Konsultasi Publik: Pembahasan Isu-isu Penting dalam Pekembangan E-commerce, Pasca KTM WTO XI Buenos Aires

 

 

Yogyakarta (30/5/2018) – Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM bekerjasama dengan Direktorat Perdagangan Multilateral Kementrian Perdagangan RI mengadakan forum konsultasi publik yang di hadiri oleh akademisi, profesional, pelaku usaha serta pemerintahan. Forum ini berisi pemaparan mengenai pandangan dan perkembangan program dalam merespon isu e-commerce. Hadir sebagai pembicara di antaranya  Ir. Azhar Hasyim (direktur e-business Kominfo), Enzeline Sariah, S.E., MOE (Kemendag), Setyo Harsono, S.E. (perwakilan dari Indonesia E-Commerce Association), dan Riza Noer Arfani, Ph.D (Direktur PSPD UGM).

Dalam sambutan yang disampaikan oleh Pak Denny (Jabatan…), dijelaskan mengenai dilema e-commerce yang dalam satu sisi harus diikuti namun di sisi lain belum memiliki kesiapan yang maksimal. Maka, forum ini menjadi penting untuk sebagai medium untuk menjaring masukan-masukan dari berbagai stakeholder sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan pemerintah di level nasional dalam merespon isu e-commerce.

Denny mengingatkan bahwa di level RTA (Regonal Trade Agreement) e-commerce pun sedang ramai didiskusikan. “Peluang dari e-commerce sendiri dapat meningkatkan potensi UKM, namun implementasi tak semudah itu, karena ada celah national upgrading yang harus kita isi. Di sini tugas Kemendag adalah meningkatkan ekspor dan di sisi lain juga impor guna meningkatkan efisiensi dan daya saing kita.” Pungkasnya.

Dalam sesi pemaparan, empat narasumber dibagi dalam dua sesi, yang pertama meliputi paparan perkembangan rencana-rencana strategis pemerintah dan sesi kedua meliputi pemaparan pandangan dari lembaga swasta dan perguruan tinggi.

Rencana Strategis Pemerintah Menghadapi E-commerce

Ir. Azhar Hasyim memaparkan target Presiden Jokowi menuju Indonesia: the Digital Energy Of Asia dan faktor-faktor yang mendorong target tersebut tercapai. Ada lima faktor yang menjadi sasaran. Pertama, berfokus pada UKM (Usaha Kecil Menengah) dengan mendorong partisipasi rakyat untuk terlibat lebih giat di dalamnya. Kedua, peta jalan e-commerce yang menyinkronkan 31 inisiatif strategis di 8 kementrian untuk mendukung target transaksi sebesar USD 130 M di tahun 2020. Ketiga, menggalakkan FDI (Foreign Direct Investment) untuk menarik investasi teknologi dan penguatan basis investasi domestik. Keempat, memfasilitasi akses yang lebih besar ke pendanaan untuk digitalisasi UKM dengan memberi subsidi pada startup-startup lokal. terakhir, melakukan adopsi kebijakan pro-inovasi dengan target menciptakan 1000 Digital Technopreneurs dan peraturan “Safe Harbour” untuk menjaga dan meningkatkan inovasi pemain e-commerce.

Melihat pertumbuhan pengguna internet dan aktivitas e-commerce Indonesia yang telah mencapai 54,68%,, terdiri dari aktivitas mencari produk online, mengunjungi toko online, membeli produk online, pemerintah optimis bahwa ke depannya rencana-rencana strategis tersebut akan menuai hasil yang positif. Keyakinan ini ditambah dengan data grafik pertumbuhan pengguna internet Indonesia yang juga mengalami peningkatan serta bonus demografi.

Demi mengupayakan terealisasinya target-target tersebut, Ir. Azhar menjelaskan bahwa masing-masing kementrian memiliki program yang sama bertema Go Digital 2020. Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sendiri memiliki program menciptakan 1000 startup yang telah dimulai pertengahan 2016. Program ini didukung oleh pakar dan pelaku startup yang hingga saat ini telah ada 25 pendatar dan yang terjaring dalam program ini berjumlah 60 ribu orang. Program lainnya adalah mendorong 1000.000 petani dan nelayan untuk terintegrasi dengan para penyedia aplikasi agar bisa memasarkan produknya secara online. Selain itu, program 8000.000 UMKM juga telah dilakukan dengan nama program Grebeg Pasar, tujuannya juga agar menjual produknya secara online. Dan program terakhir berupa 187 Kabupaten 3T ditarget  agar tersedia jaringan internet.

Kominfo juga melakukan beberapa proyek seperti mendorong pertumbuhan startup lokal dengan mempertemukan stratup-startup established dengan yang potensial dan sekaligus dipertemukan dengan investor-investor. Tujuannya agar startup bisa mengikuti jejak startup yang telah mapan, seperti GoJek, Tokopedia, Traveloka, dkk.  Proyek Palapa  Ring juga sedang dikerjakan oleh Kominfo untuk mengejar target tersedianya jaringan internet di seluruh wilayah Indonesia. Anggaran proyek ini bukan dari APBN, tetapi dari user operator.

Dalam kaitannya dengan pengawasan, Kominfo sedang melakukan rencana penyusunan kajian model sistem pengawasan dalam transaksi e-commerce yang ini diatur dalam PP No.82 tahun 2012 tentang penyelenggaraan dan transaksi elektronik (PSTE), UU ITE N0.11 tahun 2008 dan UU No.19 tahun 2016. Hal yang mencakup di dalamnya terdiri dari aspek pendaftaran, pengamanan dan penanggulangan terhadap ancaman, kerahasiaan data pribadi, sertifikat keandalan/surat elektronik, dan terkait penempatan pusat data. Terkait penempatan data, pemerintah telah membaginya ke dalam kategori strategis tinggi, rendah dan menegah. Data-data yang tergolong strategis tinggi, wajib memusatkan data di domestik, awalnya peraturan dari pemerintah mewajibkan agar seluruh data dipusatkan di domestik.

Menurut keterangan Azhar Hasyim, penyusunan program pengawasan nasional e-commerce tersebut  juga  melibatkan analisis komparasi terhadap negara lain: Inggris, Uni Emirat Arab, Korea selatan, Tiongkok, dan Uni Eropa. Rancangan yang dibuat pemerintah sendiri akan disesuaikan dengan konteks Indonesia dalam hal transaksi, cyber security, pemetaan pihak yang terkait, serta analisa kebutuhan bisnis.

Sementara itu, Kementrian Perdagangan seperti yang dipaparkan oleh Ibu Enzeline Sariah, mendapat tugas dalam penyusunan kebijakan peta jalan penerapan e-commerce Indonesia. Menurut Ibu Enzeline, total sumbangsih e-commerce masih relatif kecil yaitu sekitar 2% dan hanya sekitar 9% pelaku UKM Indonesia yang benar-benar memanfaatkan platform e-commerce, padahal para pebisnis ini sebenarnya bisa meningkatkan pendapatannya hingga 80% jika terlibat. Namun demikian, mengingat pertumbuhan pemakaian internet yang besar dan meningkatnya pelaku e-commerce, Indonesia dipandang memiliki prospek dalam perkembangan e-commerce. Untuk itu, pemerintah mengupayakannya melalui peta jalan agar potensi-potensi ini dapat mendukung perkembangan ekonomi ke depannya oleh pelaku bisnis domestik.

Ibu Enzeline menjelaskan bahwa isu yang terdapat dalam peta jalan ini meliputi, pendanaan, perpajakan, keamanan (perlindungan konsumen), Sumber Daya Manusia (SDM), infrastruktur komunikasi, logistik dan keamanan siber. Pendanaan sebagai pendukung perkembangan start-up masih menemui kendala bagi pelaku usaha domestik karena kurangnya investasi domestik maupun asing. Untuk menanggulanginya, pemerintah membuat skema hibah dan dana pinjaman serta didukung dengan pembukaan investasi asing. Dalam hal regulasi, pemerintah juga mengupayakan penyederhanaan kewajiban dan persamaan perlakuan perpajakan, mengembangkan nasional payment gateway serta membuat sistem pengawasan melalui program Kominfo. Sementara dalam hal pembangunan SDM dan infrastruktur, dilakukan melalui fasilitasi pendidikan e-commerce untuk mendorong kesadaran masyarakat, membangun infrastruktur komunikasi, melakukan efisiensi logistik e-commerce dengan sistem logistik nasional Indonesia melalui perkembangan pusat-pusat logistik seperti pembangunan tol laut dan udara.

Terkait regulasi kegiatan e-commerce, Kemendag tengah menyusun RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) TPMSE (Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) termasuk mendaftar pelaku usaha TPMSE dan edukasi e-commerce untuk mendorong pelaku UKM.  Hal-hal yang diatur dalam RPP TPMSE ini dilandaskan pada amanat UU Perdagangan No.7 tahun 2004,  bahwa setiap pelak usaha e-commerce wajib memiliki legalitas.

Ibu Enzeline juga menegaskan mengenai posisi Indonesia dalam merespon isu e-commerce dalam perundingan internasional terkait pengenaan bea masuk, perlindungan data pribadi, pajak, dan lokasi data senter.

Dalam pengenaan bea masuk dalam e-commerce, Indonesia mendukung perpanjangan moratorium bea masuk transmisi elektronik dengan pemahaman bahwa moratorium tersebut tidak berlaku pada barang yang ditransmisikan secara elektronik, hal ini berarti nantinya produk digital dikenakan pajak sebesar 0%. Mengenai perlindungan data pribadi, Indonesia telah memiliki peraturan mengenai hal tersebut melalui UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), PP PSTE (Perlindungan Sistem Transaksi e-commerce), Permen Kominfo No.2016 tentang perlindungan data pribadi dalam sistem Elektronik serta peraturan BI no.7/PBI/2005 tentang transparansi informasi Publik Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.

Sementara itu, mengenai pengenaan pajak e-commerce, Indonesia mengacu pada UU 36/2008 tentang pajak penghasilan, bahwa pengenaan pajak di Indonesia hanya dapat dibebankan pada pelaku usaha yang berkedudukan fisik atau Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Mengenai  data senter, Indonesia telah memiliki landasan PP 82/2012 yang mewajibkan penempatan pusat data di Indonesia.

Perkembangan E-commerce di Indoensia dan Pandangan Perguruan Tinggi

Pada sesi pemaparan kedua, Bapak Setyo Harsono perwakilan dari IDEA (Asosiasi E-Commerce Indonesia) memaparkan data mengenai perkembangan e-commerce di Indonesia yang mulai mengalami peningkatan signifikan sejak 2010 dan mengalami milestone dengan lahirnya fintech.  IDEA yang semula hanya terdiri dari 10 perusahaan di tahun pembentukannya, 2012, kini telah mengalami peningkatan jumlah anggota sebanyak lebih dari 330 di tahun 2018.

Menurutnya, ada empat kategori platform e-commerce yang berkembang di Indonesia, antara lain: (1) Marketplace yaitu model bisnis di mana situ yang bersangkutan hanya mempromosikan barang dagangan dan memfasilitasi transaksi uang secara online, contohnya Bukalapak, Blanja, Tokopedia; (2) Classified Ads, yaitu situs iklan semata, contohnya Kaskus dan OLX; (3) E-retail yaitu peritel offline yang juga menjual secara online barangnya dengan harga sama, contohnya: Binneka, Zalora, Alfaoline (4) sisanya platform yang menjual diskon dari berbagai produk dan jasa (Daily Deals, F& B leisure).

Namun, e-commerce di Indonesia memiliki beberapa tantangan. Pertama, produk lokal yang belum menguasai pasar Indonesia. Hal ini disebabkan salah satunya karena masalah harga, di mana barang dari luar lebih murah karena berongkos produksi lebih efisien dibanding dalam negeri. Kedua, kurangnya investor lokal dan  data e-commerce yang akurat masih lemah di Indonesia. Di sisi lain, e-commerce masih belum menjadi real business di Indonesia. “Sebagian besar pelaku e-commerce kita masih bakar duit, contohnya: free ongkir (ongkos kirim). Namun, pelan-pelan mereka akan menuju ekuilibrium dan menjadi real bisnis, sekarang sedang tahap kompetisi.” Tambahnya. Ketiga, belum selarasnya dunia pendidikan dengan kebutuhan e-commerce.”Lulusan S1 Perguruan Tinggi rata-rata tidak siap masuk di dunia kerja, programmer sekalipun banyak yang juga tidak siap. Bagaimana dunia pendidikan bisa mengejar dunia industri? Ini tantangan kita.” Paparnya lebih lanjut.

Pemaparan lalu dilanjutkan oleh Riza Noer Arfani, PhD mengenai pandangan dari sektor pendidikan. Alih-alih berfokus menyoroti persoalan ketidaksiapan perguruan tinggi dalam mempersiapkan SDM yang selaras dengan kebutuhan e-commerce, Riza justru menyoroti mengenai keputusan pemberhentian moratorium yang berakibat pada diskusi soal pajak barang. Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak terhadap pemangku kepentingan dari keputusan memberhentikan moratorium e-commerce, misalnya dalam hal ini perguruan tinggi. Dengan demikian, analisis pemetaan  stakeholder perlu dilakukan.

Riza menyampaikan bahwa menurutnya, posisi Indonesia sendiri masih bimbang dalam menghadapi isu e-commerce meskipun di KTM kemarin sepakat untuk menghentikan moratorium dan di KTM berikutnya akan maju lagi dengan proposal tersebut. Fakta bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara berkembang yang menghentikan moratorium dan memberikan skema baru dipandang sebagai hal menarik oleh Riza.

“Namun, sebenarnya ini masih perlu berkali-kali konsultasi publik karena melibatkan banyak kepentingan dari stakeholder. Misalnya dalam dunia pendidikan, apakah menghentikan moratorium akan berbanding urus dengan kebutuhan dunia pendidikan? Bagaimana dengan materi-materi yang tersebar bebas di internet akan dikenakan pajak? Posisi Indonesia ini apakah mewakili secara umum posisi negara berkembang di WTO? Karena di forum yang lain Indonesia menjadi leader, dan di WTO kita cukup diperhitungkan. Kalau di Buenos Aires kemarin Indonesia bukan satu-satunya yang menolak moratorium, mungkin harus dipertimbangkan untuk mencari sekutu demi mengupayakan kepentingan Indonesia.“ ungkapnya.

Riza juga mengingatkan bahwa di WTO ada isu klasifikasi, maka, Ia menyarankan agar Kemendag harus lebih jeli dalam mengklasifikasikan sektor-sektor dan perlu menyepakati kepentingan dan kebutuhan Indonesia sebagai negara berkembang. Dalam sektor pendidikan, apakah material-material yang berhubungan dengan pendidikan harus disandingkan dengan produk-produk e-commerce juga, mengingat selama ini memang negara-negara maju yang banyak memasok, hal tersebut tentu justru merugikan.

Riza menekankan agar berbagai pihak dilibatkan dalam mendiskusikannya, termasuk melibatkan kementrian pendidikan dan kebudayaan. Hal tersebut, menurutnya untuk menciptakan shared and common understanding. “Kira-kira dari keputusan itu apakah akan ada keuntungan atau kerugian yang didapat oleh sektor pendidikan? Jadi, bagaimana menyelaraskan kepentingan ini?” Ungkap Riza.

Selain mengenai pajak barang, Riza juga menyoroti keterkaitan e-commerce dengan TRIPS. Indonesia memiliki persoalan rendahnya penggunaan dan pengembangan teknologi, hal ini yang menurutnya akan memungkinkan Indonesia membayar pajak untuk untuk penggunaan teknologi yang memiliki hak paten sehingga menyebabkan ketidaksiapan integrasi online dalam perdagangan internasional. Meskipun demikian, TRIPS sebenarnya memiliki debat filosofis, di mana Indonesia berada di gerbong India yang menyepakati bahwa TRIPS juga harus mencangkup traditional knowledge.

Terakhir, diungkapkan olehnya bahwa perlu model analisis GVC (Global Value Chain) diterapkan dalam penyusunan regulasi peta jalan e-commerce agar ke depannya bukan regulasi yang muncul lalu diikuti, melainkan analisis menyeluruh terlebih dulu kemudian regulasi dibentuk. “Kami UGM bersedia memfasilitasi untuk diskusi dan analisis stakeholder ini, terutama mewakili stakeholder pendidikan, supaya nantinya diketahui bagaimana rezim perdagangan yang terbentuk. Saya kira ini bisa jadi kolaborasi yang bagus untuk proposal pemerintah.” Tutup Riza mengakhiri sesi pemaparannya. (DS)

 

Penulis : Dewi Setyaningsih

Editor   : Swastaji Agung Rahmadi

Dokumentasi : Wahyu Subagio Saputro