Analisis Ekonomi Politik: PT. Freeport dalam Perdagangan Dunia

Pembicara     : Dr. Fahmy Radhi, M.B.A

Waktu              : Jum’at, 24 November 2017 Pukul 14.00 s.d. 16:00 WIB

Tempat           : Ruang BA. 101, Gedung FISIPOL UGM

Dr. Fahmy Radhi secara konsisten mengamati tentang kebijakan negara di sektor minyak, gas serta minerba (mineral barang tambang). Dr. Fahmy juga sejak dua bulan ini menjadi tim informal Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignatius Jonan untuk menyusun formula kebijakan dalam penetapan harga divestasi saham PT Freeport McMorran Indonesia. Apabila publik dan civitas akademis Indonesia membicarakan isu tentang PT Freeport Indonesia memang tidak akan ada habisnya. Dalam konteks perdagangan Internasional, sebenarnya investasi PT Freeport ke Indonesia secara teoritis masuk kategori FDI (Foreign Direct Investment), karena peraturan Indonesia mewajibkan perusahaan asing membentuk joint venture. Namun, hingga kini terdapat keganjilan bahwa mitra PT Freeport bukanlah jenis perusahaan, melainkan dari pemerintah Indonesia. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa mekanisme investasinya bukan Business to Business (B to B). Lebih dari 50 tahun saham yang dimiliki Indonesia tidak pernah lebih dari 9,6%.

PT Freeport McMoran Indonesia memiliki induk perusahaan bernama Mc Morran, sebuah perusahaan tambang go public di New York, Amerika Serikat. Mc Morran memiliki beberapa anak perusahaan tambang di negara-negara lain (Brazil dan beberapa negara Afrika), tetapi porsi terbesar dari pendapatannya memang berasal dari Indonesia. Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu telah berkeinginan mengambil alih saham Freeport lewat perundingan-perundingan namun tidak pernah berhasil. Akhir-akhir ini muncul wacana Indonesia akan mengambil alih paling tidak 50% dan akhirnya sudah disepakati oleh McMorran dan akan divestasi sebesar 51%. Namun, hingga sekarang belum ada kejelasan mengenai metode penjualan saham tersebut. Freeport menetapkan metode memasukkan aset dan cadangan (anehnya, cadangan yang masih belum digali) dihitung hingga 2041, jadinya harga sahamnya mahal sekali, ini pun tidak sesuai dengan norma-norma karena cadangan tambangnya belum digali, masih di dalam perut bumi. Indonesia menawarkan untuk menghitung aset dan cadangan hingga tahun 2021. Inilah yang mengakibatkan perundingan belum selesai, sekarang ini kami sendang membuat formula jalan tengah menggunakan metode yang lazim digunakan dalam perdagangan internasional, tapi ini belum selesai.

Sejarah singkat Freeport sendiri menarik untuk diteliti dari segi politik. Awal mula penambangan diawali dengan penemuan gunung emas oleh seorang peneliti dari Belanda bernama Jean Jacques Dozy (1963)  menemukan tambang tembaga di Papua, bukan emas pada awalnya, akhirnya dilakukan eksplorasi lebih lanjut dan ditemukanlah ada gunung emas di sana. Sisi politiknya adalah ketika konteks agresi Belanda pasca kemerdekaan di mana terjadi perebutan Papua. Amerika waktu itu mendukung agar Papua dimiliki Indonesia dan mengancam Belanda agar menyerahkan Irian Barat. Barangkali ini bisa dicurigai sebagai motif Amerika karena adanya temuan gunung emas tadi agar ke depannya Amerika lebih gampang berkoordinasi dengan Indonesia ke depannya. Namun, Amerika kecewa karena Bung Karno menolak Amerika mengolah tambang emas di Papua. Bung Karno sadar betul eksploitasi dan kolonialisasi bentuk baru akan terjadi dengan pengolahan diserahkan ke Amerika dan itu terbukti sekarang. Selanjutnya, jangan-jangan pelengseran Soekarno juga akibat dari kekecewaan Amerika tsb. Ada beberapa bukti dan beberapa buku yang membahas bagaimana peran CIA terhadap penembakan Bung Karno dan menaikkan Soeharto.

Selepas Bung Karno lengser ada yang aneh dalam hubungan antara Indonesia dan Amerika. 11 Maret 1966 Supersemar ditandatangani, 20 Maret MoU balas budi Indonesia ke Amerika ditandatangani, Oktober 1966 sudah ada rancangan kontrak karya (KK), dan untuk memudahkan Kontrak Karya (KK) di Papua itu, maka dibentuklah UU Penanaman Modal Asing dan 10 Januari 1967 sudah terbit UU No.1/1967 tentang modal Asing disahkan, isinya melegalkan Amerika untuk mengelola tambang Papua dan 12 Maret 1967 MPRS menetapkan Soeharto sebagai Presiden. Sejak itu banyak terjadi keanehan yang sebenarnya menabrak norma-norma perdagangan internasional. Misalnya, KK pertama ditentukan lama konsesi 30 tahun, di situ tidak ada bagian saham untuk Indonesia dan berlangsung selama bertahun-tahun. Baru tahun 1976, Indonesia mendapat saham 8,5% padahal itu tambangnya Indonesia. Dan selama 50 tahun sampai sekarang hanya 9,36% persen.

Mengapa hal itu terjadi? Hal ini karena adanya skandal-skandal. Skandal Jilid I, beberapa tahun lalu ada skandal Papa Minta Saham (yang sekarang sudah ditangani KPK), skandal itu sebenarnya persis yang terjadi tahun 1997 di mana KK pertama selesai lalu diperpanjang, 6 tahun sebelumnya sudah diadakan perundingan. Di perundingan tersebut harusnya Indonesia dapat saham 20% tapi karena ada skandal (waktu itu menterinya Ginanjar) di mana terdapat pengusaha dan penjual pabrik juga ikut berunding akhirnya disepakati KK sampai 2021 dan saham jatah pemerintah 20% itu dibagi-bagi dengan beberapa pengusaha, dibeli dengan murah sekali, saat harganya naik oleh mereka (pengusaha) dijual lagi ke Freeport. Jadi, sahamnya negara itu dibagi-bagi ke perusahaan yang ikut negosiasi perpanjangan itu tadi, sehingga pada perpanjangan kedua pun Indonesia hanya dapat sisanya, 9,36%. Ini menabrak norma-norma internasional dalam melakukan joint venture, Royaltinya pun kecil 1% – 3,5%, pajak juga kecil itu pun ada manipulasi juga, jadi, selama 50 tahun Indonesia tidak dapat apa-apa. Hanya royalti 1% dan saham 9,36% pun dividennya tidak pernah dibagi untuk rakyat, katanya untuk pendapatan negara dan investasi. Dan yang paling berat, kita pun tak pernah bisa menghitung berapa tambang yang telah dieksploitasi, karena yang diekspor adalah bentuk konsentrat yang itu nilainya berlipat-lipat jika telah dihilirisasi, nah masalahnya smelterisasi itu pun di luar (bukan di Indonesia), jadi kita tidak pernah dapat mengontrol. Maka, tawaran Jonan tadi, smelterisasi harus di Indonesia. Skandal jilid I terulang pada di 2004, disebut skandal jilid II, waktu itu dibongkar oleh Sudirman Said. Modusnya sama persis, saham 20% yang dijanjikan diberikan ke Jokowi dan JK tapi dibagi-bagi tapi karena dibongkar itu gagal. Skandal Freeport Jilid III pun sama ya, modus meminta saham 20% PTFI dengan mencatut nama presiden dan meminta saham PLTA yang akan dibangun di Papua, melibatkan eksekutif PTFI, ketua DPR dan pengusaha Muhammad Reza Chalid. Freeport setiap memilih direktur selalu dari kalangan militer atau Intel, mereka tidak membutuhkan kalangan profesional, semua manajemen dan tambang dikendalikan di New York, mereka hanya butuh keamanan. Jadi, kalau kita dengar ada penyanderaan seperti kemarin, tidak bisa disalahkan juga, karena memang rakyat Papua tertindas. Mereka (rakyat Papua) tahu Freeport itu kaya tapi penduduknya miskin. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang menimpa banyak rakyat Papua itu karena ada warga di sana  yang mengambil emas di sungai meskipun sungai itu jauh dari PT.  Freeport namun mereka ditembaki oleh tentara kita yang dibayar oleh Freeport. Di sisi lain, PTFI sebenarnya banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran, seperti:

  • Melakukan kerusakan lingkungan amat masif
  • Pelanggaran HAM berat terhadap rakyat Papua
  • Manipulasi pajak dalam jumlah besar

Pelanggaran selanjutnya adalah pelanggaran UU 4/2009 yang berbunyi: tidak boleh mengekspor dalam bentuk konsentrat tanpa dimurnikan (harus dihilirkan di dalam negeri) dan itu diberikan tenggang waktu 5 tahun, tapi PTFI menentang dan selalu mengancam akan menghentikan produksi, PHK karyawan dan melaporkan ke arbitrase internasional.

Sudirman Said dan Jero Wacik akhirnya melakukan relaksasi kebijakan dengan selalu memberikan izin ekspor konsentrat karena ancaman tsb. Padahal itu menentang UU. Nah, berbeda dengan periode Jonan yang berani menentang. RI satu sebelumnya lebih lunak, tetapi Jokowi melalui Jonan mulai keras, itulah yang mengawali perundingan yang lebih intensif tadi. Jonan menawarkan alternatif lain untuk mengubah KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Dr. Fahmy pada awalnya sempat protes: mengapa kita tidak ambil saja tahun 2021 pas selesai kontrak? Mengapa harus menggunakan IUPK yang akan diperpanjang 20 tahun lagi? Jonan menjelaskan: kita tidak bisa ambil begitu saja 2021 karena dalam KK 1997 ada satu pasal bahwa untuk mengakhiri atau mengambil alih Freeport harus persetujuan dari kedua belah pihak, kalau Freeport tidak setuju maka tidak bisa diambil dan dan bisa di laporkan ke mahkamah internasional. Jadi, perubahan ke IUPK itu sebenarnya strategi transisi, dengan mengajukan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain:

  1. Diberi waktu membangun smelter selama 5 tahun
  2. Divestasi saham 51% secara bertahap 5 tahun
  3. Sistem fiskal prevailling (besaran pajak yang berubah seiring dengna perubahan peraturan pajak di Indonesia)

Saat awal ditawarkan CEO Freeport McMoran lagi-lagi mengancam akan mengadukan ke arbitrase, tapi dengan mengamati harga saham McMorran, Dr. Fahmy mengatakan bahwa itu hanya gertak sambal. Asumsinya, kalau dia melakukan itu dan produksinya berhenti pasti harga saham McMorran akan jatuh, tidak ada perpanjangan saja sudah jatuh, jadi itu berpotensi akan membangkrutkan saham McMoran. Dan berdasarkan data saham, itu terbukti.

Ketika Pemerintahan Jokowi berkelas, McMoran akhirnya mulai melemah, waktu itu dia berunding dengan Jonan dan Sri Mulyani, Richard pun menyetujui mengubah KK menjadi IUPK dan menyetujui prasyarat tadi. Mengapa ia berubah? Jonan bilang karena Jokowi berkelas. Hanya masalahnya sampai sekarang meskipun kesepakatan dasar telah disetujui tapi metode penetapan harga saham belum disepakati, tadi di depan Dr. Fahmy mengatakan bahwa PT FI menghendaki memasukkan aset perhitungan sampai 2041, tapi Indonesia minta sampai 2021. Kalau mengikuti metode PTFI maka tidak bisa dibeli, kalau dari hitungan Indonesia itu bisa dibeli. Maka, kita mencoba jalan tengah dengan cara market valuation, kita menilai harga saham Mc Morran di New York, di situ dihitung berapa kontribusi PTFI ke McMorran yang waktu itu ada 8%. Artinya kita mengasumsikan pergerakan saham di McMorran mencerminkan nilai perusahaan yang ada di Indonesia, karena di perusahaan lain yang ada di Brazil dan Afrika itu kecil sekali. Akan ada internasional consultant independen yang ditunjuk oleh PTFI dan pemerintah Indonesia untuk menghitung konsep tsb. Nah ini yang di media Dr. Fahmy katakan Jonan’s scenario. Berhasil tidaknya, ini kita masih menunggu.

Terakhir, kaitannya dengan siapa yang akan membeli sahamnya? Indonesia dengan APBN jelas tidak akan sanggup. Jadi siapa? Satu-satunya adalah konsorsium perusahaan tambang. Akhir-akhir ini Rini Soemarno telah membuat holding gabungan perusahaan tambang, sudah ada tiga perusahaan tambang di Indonesia (PT. Aneka Tambang Tbk, PT Bukti Asam Tbk, PT Timah Tbk) yang disatukan dan dari gabungan ketiga perusahaan tambang itu asetnya memenuhi untuk membeli. Kalaupun tidak ada yang membeli, dari ketiga aset yang begitu besar itu memungkinkan untuk memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan internasional maupun dari luar negeri, dan itu mereka akan mengantre malahan. Nah, PTFI ini ternyata FDI, harusnya dapat uang, tapi dia tidak, di menggunakan KK dan melampirkan hasil penelitian tentang cadangan, itu yang untuk membiayai investasi underground dan seluruh operasionalisasi di Papua, jadi diperkirakan yang di underground mining itu luar biasa besarnya bahkan ada uranium, yang selama 50 tahun itu dirampok oleh Amerika.

Alternatifnya adalah nasionalisasi sesuai pasal 33, namun sekarang sangat berisiko, berbeda dengan jaman Soekarno dulu. Sekarang jika dilakukan nasionalisasi akan diadukan arbitrase internasional, efeknya akan dikucilkan dan bahkan diserang tentara AS, akan memerdekakan Papua. Maka, melalui strategi IUPK itu sudah yang paling tepat, pada saatnya kita divestasi 51% setiap pengambilan keputusan kita bisa mengambil alih operasional. Apakah mampu Indonesia mengelola? Mampu, karena 95% pegawai PTFI itu saja Indonesia. Kalaupun, butuh expert, kita dapat membayar. Kalau JK dan Jero Wacik mengatakan kita tidak mampu dengan alasan akan merugi seperti Venezuela, Dr. Fahmy kira mereka itu masih bermental inlander sebenarnya dengan meragukan kemampuan kita.