Analisis Prospek Perlindungan Hukum HKI atas TK dan TCE di Indonesia

Keterbukaan pasar dan perdagangan bebas dapat menjadi hambatan bagi negara berkembang. Salah satu dampak yang paling terasa adalah negara berkembang hanya menjadi pasar dan penerima lisensi tanpa adanya proses transfer teknologi. Implikasinya negara-negara berkembang tidak mampu mengembangkan kapasistasnya sendiri dalam kompetisi perdagangan dunia.

Karena mengalami kesulitan dalam pengembangan teknologi, salah satu isu yang kemudian menjadi hangat diwacanakan oleh negara-negara berkembang adalah terkait dengan Traditional Knowledge (TK) dan Traditional Cultural Expressions (TCE). TK dan TCE umumnya mengacu pada sistem pengetahuan yang tertanam dalam tradisi budaya, masyarakat adat, lokal maupun regional. Negara berkembang sangat peduli terhadap isu ini karena pada kenyataannya sebagian besar dari mereka memiliki kekayaan kultural yang bernilai ekonomi sangat besar.

Mengaitkan TK dan TCE dengan upaya perlindungan yang dapat diperoleh tentunya akan mengarah pada TRIPS sebagai rezim HAKI internasional. Akan tetapi, pada dasarnya TK dan TCE ini belum diatur dalam kerangka TRIPS. Untuk itu tidak ada perlindungan bagi negara berkembang untuk TK dan TCE mereka. Hingga saat ini perdebatan terkait dengan TK dan TCE masih dilakukan dalam forum-forum WTO dan putaran Doha.

Hal utama yang menjadi perdebatan adalah terkait dengan posisi TK dan TCE sebagai Cummunal rights, di mana dalam TRIPS yang diatur adalah terkait dengan private rights. Adapun perbedaan antara cummunal dan private rights dijelaskan dalam tabel di bawah ini:

 

Traditional Cultural Expression and Traditional Knowledge

Intellectual Property under TRIPs

Product/Creation Hereditary From individual or corporation
Creator Unknown Known
Utilization Prominent for traditional procession For commercialization
Ownership Communal Exclusively and private
Protection time limit Unlimited Varies, dependt to kind IP
Philosophy Preservation Restriction monopoly rights, balance

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa private rights merupakan bentuk HAKI yang dimiliki dan dapat diterapkan oleh industri untuk dikomersilisasikan. Hak privat yang diberikan oleh negara sifatnya eksklusif kepada seseorang atau perusahaan. Sementara itu cummunal rights sangat jauh berbeda. Pemilik dari hak ini tidak diketahui atau dimiliki secara bersama oleh komunitas atau masyarakat. Karena tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, cummunal rights sangat bersifat tradisional dan perlindungannya pun lebih diarahkan kepada pelestarian.

Seiring dengan perkembangan aturan mengenai HAKI, perdebatan terkait posisi TK dan TCE sebagai cummunal rights ini terus berlangsung terutama dalam hal apakah jenis hak ini akan dimasukkan ke dalam TRIPS atau tidak. Negara-negara maju pada umumnya menolak TK dan TCE ke dalam TRIPS, sementara itu negara berkembang hingga saat ini berupaya memasukkan TK dan TCE ke dalam TRIPS. Hal ini dikarenakan negara berkembang pada umumnya sangat kaya dengan budaya sehingga dimasukkannya TK dan TCE dapat membawa keuntungan ekonomi yang sangat besar bagi mereka.

Pertanyaan utama yang mendasari perdebatan ini adalah Apakah TK dan TCE dianggap sebagai karya yang membutuhkan legal protection setara dengan private rights ataukah hanya sebatas cultural preservation?

Jika menempatkan TK dan TCE sebagai karya yang membutuhkan proteksi secara legal formal, maka tentunya memasukkannya ke dalam TRIPS merupakan langkah untuk meminimalkan potensi terjadinya bio piracy. Disamping itu bagi negara berkembang TK dan TCE merupakan aset negara yang sangat bernilai ekonomis. Negara dapat memberlakukan benefit sharing terhadap pemakaian TK dan TCE mereka, baik itu keuntungan materil berupa royalti maupun keuntungan non materil lainnya.

Adapun yang menjadi stumbling block adalah adanya pendapat, yang pada umumnya didukung oleh negara-negara maju, yang mengatakan bahwa perlindungan TK dan TCE tidak lebih untuk cultural preservation. TK dan TCE tidak untuk dikomersilkan dimana penggunaannya hanya memerlukan recognize-pengakuan saja. Dalam hal ini pengakuan TK dan TCE lebih kepada tanggung jawab moral kepada indegenous people. Untuk itu setiap negara dapat menggunakan TK dan TCE dari negara lain selama mereka memberikan pengakuan terhadapnya.

Menanggapi perdebatan yang masih berlangsung terkait TK dan TCE, negara-negara berkembang kemudian berinisiatif membentuk rezimnya sendiri. Walaupun belum diadopsi dalam TRIPS secara internasional telah ada Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (GRTKF). Dalam skala nasional, untuk menciptakan relevansi antara rezim internasional dan nasional, saat ini pemerintah Indonesia tengah berupaya membentuk rezim nasional atas perlindungan positif (positive protection) GRTKF melalui Rancangan Undang-Undang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (RUU PTEBT).

Tidak dapat dipungkiri bahwa kekayaan dan keanekaragaman sumber daya genetik di Indonesia telah menarik perhatian banyak pihak, terutama pihak asing yang mengklaim maupun mengeksploitasi pemanfaatannya secara komersial tanpa adanya pembagian keuntungan. Untuk penting untuk membangun kesadaran masyarakat dan menciptakan instrumen hukum yang kuat untuk melindungi kekayaan budaya nasional.

Keterangan foto: Dewa Mahendra sedang menyampaikan makalah kepada peserta diskusi

Pemakalah: Dewa Mahendra Saidina
Disadur oleh: Tika Marzaman
Foto: Dimas

Catatan: CwtsPspd UGM tiap Senin seminggu sekali mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Siapa saja dapat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, terutama yang mengangkat tema perdagangan internasional. Silakan menghubungi Vinie untuk informasi lebih detil. Pemikiran dan/atau pemaparan pembicara diskusi hanya mewakili pendapat individu pembicara dan tidak serta merta mewakili sikap/opini CwtsPspd UGM.

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*