Kebijakan Perdagangan dan Industri dalam Mencapai Kedaulatan Pangan di Indonesia


Solusi Alternatif Darurat Menuju Daulat

Pangan menjadi sektor vital bagi setiap negara. Hal ini ditegaskan oleh Presiden Soekarno bahwa “Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner.” Dari ungkapan tersebut, tergambar bahwa sepatutnya pangan menjadi prioritas utama. Akan tetapi sayangnya hal tersebut tidak terimplementasikan dengan baik, dimana urgensitas pangan pada kenyataannya tidak berbading lurus dengan kebijakan pemerintah, terutama pada masa orde baru, yang lebih menekankan pada pengembangan sektor industri. Implikasinya, sektor pangan telah banyak terlupakan.

Sebagai negara dengan luas wilayah terbesar keempat di dunia, tentunya menjadi kesempatan besar bagi Indonesia untuk menjadi negara yang agraris dan mampu berdaulat pangan. Namun ironisnya yang saat ini terjadi adalah pemerintah kewalahan dalam mencukupi konsumsi pangan domestik. Pada akhirnya kondisi ini memaksa pemerintah untuk mengimpor sejumlah komoditas pangan.

Volume Impor Komoditas Tanaman Pangan Indonesia Tahun 2009-2012 (Dalam Ton)

Tabel di atas menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar dari impor pangan. Bahkan, walaupun telah berupaya mengantisipasi dengan impor, pada kenyatannya kebutuhan pangan rakyat masih belum dapat terpenuhi. Indonesia berdasarkan Global Hunger Index-GHI berada pada tingkat serius atau satu tingkat dibawah menghawatirkan. Artinya bahwa kelaparan di Indonesia masih menjadi masalah yang harus diselesaikan dimana hampir tiap bulan terdapat kasus kelaparan dan gizi buruk.

Konsep kedaulatan pangan sendiri telah dirumuskan dalam aturan perundang-undangan Indonesia. Berdasarkan UU Pangan No. 18 Tahun 2012 (Pasal I Ayat 2), Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Adapun syarat tercapainya kedaulatan pangan adalah:

  1. Pembaruan Agraria;
  2. adanya hak akses rakyat terhadap pangan;
  3. penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan;
  4. pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan;
  5. pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi;
  6. melarang penggunaan pangan sebagai senjata;
  7. dan pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.

Konsep kedaulatan pangan ini sendiri belum mampu untuk diimplementasikan secara nyata oleh pemerintah. Dapat dikatakan bahwa saat ini kebijakan pemerintah hanya berdasarkan pada mekanisme untung dan rugi, dimana sektor pangan dianggap tidak membawa keuntungan yang lebih besar dibanding sektor yang lain, industri misalnya. Hal ini dikarenakan pengetahuan yang melandasi kebijakan pemerintah hari ini bertumpu pada mekanisme pasar bukan lahan. Belum lagi besarnya motivasi politik yang ikut terlibat dalam setiap perumusan kebijakan pemerintah terkait pangan.

Menanggapi fenomena tersebut, beberapa solusi yang ditawarkan adalah:

  • Peningkatan Peran Industri Pangan
  • Pengolahan  panganan cepat rusak menjadi aneka produk olahan yang aman, awet, layak dikonsumsi manusia, sehingga tidak akan terjadi kehilangan ataupun kerugian;
  • mempermudah akses distribusi;
  • dan memberikan variasi, mutu, serta gizi dari berbagai jenis olahan pangan.
  •  Meningkatkan Kesejahteraan Petani

Rendahnya upah petani menjadi permasalahan yang hingga saat ini belum dapat diselesaikan oleh pemerintah. Untuk itu, diperlukan political will yang kuat dari pemerintah untuk mengangkat  dan memperhatikan persoalan upah dan jaminan sosial petani. Sebagai gambaran umum, tabel di bawah ini memaparkan upah harian buruh tani indonesia tahun 2009-2012 (Rupiah).

  • Otonomi Pangan Pedesaan
  • Setiap daerah harus memiliki kemampuan menganalisis dan merumuskan  kebijakan pertanian sesuai dengan kondisi geografis, sosial, ekonomi, budaya dan politik daerahnya masing-masing;
  • memaksimalkan fungsi Koperasi Unit Desa (KUD), dalam rangka membuka peluang yang sebesar-besarnya bagi pengembangan usaha tani;
  • meminimalisasi korupsi, dalam hal ini kaitannya dengan lembaga dan pemerintah desa;
  • membentuk Bank Pangan. Yaitu suatu mekanisme di mana masyarakat dapat mengumpulkan bahan makanan untuk selanjutnya dapat disalurkan dalam rangka meminimalisir angka kelaparan.
  • Revitalisasi Peran Bulog

Pemerintah Indonesia segera memfungsikan kembali Badan Urusan Logistik (BULOG) untuk menjadi penjaga pangan di Indonesia. Bulog mempunyai peran sentral dalam memastikan dan mengendalikan tata niaga, distribusi dari hasil produksi pangan petani Indonesia. Dengan adanya revitalisasi peran Bulog ini maka diharapkan pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang tepat sasaran dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.

  • Pencabutan Pembebasan Biaya Ekspor

Salah satu yang menjadi hambatan dalam pengembangan sektor pangan domestik adalah besarnya tarif ekspor. Walaupun telah mampu menghasilkan produk pangan yang berkualitas, para petani dan pengusaha belum mampu menjangkau pasar internasional karena adanya hambatan tarif. Hal ini tentu penting untuk ditinjau kembali di mana perdagangan seharusnya mengutamakan prinsip Fair Trade bukan hanya sekedar Free Trade.

Pemakalah: Dari kiri ke kanan, Bq. Vina Ayuning Tyas, M. Reza S. Zaki, dan Primadiana Yunita
Disadur oleh: Tika Marzaman
Foto: Dimas

Catatan: CwtsPspd UGM tiap Senin seminggu sekali mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Siapa saja dapat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, terutama yang mengangkat tema perdagangan internasional. Silakan menghubungi Vinie untuk informasi lebih detil. Pemikiran dan/atau pemaparan pembicara diskusi hanya mewakili pendapat individu pembicara dan tidak serta merta mewakili sikap/opini CwtsPspd UGM.

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*