PSPD Weekly Discussion “PERDAGANGAN PRODUK HASIL TERNAK DI INDONESIA : PELUANG DAN TANTANGAN”

Oleh : Wahyu Subagio Saputro, S.Pt

Pada kesempatan kali ini, hari Selasa, 8 Mei 2018, Pusat Studi Perdagangan Dunia menyelenggarakan kegiatan diskusi pekanan (weekly discussion) yang menghadirkan pemateri yakni Wahyu Subagio Saputro, seorang mahasiswa pascasarjana, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Wahyu menyampaikan materi terkait peluang dan tantangan perdagangan produk hasil ternak di Indonesia, baik berupa daging, hewan hidup, produk olahan susu hingga telur. BErikut ini adalah rangkuman dari materi yang disampaikan oleh beliau.

Menurut PP No. 4 tahun 2016, produk hewan adalah semua bahan yang berasal dari hewan yang masih segar dan atau telah diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika, pertanian, hingga kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan manusia. Selain daging dan produk olahan susu, produk peternakan dapat juga berbentuk hasil sampingan seperti kulit, bulu, dan offal (jeroan). Khususnya, offal hanya diperdagangan di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur seperti Indonesia dan Tiongkok. Produk jeroan sangat laku di dalam perdagangan internasional di wiayah ini disebabkan oleh tersedianya berbagai macam produk olahan makanan (local cuisine) serta pengaruh kekayaan bumbu rempah-rempah masakan.

 

Perdagangan Indonesia masih didominasi oleh impor daging (meat, offal and edible meat), telur unggas tidak hanya telur ayam. Menurut Wahyu Subagio, produksi telur ayam di Indonesia sudah mencukupi kebutuhan konsumen dalam negeri. Sedangkan, produk olahan susu seperti susu UHT, krim, keju pada tahun 2013 dan 2014, Indonesia masih net exportir, sedangkan mulai 2015 hingga 2017 mulai ada tren peningkatan impor produk olahan susu. Sebagian besar impor produk olahan susu dari Selandia Baru, daging, cattle live dan offal mayoritas diimpor dari Australia, sedangkan telur unggas banyak dari Amerika Serikat.  Pad tahun 2017, ada moratorium Kementerian Pertanian untuk membatasi impor daging sapi, yang kemudian kran impor dibuka sejak awal 2018. Berikut ini adalah paparan mengenai peluang dan tantangan perdagangan produk peternakan Indonesia.

Peluang dari Perdagangan produk peternakan Indonesia

  • Jenis bumbu dan rempah-rempah yang sangat beranekaragam karena posisi geografis Indonesia yang terletak di iklim tropis.
  • Era globalisasi memudahkan proses transportasi.

Tantangan Perdagangan Produk Pertanian Indonesia

  • Produk pertanian sangat mudah terkontaminasi oleh bakteri. Sehingga, mudah rusak
  • Isu lingkungan menghambat perdagangan. 20 persen gas rumah kaca disumbangkan oleh gas metan yang diproduksi dari kotoran sapi.
  • Growth promotor seperti hormon anti-biotik yang disuntik ke ternak supaya bakteri patogen di dalam tubuh ayah tidak berkembang. Sehingga, memacu pertumbuhan.
  • Industrialisasi ternak memacu pertumbuhan yang artifisial, sehingga peternak tradisional akan kalah bersaing dengan perusahaan besar.
  • Bibit ternak di Indonesia dikuasai oleh pemain kartel perusahaan besar, sehingga muncul dependensi yang kuat dari peternak tradisional ke pemasok bibit kelas kakap.
  • Inkonsistensi zonasi peternakan yang diatur oleh UU No.41 tahun 2014. Sehingga, pencampuradukan zonasi menyebabkan penularan wabah penyakit yang semakin masif dan merugikan peternak.
  • Black campaign terhadap konsumsi daging.
  • Politisasi wabah penyakit ternak.

Dalam sistem peternakan, terkadang tidak ada sinergi kebijakan antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian. Masing-masing instansi kementerian memiliki preferensi kelompok kepentingan yang berbeda-beda. Secara historis-ekonomi, terjadi pergeseran ekonomi dari agraris ke industri. Lahan peternakan dan pertanian mulai tergusur oleh kawasan industri. Indonesia bukanlah negara yang fokus mengembangkan intensifikasi tidak seperti Thailand yang berhasil mengembangkan bibit pertanian dan peternakan melalui berbagai program RnD di universitas terkemuka, dan kemudian menjadi prototip industri. Di Indonesia, kita mengenal kartel pertanian dan peternakan yang dikenal dengan istilah 9 naga dan 4 samurai. Hal ini menyebabkan praktik perdagangan yang tidak kompetitif. Berbagai permaslahan dan tantangan untuk mengembangkan sektor peternakan di Indonesia menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, peternak dan konsumen.