Arsip:

Kegiatan

Strategi Industri Karoseri Indonesia Menuju Asean Economic Community (AEC)

Industri karoseri nasional telah berkembang sejak tahun 70-an dan mengalami kemajuan signifikan hingga tahun 1986. Saat itu ada sekitar 350 Industri Karoseri diseluruh Indonesia yang telah berhasil memproduksi berbagai jenis karoseri Kendaraan Angkutan Barang dan terutama Kendaraan Angkutan Penumpang. Saat itu industri karoseri menjadi sangat diperlukan oleh masyarakat untuk menunjang kegiatan ekonomi dan pembangunan di segala bidang di Indonesia.

Akan tetapi, sejak tahun 1987 Industri Karoseri mulai berguguran satu demi satu terutama Industri Karoseri yang memproduksi Minibus. Dampaknya semakin terasa sejak tahun 2003 dimana jumlah Industri Karoseri di Indonesia tinggal sekitar 80 Industri Karoseri. Kondisi ini juga kemudian diperburuk dengan sejumlah kebijakan pemerintah yang dinggap tidak berpihak kepada industri karoseri. Pemerintah, melalui Departemen Perindustrian membuka izin impor bagi kendaraan Bus dan Truk yang tidak diimbangi dengan alih teknologi dan pembinaan bagi Industri karoseri nasional.

read more

Dampak “Resource Boom” terhadap Ekonomi Politik Australia

Pertumbuhan ekonomi kawasan Asia, khususnya bagi beberapa negara seperti Cina dan India dalam beberapa dekade terakhir mengindikasikan kebangkitan ekonomi yang berkelanjutan. Indikasi tersebut dapat dilihat dari beberapa kalkulasi dengan basis ukur kemampuan ekonomi seperti kenaikan pendapatan per kapita yang menembus level di atas $ 15.000 pada tahun 2025 (Maddison, 2010) serta dominasi pertumbuhan world output sebesar 60% oleh Asia pada tahun yang sama (IMF, 2012c).

Kebangkitan ekonomi Asia tersebut di atas mendorong perubahan dalam pemetaan pasar global yang ditandai dengan bangkitnya industrialisasi dan urbanisasi Asia. Bahkan, industrialisasi yang memicu pada penguatan sektor manufaktur telah memicu peningkatan permintaan terhadap bahan baku yang menciptakan ledakan sumber daya atau “Resource Boom”. Munculnya Resource Boom telah dirasakan oleh beberapa negara pemasok bahan baku, dimana Australia menjadi negara yang paling merasakan dampak positif fenomena tersebut. Kemunculan Resource Boom dalam beberapa tahun terakhir bahkan telah merekonstruksi komposisi 10 produk eskpor terbesar Australia, dari dominasi sektor non-pertambangan pada dekade 1970-an menuju dominasi sektor pertambangan pada dekade 2000an dengan pertumbuhan volume ekspor lebih dari 100 kali lipat pada periode yang sama (Conley, 2009). Komoditas
ekspor teratas dari pertumbuhan tersebut didominasi oleh batubara dan biji besi yang juga merupakan ekspor utama Australia ke Cina.

read more

Implikasi Pembentukan OJK terhadap Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga negara yang dibentuk pada tahun 2011 berdasarkan UU nomor 21 tahun 2011, dan beroperasi Januari 2013 (untuk pasar modal dan LKNB) dan 2014 (untuk perbankan). Aturan ini menjelaskan fungsi OJK dalam menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK sendiri didirikan untuk menggantikan peran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Dengan terbentuknya OJK maka secara otomatis pengaturan dan pengawasan Pasar Modal dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) beralih ke OJK.

read more

Komodifikasi Pengelolaan Air Minum di PDAM Makassar: Jalan untuk Menarik Investasi

Perdebatan mengenai urgensi atas kapasitas air telah semakin meningkat seiring dengan semaikin tingginya permintaan akan air bersih. Perdebatan ini pada kenyataannya telah meminculkan dua standpoint. Di satu sisi menganggap air sebagai barang ekonomi (komoditas). Air merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomis. Dalam hal ini setiap orang dapat memetik manfaat dari air melalui penetapan harga berdasarkan upaya-upaya yang dilakukan. Implikasinya pengelolaan air didasarkan pada mekanisme pasar, di mana harga ditentukan oleh permintaan dan ketersediaan barang.

read more

From Bean to Latte: Mapping Indonesia Position in Global Coffee Chain

 

The analysis of the coffee chain is particularly important in understanding the political economy of development for a variety of reasons. First, over 90% of coffee production takes place in developing countries, while consumption happens mainly in industrialized economies.  Therefore, the production–consumption pattern provides insights on North–South relations. Second, for most of the post‐WWII period coffee has been the second most valuable traded commodity after oil. Third, attempts to control the international coffee trade have been taking place since the beginning of the 20th century, making coffee one of the first ‘‘regulated’’ commodities. Fourth, a number of developing countries, even those with a low share of the global export market, rely on coffee for a high proportion of their export earnings. Coffee is a source of livelihoods for millions of smallholders and farm workers worldwide. Fifth, producing country governments have historically treated coffee as a ‘‘strategic’’ commodity, they have either directly controlled domestic marketing and quality control operations or have strictly regulated them––at least until market liberalization took place in the 1980s and 1990s.

read more

Politik Perdagangan Buah Impor Indonesia Tahun 2011-2012

Impor komoditas hortikultura telah semakin sering menjadi bahan pembahasan selama beberapa tahun belakangan. Kebiajkan terkait impor komoditas hortikultura juga semakin menjadi polemik. Tidak dapat dipungkiri bahwa komoditas hortikultura menjadi kebutuhan penting dalam masyarakat. Walaupun tergolong negara yang agraris, pada kenyataannya Indonesia masih harus tergantung pada impor sejumlah komoditas hortikutura. Salah satu yang paling banyak menarik perhatian adalah impor buah-buahan.

Jika melihat signifikansi buah-buahnya dalam pola konsumsi masyarakat indonesia tentunya tidak begitu besar mengingat sebagian besar penduduk indonesia masih tidak lazim mengkonsumsi buah-buahan. Akan tetapi hal ini tetunya juga menjadi ladang besar bagi para importir dan pengusaha dengan melihat jumlah penduduk indonesia yang sangat besar yang akan menjadi target pasar mereka. Dalam hal ini, sebagaimana pertarungan kepentingan dalam perumusan kebijakan terkait sektor pertanian, akan ada jurang pemisah yang besar antara kepentingan petani sebagai penghasil buah lokal dan pengusaha atau importir buah.

read more

Kemajuan Industri Otomobil Korea Selatan: Studi Kasus Hyundai Motor Company

Analisa Global Value Chain merupakan alat analisis yang fokus pada dinamisasi hubungan antara aktor dalam proses produksi, terutama melihat pada bagaimana aktor perusahaan dan negara terintegrasi secara global  (Kaplinsky & Morris, 2000, hal. 2). Alat analisa ini dipilih untuk menjelaskan proses kemajuan industrialisasi Korea Selatan karena industri otomotif merupakan industri yang memiliki keterkaitan dengan banyak industri lain. GVC meletakkan fokus analisa ke berbagai actor baik dalam dan luar negeri sehingga peserta dapat memahami sejarah dan proses manufaktur dari Hyundai yang dikenal masyarakat menjadi satu rangkaian mobil seperti yang kita lihat di jalan di sekitar kita. Dengan Global Value Chain, kita dimungkinkan untuk mengamati bagaimana konsep Rent, Governance dan Upgrading tercermin di kebijakan-kebijakan pemerintah Korea Selatan. Rent terlihat jelas dalam financial aid, kebijakan berorientasi ekspor, pembatasan impor dan kontrol investasi asing.

read more

Linking Creative Industry to Local Economic DevelopmentLinking Creative Industry to Local Economic Development

Pada tanggal 25-27 April 2013, PSPD UGM akan menyelenggarakan Kursus Singkat Perdagangan Internasional dengan tema “Linking Creative Industry to Local Economic Development: Cases From Food Related and Handicraft Industry in Yogyakarta“. Silakan buka link berikut untuk informasi lebih lanjut:

http://cwts.ugm.ac.id/events/english-short-course-series-in-international-trade-20122013-3rd-serie/

read more

Retaliasi Silang bagi Negara Berkembang dalam Dispute Settlement Mechanism WTO

Pasca Uruguay Round tahun 1995 terdapat perubahan signifikan GATT menjadi WTO. WTO dianggap sebagai lembaga internasional yang cukup mapan yang mempunyai aturan yang mengikat dan tidak lagi berbasis pada power dan interest. Salah satu implikasi konkrit dari perubahan tersebut adalah diadopsinya Dispute Settlement Mechanism. Mekanisme penyelesaian sengketa ini tidak lagi mengandalkan proses negosiasi akan tetapi lebih kepada pembentukan panel dalam menegakkan aturan. Hal ini tentunya mendapat sambutan positif terutama dari negara berkembang. Mekanisme penyelesaian sengketa ini akan membawa keuntungan bagi negara berkembang yang mayoritas tidak memiliki bargaining dan power yang kuat jika disandingkan dengan negara-negara maju dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional.

read more

Sengketa Cina‐Amerika Serikat Mengenai Peningkatan Tarif Impor Ban Cina Tahun 2009-2011

World Trade Organisation (WTO) sebagai lembaga dunia yang bertanggung jawab atas perdagangan internasional memiliki mekanisme pengelesaian sengketa (Dispute Settlement Mechanism) untuk membuat negara anggota patuh terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan. Masih banyaknya bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh negara anggota memberikan urgensitas yang besar bagi Dispute Settlement Body (DSB) WTO. Terlebih lagi dengan melihat adanya perbedaan yang signifikan dalam kapabilitas ekonomi negara-negara yang juga semakin memperbesar potensi terjadinya sengketa perdagangan internasional.

read more