentunya tidak luput dari sejumlah pro dan kontra. Sebagian kalangan melihat OJK masih memiliki banyak kelemahan yang sangat berpotensi menimbulkan konflik. Hal ini terutama ditunjukkan dalam sumber pembiayaan dan susunan dewan komisioner OJK.

Dalam aturan penjelasan OJK, disebutkan bahwa sumber pembiayaan OJK berasal dari APBN dan pungutan. OJK berhak mengambil pungutan dari lembaga perbankan yang diawasi. Hal ini tentunya sangat berpotensi menimbulkan masalah. Ketika lembaga pengawasan menerima pembiayaan dari bank-bank yang diawasi maka tidak akan menutup kemungkinan materi pengawasan akan sesuai dengan ‘order’ dari lembaga atau bank yang diawasi. Pengawasan akan lebih bersifat tebang pilih tergantung dari jumlah pungutan yang diterima.

Selanjutnya, masih terkait dengan pendanaan, aturan OJK menyebutkan bahwa kelebihan dana yang diperoleh OJK akan diserahakan kepada pemerintah. Hal ini akan membuka peluang yang sangat besar bagi pemerintah untuk menempatkan OJK sebagai sumber pendapatan. Dengan adanya keganjilan dalam hal pendanaan ini mengakibatkan independensi OJK yang akan semakin dipertanyakan.

Permasalahan selanjutnya terkait susunan dewan komisioner OJK. Dewan komisioner OJK berjumlah 9 orang yang dipimpin oleh satu orang anggota. Adapun susunannya adalah :

  • seorang Ketua merangkap anggota;
  • seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
  • seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
  • seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
  • seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
  • seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
  • seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen;
  • seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
  • seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

Permasalahannya adalah ketika anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dan Pejabat Kementrian Keuangan terlibat secara langsung dalam struktur OJK. Sistem ini tentunya akan mempengaruhi independensi OJK yang tadinya diharapkan akan mampu bebas dari segala bentuk intervensi.

Aturan hukum yang menjadi acuan OJK sendiri juga masih menjadi bahan perdebatan. Walaupun telah memiliki sistem pengawasan yang terintgrasi akan tetapi landasan hukum belum sepenunya mendukung sistem tersebut. Akibatnya hal ini akan memunculkan kesalahan interpretasi yang memungkinkan perbedaan tafsiran atas aturan hukum. Tidak akan menutup kemungkinan beberapa pihak akan memanfaatkan kondisi tersebut untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Sebagai lembaga baru, tentunya OJK tidak luput dari beberapa kelemahan. Untuk itu penting untuk meninjau kembali OJK, baik dalam aturan hukum maupun implementasi tugas dan fungsinya. Adanya pengalihan tugas pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK diharapkan menjadi dorongan bagi kedua lembaga untuk dapat bekerja dengan optimal dan professional.

Keterangan foto: Rio Fafen sedang sampaikan presentasi

Pemakalah: Rio Fafen Ciptaswara
Disadur oleh: Tika Marzaman
Foto: Dimas

Catatan: CwtsPspd UGM tiap Senin seminggu sekali mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Siapa saja dapat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, terutama yang mengangkat tema perdagangan internasional. Silakan menghubungi Vinie untuk informasi lebih detil. Pemikiran dan/atau pemaparan pembicara diskusi hanya mewakili pendapat individu pembicara dan tidak serta merta mewakili sikap/opini CwtsPspd UGM.

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*